Beberapa hari yang lalu, salah satu teman mengajak saya dan beberapa teman lain ke kafe. Iya, kafe kelas menengah yang hits itu lah. Saya rasa ini bukan suatu hal yang spesial menurut kalian, kaum yang suka meromantisasi kopi dan senja. Jangan lupa latar belakang temaram ala bohlam lampu lima watt yang digunakan di rumah-rumah semi permanen pinggir kuburan.
Namun, bagi kami berempat, orang kampung yang bahkan belum pernah mencicipi teh manis dengan isian bola-bola kecil di dalamnya, masuk kafe kelas menengah adalah suatu hal yang baru.
Hari yang dijanjikan pun tiba, kami bertemu di salah satu kafe yang terletak di dekat pusat peradaban dan perputaran uang di kota kecil kami. Teman yang mengajak kami sudah berada di lantai dua kafe tersebut. Kami yang baru sampai di depan kafe celingukan. Bagaimana tidak, jajan di kafe kelas menengah adalah hal baru. Hari-hari biasa mentok hanya mampir di angkringan pinggir jalan.
“Bro, masuknya gimana?” begitu tanya saya yang udik ini ke teman-teman saya.
Mereka yang sama kampungannya juga tidak berani melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam. Takut di dalam dipandang ndeso oleh pengunjung kafe yang lain. Padahal, di luar sini pun kami sudah terlihat sangat kampungan. Orang yang duduk di dalam kafe bisa melihat tingkah kami karena kafe tersebut menggunakan kaca tembus pandang sebagai penyekat antara ruang dalam dan luar kafe
“Telepon dia aja, suruh jemput ke sini.” ide salah seorang teman.
Melihat tingkah teman sendiri saja sebenarnya sudah cukup untuk membuat diri merasa malu. Tapi, apa boleh buat, kami sudah janji dan kami sudah datang. Sia-sia jika tidak masuk.
Singkat cerita, kami akhirnya masuk kafe kelas menengah itu dengan bimbingan teman kami yang sudah lebih berpengalaman. Kami dibimbing ke bagian depan untuk memesan sesuatu terlebih dahulu. Dari sinilah bencana mulai datang.
Kami melihat daftar menu yang tentu saja kami tidak pahami minuman-minuman apa itu. Ada aneka kopi dan teh. Tapi, saya nggak tahu bedanya apa. Harganya juga beragam.
Sebagai teman yang baik, saya menyarankan teman saya untuk memesan minuman yang sudah ia kenali. Ice tea atau lemon tea saja. Namun, dengan penuh percaya diri ia justru memilih minuman yang sama sekali belum pernah ia coba. Mungkin karena penasaran. Hanya bermodal prasangka dari nama cantik nan sederhana dari minuman tersebut. Ditambah label harga yang paling murah, dia pun memesan espresso.
Entah minuman jenis apa, saya pun tak tahu. Dua teman kampungan saya yang lain ikut memesan minuman yang sama. Sedangkan saya memilih untuk tidak memesan apa-apa. Toh lidah angkringan mereka belum tentu siap menerima minuman ala kafe. Jadi, kemungkinan saya untuk ikut mencicipi pesanan mereka lumayan besar.
Selesai memesan, kami berlima naik ke lantai dua.
Kembali lagi, saya melihat betapa udiknya teman-teman saya. Setting volume suara yang biasa digunakan di angkringan terbawa ke dalam kafe. Settingan suara yang bermanfaat untuk beradaptasi dengan suara bising jalanan itu terbawa masuk ke dalam kafe kelas menengah yang sunyi.
Sumpah, saking sunyinya suasana, saya sampai bisa merasakan kehadiran sosok penjaga perpustakaan yang juteknya naudzubillah. Di sini hanya ada sayup-sayup suara musik dari speaker kecil di sudut ruangan dan tentu saja suara berisik obrolan teman-teman saya yang ngobrol dengan volume suara ala angkringan.
Tak berapa lama, pesanan datang. Mbak-mbak penyaji berparas cantik yang sangat jauh beda dengan penyaji di angkringan pinggir jalan membawakan tiga cangkir kecil espresso dan tiga gelas air putih. Dengan polosnya, salah satu teman menanyakan fungsi air putih yang gelasnya tiga kali lebih besar daripada cangkir espresso. Hadeuhhh.
Beruntung, lantai dua ini sepi. Hanya ada kami dan satu orang yang sepertinya sudah berada di sini sejak sebelum kedatangan kami. Sungguh, pasti akan ada senyum yang menertawakan polosnya pertanyaan teman kami ini.
“Bismillah.” mereka bertiga meminum espresso.
“Bruoaaahk, edyan pahitnya!” kata salah satu dari mereka sambil menahan agar espresso pesanannya yang sudah ada di dalam mulut tidak tumpah.
Sontak, kami yang berada di lokasi tersebut tertawa terbahak-bahak. “Modyar, kandyani og ngeyel.”
Melihat reaksinya, saya mencium manis kesempatan untuk menghabiskan espresso pesanannya. Saya bukan pencinta kopi pahit, tapi lidah saya masih bisa menoleransi rasa pahit. Tanpa basa basi lagi, espresso yang baru berkurang satu sruputan itu resmi menjadi milik saya. Hahaha. Walaupun saya akui, pahitnya memang naudzubillah. Kalian yang tidak bisa menerima rasa pahitnya kehidupan, sebaiknya tidak usah sok pesen espresso.
Mungkin memang benar habitat kami di angkringan pinggir jalan. Berbicara bebas sekerasnya melawan kerasnya suara kendaraan bermotor yang berlalu lalang.
Minuman di kafe kelas menengah didesain untuk lidah kelas menengah yang paham jenis-jenis kopi. Bukan untuk kami yang hanya tahu kopi kapal api, kopiko, kopi nescafe, dan lain sebagainya. Es teh atau pun teh hangat pun biasanya kami minum dari kantong plastik bukan dari gelas cantik yang menggugah mata.
Lalu bagaimana nasib teman saya? Dia berjanji seumur hidupnya tidak akan memesan espresso lagi.
Terakhir, satu hal yang saya akhirnya pahami adalah, kalau memang tidak tahu mending tanya. Sesuai kata pepatah lama, malu bertanya sesat di kafe.
BACA JUGA Keraton Agung Sejagat Maupun Sunda Empire dan Halunya Orang Indonesia dan tulisan Mahmud Khabiebi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.