Mempunyai teman merupakan hal yang patut disyukuri karena bagi sebagian orang, mencari teman itu sesulit mencari jarum di tumpukan jerami.
Beberapa bulan terakhir, saya sedang dekat dengan seseorang. Tidak dekat secara harfiah, sih, karena nyatanya kami terpisah 400++ kilometer. Kami juga tidak dekat secara emosional. Tidak usah dijelaskan kenapa. Yang jelas kalimat “jauh di mata dekat di hati” tidak untuk kami.
Ini bermula tahun lalu, ketika kegabutan saya yang terlampau parah dan rasa kesepian tentu saja mengantar saya ke sebuah situs pencarian teman online, bukan online dating ya, hehe. Target utama saya sebenarnya adalah bule, biar sekalian melatih bahasa Inggris saya yang amat sangat standar ini.
Setelah sekian banyak bule dari penjuru dunia yang saya chat, ujung-ujungnya yang nge-chat saya duluan adalah dia, warga +62 yang ingin saya ceritakan ini.
Dia seumuran dengan saya dan kayaknya sama gabutnya dengan saya. Setelah basa-basi yang sangat basi, dia meminta username Instagram saya. Setelah saya pikir-pikir, tak ada salahnya saya kasih, menambah follower juga, kan, hehe.
Obrolan berlanjut dan lama-kelamaan kami pindah ke LINE. Hampir setiap hari saya dan dia bertukar pesan, segala macam topik pembicaraan. Dari obrolan ringan yang nggak jelas sampai ke obrolan berat yang sama nggak jelasnya. Juga basa-basi yang saya nilai basi di awal, sekarang harus jadi hati-hati takut ada yang jatuh hati. Uwuu~
Kami juga menyempatkan berteleponan di akhir pekan. Sekadar bercerita tentang penatnya pekan ini atau bisa juga ngomongin pilpres, fufufu~
Sebenarnya saya sudah tidak segabut dulu namun sekarang rasanya tujuan saya bukan lagi untuk itu, melainkan untuk berbagi. Rasanya punya teman berbagi cerita dan segala kepenatan itu melebihi perasaan menemukan skincare yang tepat. Kecuali skincare-nya juga lagi promo. Tak dapat dipungkiri pula, kehadiran sesosok manusia lain bisa sedikit mengobati rasa kesepian, walau pun sedikiiit~
Saya akhirnya tersadarkan akan kedekatan semu ini beberapa minggu lalu, saat respon darinya yang saya dapatkan tidak seasik dulu. Ini sering terjadi sebelumnya, tapi kali ini mungkin kami sudah sama-sama lelah untuk mengobrol dan mencari topik pembicaraan.
Puncaknya ketika saya memulai pembicaraan dengan meminta spoiler episode terbaru dari Game of Thrones Season 8. Permintaan saya ini tidak ditanggapi bahkan dia membalas lama sekali dan berujung dengan chat saya yang di-read doang. Iyaa di-read doang sampai sekarang, sakit kan~~
Perihal chat yang di-read doang ini memang tidak ada habisnya. Jujur saja, siapa yang tak kesal kalau chatnya tidak dibalas bahkan hanya di-read padahal yang dikirimi pesan sedang aktif dan masih sempat bikin Instastory? Hayo ngaku, siapa?
Alasan yang paling logis dan jelas terasa adalah karena dia bosan. Lagipula sikapnya akhir-akhir itu juga tidak seseru dulu. Obrolan kami juga mencapai tingkat kegaringan luar biasa, kriuk kriuk seperti kulit ayam KFC.
Wajar saja, teman di dunia nyata yang sudah mengukirkan banyak kenangan bersama saja bisa tiba-tiba menjadi orang asing akibat masalah sepele, apalagi kami yang belum pernah bertatap muka dan hanya berhubungan via internet.
Ternyata pertemanan dunia maya itu tidak nyata senyata tinta pulpen baru beli. Kenangan kami hanya sebatas pesan di LINE. Ketika seluruh pesan dihapus maka semuanya akan hilang. Namun, itu tidak serta merta menghilangkan memori di otak.
Harusnya, kan, saya tidak usah ambil pusing dengan responnya. Toh, cuma di-read doang, bukan diblokir, bukan lost contact. Kalau saya menurunkan ego dan mau memulai percakapan duluan, bisa saja kami asik seperti dulu. Tapi kan saya gengsian orangnya~
Dan, tidak semudah itu Ferguso.
Masalahnya saya terlanjur kecewa, Ferguso. Saya pikir, saya sama istimewanya dengan kota asalnya yang ada kata “istimewa” itu. Iya dong, siapa lagi yang mau mendengarkan saya ngebacot jam 3 dini hari? Atau sebenarnya memang dasarnya saya terlalu kesepian dan minim kasih sayang, sampai-sampai perhatian kecil darinya saya anggap sebagai tanda bahwa saya berkaret dua, eh spesial maksudnya.
Saya ternyata tidak lebih spesial dari martabak manis dengan ekstra topping. Mungkin juga karena saya tidak semanis martabak manis yang biasa dia beli.
“Ya sudah, lupakan saja. Kan, katanya pertemanan dunia maya tidak senyata tinta pulpen baru beli!”
Duh, Ferguso.
Seperti yang saya bilang tadi, memangnya dengan menghapus semua pesannya di LINE bisa sekaligus menghilangkan dia dari memori otak saya? Tidak, kan. Masalahnya segala percakapan kami itu terlalu ‘uwu’ untuk dilupakan. Yah, mau bagaimana lagi saya memang terlalu baper berharap orangnya.
Tapi bukannya harapan yang justru buat hidup ini jadi lebih hidup? Dan tercapai atau tidak tercapainya yang buat hidup ini jadi penuh gejolak?
Sebagai makhluk sosial, kami seharusnya sama-sama tahu bahwa komunikasi yang menghubungkan kami. Dan sebagai teman dunia maya, itu dilakukan dengan chat, bertukar pesan; atau telepon; atau video call. Saat itu tidak dilakukan, lalu apa yang menghubungkan kami? Telepati? Tidak, kan.
Saya mungkin terlalu mudah percaya dengannya. Dalam hal ini, saya percaya bahwa dia adalah teman yang kehadirannya nyata walaupun tidak secara fisik. Pertemanan yang nyata walaupun hanya via dunia maya. Saya percaya, mungkin suatu saat kami dapat memangkas jarak untuk menghadirkan temu agar semuanya tak lagi semu. Uwu~
Saya yang dulu dengan tegas mengatakan bahwa “saya tidak mudah percaya dengan orang lain,” sekarang malah termakan omongan saya sendiri.
Jadi sekarang saya akan mengatakan kembali, bahwa saya tidak akan mudah percaya dan baper berharap dengan orang lain.