Saya tidak menyangka di tengah Ramadan ini, saya harus mendapatkan musibah “sepele” berupa kaki keseleo. Ironisnya lagi, kejadiannya terjadi ketika pulang dari buka bersama. Peristiwanya bermula ketika kaki saya terperosok ke jeglongan jalan, sepele kan penyebabnya? Sungguh perih rasanya hati ini, yang seharusnya bahagia karena perut sudah kenyang, serta mendapatkan bingkisan. Lha, kok malah harus terperosok ke jeglongan jalan hingga membuat kaki saya keseleo.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya saya mengalami kaki keseleo. Jika dihitung semenjak SMA sampai sekarang, setidaknya sudah empat kali saya mendapatkan musibah berupa kaki keseleo.
Mendapatkan musibah seperti ini bukan perkara yang menyenangkan. Kalau teman saya bilang, “Enak ya kakimu keseleo, bisa banyak rebahan dan mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitar.” Sungguh ingin rasanya diri ini berkata “ndasmu” di dekat telinganya. Soalnya, mengalami kaki keseleo tidak ada enaknya sama sekali.
Memang, cedera ini jelas kalah keren dan mentereng dengan jenis cedera lain. Cedera metatarsal, ACL, hamstring, kan keliatan keren tuh. Orang pasti kalau denger cedera gituan bakal maklumin. Kalau keseleo, ya kayak kawan saya tadi, reaksinya aneh. Keseleo kok enak. Ndasmu.
Mungkin kalau pakai “sprain” gitu jadi keliatan cool dan gawat kali ya? Padahal ya artinya podo waeee.
Daftar Isi
Keseleo itu beneran nggak nyaman
Tapi, beneran, keseleo itu nggak nyaman. Sama sekali nggak nyaman. Rasa tidak nyaman yang paling utama adalah menahan rasa sakit, terutama saat awal jatuh. Menahan rasa sakit kaki keseleo saat awal jatuh rasanya bukan kaleng-kaleng. Sakitnya bisa sampai ke ubun-ubun. Dari saking sakitnya, bisa membuat penglihatan menjadi gelap. Mungkin ini terkesan berlebihan, cuman memang sesakit itu saat awal jatuh.
Usut punya usut, penyebab penglihatan menjadi gelap saat awal jatuh menurut tukang pijat yang saya datangi, bisa terjadi oleh faktor aliran darah tersumbat, jantung berdebar kencang, dan ada rasa kaget. Sehingga, akan mempengaruhi penglihatan menjadi gelap.
Tapi, sesakit-sakitnya menahan rasa sakit ketika awal jatuh, lebih sakit lagi menahan pijatan dari tukang pijat. Rasa sakitnya yang begitu mendalam, berhasil membuat mata saya terbelalak dan mulut berteriak kencang. Sampai-sampai seusai pijat, badan saya merasakan lemas seperti kehabisan banyak tenaga. Cuman mau bagaimana lagi, kalau tidak dipijat, mungkin rasa sakit di kaki akan semakin parah.
Iye-iye saya tahu harusnya nggak perlu dipijat, badan punya mekanisme penyembuhan sendiri. Tapi gimana ya, Lur, kadung je.
Rasa sakit yang tak kunjung usai
Seusai mendapatkan pengobatan dengan pijat, perkara tak lantas usai. Saya masih harus menahan rasa sakit, sekalipun tidak sesakit sebelum mendapatkan pijatan. Sebab, sakitnya kaki keseleo tidak bisa langsung tuntas dalam waktu sehari. Minimal kata tukang pijatnya adalah tiga hari, bahkan bisa lebih. Tiba-tiba saja saya teringat dengan teman yang kakinya keseleo akibat bermain futsal, baru sembuh selama sepuluh hari.
Itu baru kaki. Coba keseleo lidah, wah, bertahun-tahun tuh sembuhnya.
Dengan tidak bisa tuntasnya rasa sakit dalam waktu sehari, membuat aktivitas sehari-hari menjadi terganggu karena semuanya harus dijalankan sembari menahan rasa nyeri. Tidur saja rasanya tidak lagi nyaman. Kaki geser sedikit, langsung muncul rasa nyeri. Sehingga, menjadi sulit untuk memiringkan kaki. Mau tidak mau jadinya harus banyak tidur dengan telentang.
Belum lagi saat azan berkumandang, ada rasa tidak bahagia di hati saya. Dengan kaki keseleo, ada semacam rasa acuh untuk beribadah. Bukan karena enggan menghadap Tuhan, cuman untuk mengambil wudu dan melakukan gerakan salat, rasanya berat sekali dengan harus menahan nyeri.
Ada semacam tantangan tersendiri salat sambil menahan nyeri di kaki. Apabila kaki tidak keseleo, saya bisa berdiri, rukuk, dan sujud dengan khidmat. Lalu semuanya berbeda. Dengan rasa nyeri, membuat gerakan salat menjadi tidak khidmat. Rasanya ingin segera menuntaskan salat dengan cepat.
“Kenapa tidak salat duduk saja?” tanya teman saya dengan nada menasihati. “Bukannya tidak mau salat duduk, cuman sudah terbiasa salat berdiri. Saya pernah mencoba salat dengan duduk ketika kaki keseleo, rasanya ada yang aneh dan mengganjal di hati. Makanya, saya paksakan tetap salat berdiri,” jawab saya.
Buang air besar jadi derita
Yang paling menyebalkan adalah saat buang air besar. Biasanya aktivitas buang air besar menjadi aktivitas menyenangkan, lantaran bisa merenungkan hidup. Cuman dengan kaki keseleo, rasa nikmatnya hilang seketika. Sebab, dengan posisi pantat duduk ke kloset, otomatis kaki menyanggah ke bawah agar seimbang. Dengan menjadikan kaki sebagai penyanggah, otomatis kaki akan tertekan dan lambat laun rasa nyeri semakin meningkat.
Dan saya tidak bisa membayangkan sakitnya orang yang kakinya keseleo sambil buang air besar dengan kloset jongkok. Saya saja yang menggunakan kloset duduk saja nyerinya naudzubillah.
Kata teman saya yang kakinya keseleo akibat main futsal, rasanya buang air besar dengan kloset jongkok seperti ingin menghilang dari dunia. Semuanya serba repot. Kalau tidak buang air besar, perutnya mulas. Sedangkan kalau buang air besar kakinya menjadi sangat nyeri.
Mendengarkan pengakuannya, saya masih bersyukur masih punya kloset duduk. Setidaknya tidak terlalu sakit-sakit banget menjalani kehidupan dengan kaki keseleo.
Meskipun saya lebih bersyukur lagi tidak mengalami kaki keseleo. Selama empat kali mengalami kaki keseleo, selama empat kali itu pula dunia saya serasa seperti runtuh, harus menahan sakit dan menjalani aktivitas dengan tidak menyenangkan. Jadi, nikmat kesehatan mana lagi yang kamu dustakan?
Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jenis Cedera yang Sering Dialami Pelari, Jangan Dianggap Sepele
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.