Nama bagi umat manusia adalah sebutan yang disematkan kepada seseorang yang membuatnya memiliki entitas yang berbeda dari orang lain. Sebuah nama bisa saja menunjukkan karakter-karakter dari si empunyanya. Perihal nama, ia adalah identitas yang disandang seseorang dari lahir hingga meninggal. Karenanya nama adalah kebanggaan. Nama adalah harapan yang mewakili. Nama adalah doa. Dan sederet pernyataan lainnya yang menunjukkan betapa maha pentingnya arti sebuah nama.
Meskipun Shakespeare (melalui lakon Romeo and Juliet) mengatakan bahwa “apalah arti sebuah nama“, toh ia hanya kumpulan huruf atau kata yang membuat seseorang bisa dipanggil dan disebut. Namun satu sisi, tidak sedikit pula para orang tua berlomba-lomba memberikan nama terbaik bagi buah hati tercintanya. Mereka sematkan ribuan harapan dan doa di dalam nama itu agar kelak anaknya tumbuh menjadi sosok manusia seperti makna baik di dalamnya. Semakin banyak orang yang menyebut atau memanggil namanya, maka semakin besar pula peluang terkabulnya doa dan harapan, karena nama adalah doa dan harapan itu sendiri.
Sistem penamaaan seseorang cukup beragam, khususnya di Indonesia. Lazimnya sih terdiri dari dua nama (nama depan dan belakang) atau tiga nama (nama depan, nama tengah, dan nama belakang). Sistem penamaan di Indonesia juga bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di antaranya karena budaya dan adat istiadat seperti penamaan yang menggunakan marga bagi Suku Batak. Atau ada pula yang menggunakan ejaan bahasa asing yang membuat lidah kesleo jika menyebutnya, seperti kebanyakan nama anak-anak milenial dewasa ini.
Masalah orang mau pake nama apa pun saya sebenarnya tidak terlalu peduli, itu kan hak dan selera mereka juga. Lagi pula, apa urusannya gitu lho kita mencampuri selera orang lain atas nama mereka? Apakah kita berhak? Nggak, kan? Yang terpenting, ketika kita mengenalkan nama kepada orang lain, mereka dapat mengingatnya baik secara lisan ataupun tulisan. Pun sebaliknya, kita bisa memperlakukan hal yang sama atas nama orang lain. Itu sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk bisa saling menghargai tentang bagaimana etika mengenal seseorang yang berawal dari sebuah nama.
Terlebih di dunia kerja atau bisnis, mengingat nama orang lain baik secara lisan maupun tulisan adalah hal yang berdampak besar meskipun terlihat sepele. Ah, namanya terlalu lebay sih. Siapa suruh punya nama yang njlimet? Halahh, nama dengan ejaan susah gitu juga penginnya diinget secara sempurna, bla bla bla, dan sederet alibi-alibi lainnya yang menapikan pentingnya menyebutkan nama seseorang dengan baik dan benar. Karena dengan kita mengingat nama orang lain secara benar dan lengkap, orang tersebut akan merasa sangat dihargai.
Setidaknya itu yang saya rasakan dan alami sebagai seseorang yang memiliki ejaan nama yang sebenarnya nggak ribet amat sih, hanya mungkin terdapat salah satu huruf dalam ejaannya yang tidak semua orang Indonesia fasih mengucapkan dan membedakan huruf V, F, dan P. Hey dude, those are different. Mau disama-samain juga, ya tetap beda. Jujur, from the deepest of my heart, sebagai seseorang yang menjunjung tinggi budaya berbahasa, saya sering risih akan hal ini. Sebab ada banyak pengalaman konyol terkait kesalahan penyebutan ejaan nama yang sering saya alami dalam dan cukup membuat saya illfeel dan greget.
Seperti ketika saya protes kepada teman saya saat kami chatting via WhatsApp atau ketika dia sounding di salah satu grup koordinasi kegiatan kami padahal anggota grup itu ada dua nama yang sekilas sama tapi secara ejaan beda. Karena dia berkali-kali salah mengetik nama saya, dia dengan entengnya bilang, “Itu kan sama saja“. Darimana dia melihat nama Devie dan Depi itu sama, hah? Belum lagi ketika memanggil nama yang (lagi-lagi) salah, selalu membuat kami menoleh secara bersamaan. Padahal Depi yang dia maksud adalah saya (Devie). Alih-alih dia memperbaiki pelafalan nama saya, dia malah menganggap saya terlalu idealis dan perfeksionis. Haduh!
Pengalaman lain yang tak kalah konyolnya bahkan fatal adalah seperti kesalahan penulisan nama dalam sertifikat atau ijazah, yang menurut saya ini cukup merugikan. Sebab salah satu huruf pun, akan panjang dan rumit urusannya ketika kita ingin mengurus hal-hal yang berhubungan dengan persoalan administratif, seperti melamar pekerjaan, membuat passport, mengikuti ujian, mendaftar beasiswa, dan lain sebagainya yang cukup memberikan kita pelajaran betapa pentingnya ketelitian ejaan nama.
Belum lagi pada pengalaman mengikuti interview tahun lalu, salah seorang HRD tiba-tiba saja mempertanyakan mengapa nama orang Sunda seperti saya terdapat huruf V. Alih-alih menjawabnya, saya malah menanggapinya dengan senyuman ketir. Mungkin itu juga semacam pertanyaan basa-basi untuk mencairkan suasana. Namun pertanyaan itu saya pikir ada hubungannya dengan mitos yang selama ini beredar bahwa orang Sunda tidak bisa menyebut huruf V atau F. Huh, Pitnah! Padahal sebenarnya dalam aksara Sunda pun terdapat huruf konsonan V dan F.
Sederet pengalaman-pengalaman di atas membuktikan pentingnya mengingat nama secara lisan ataupun tulisan. Sebab menurut seorang ahli metafisika, Arkand Bodhana Zeshaprajna, doktor dari University of Methaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat yang dilansir dari Tempo bahwa nama merupakan sumber energi bagi setiap orang. Dengan nama itulah, obyek dikenal dan kekuatan laten diaktifkan. Sebaliknya, jika obyek tidak dinamai, obyek itu tidak memiliki kekuatan. Oleh karena itu, nama memiliki kekuatan lebih besar dari obyek yang dinamai.
At least, semoga tulisan ini mewakili saya dan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama untuk mengubah stigma di luar sana agar tidak lagi menyepelekan ejaan sebuah nama. And for you, guys, orang-orang yang sudah mengenal saya, I’m Devie. Not Devi. Not Depi.
BACA JUGA Susahnya Jadi Orang yang Susah Mengingat Nama Orang atau tulisan Devie Andriyani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.