5 Kesalahan Angkot di Bandung yang Bikin Penumpang Mengelus Dada

5 Kesalahan Angkot di Bandung yang Bikin Penumpang Mengelus Dada

5 Kesalahan Angkot di Bandung yang Bikin Penumpang Mengelus Dada (Unsplash.com)

Angkot di Bandung tuh bikin penumpang kayak saya mengelus dada…

Sama seperti di Jogja, hadirnya transportasi publik yang memadai di Bandung sering jadi topik pembicaraan netizen. Warga kedua kota ini memang sama-sama merindukan kehadiran transportasi publik yang memadai. 

Akan tetapi berbeda dengan Jogja yang mana absennya angkot disesali karena hanya menyisakan Trans Jogja yang headway-nya kelamaan dan rutenya berputar-putar, saya justru menyesali masih hadirnya angkot dan menganggapnya sebagai duri dalam daging transportasi publik di Bandung. “Kesalahan-kesalahan” angkot di Bandung sudah super berlapis dari sistem sampai attitude sopirnya. Berikut beberapa kesalahan angkot di Bandung yang bikin penumpang mengelus dada.

#1 Tarif berdasarkan jarak yang justru jadi bumerang bagi penumpang

Sebelum harga BBM naik, penumpang masih bisa membayar ongkos angkot Rp2.000 untuk jarak sangat dekat ketika di kota lain tarif angkotnya sudah menerapkan tarif flat jauh-dekat Rp3.000 atau lebih. Akan tetapi, tarif berdasarkan jarak menjadi bumerang di Bandung bagi penumpang dengan jarak yang relatif jauh. 

Sopir sering mengenakan tarif yang cukup mahal tergantung mood. Contohnya, saat naik angkot dari daerah Ledeng/Gerlong ke Cicaheum, penumpang bisa dikenakan ongkos Rp8.000 hingga Rp12.000. Padahal kalau dibandingkan dengan jarak yang sama di kota lain paling banter tarifnya Rp5.000-Rp7.000. Angkot di Bandung mahal euy!

#2 Jika diturunkan, penumpang harus tetap membayar ongkos

Lazimnya, di luar Bandung, penumpang nggak perlu membayar ongkos angkot kalau “ditelantarkan” sopir di tengah jalan atau dioper ke angkot lain. Namun di Bandung berlaku sebaliknya, penumpang akan tetap ditagih ongkos meski sopir dengan seenaknya menurunkan penumpang sebelum tujuan. Nggak peduli alasan sopir menurunkan penumpang karena ogah lewat jalan yang macet atau sekadar ingin pulang lebih awal, penumpang dikenakan ongkos.

Penumpang angkot di Bandung banyak yang kemudian memaklumi hal ini layaknya memaklumi kembalian kurang yang diberikan sopir. Untungnya penumpang di Bandung bageur.

Baca halaman selanjutnya

#3 Mengubah tarif malam seenaknya…

#3 Mengubah tarif malam seenaknya

Jam operasional BRT dan Damri di Bandung terbatas dan menyisakan angkot serta ojek sebagai pilihan transportasi umum. Akan tetapi nampaknya mood sopir angkot di Bandung setiap malam berubah sehingga mereka jadi senang meminta tambahan ongkos ke penumpang dengan alasan sudah malam.

Memang sih umumnya hanya tambah Rp1.000 atau Rp2.000, tapi situasi ini kan kurang lebih mirip kehadiran tukang parkir di ATM atau warung pecel lele. Bikin penumpang jadi nggak ikhlas dan merasa dipalak, kecuali mereka yang terjebak dalam mindset “yang penting sedekah”

#4 Memaksa penumpang jarak dekat mengojek ketika larut malam

Jika kalian sampai di Bandung larut malam dan berniat naik angkot untuk menghemat ongkos, lupakan itu dan langsung order ojek online saja. Banyak angkot yang lebih suka penumpang dengan tujuan terakhir rute angkot itu alias langsungan. Ada juga rute-rute yang angkot tak bisa mengangkut penumpang jarak dekat karena larut malam sudah menjadi “jatah ojek”. Jadi, mending berinisiatif memesan ojek online duluan sebelum disuruh sopir angkot, kan?

#5 Oknum sopir mengadang transportasi publik lain

Kalian berpikir koridor BRT nggak kunjung berkembang pesat di Bandung semata-mata karena pemda nggak punya political will terhadap transportasi publik? Nggak dong, ada andil angkot di sini. Waktu ada kabar pengadangan Trans Metro Pasundan di Soreang oleh beberapa oknum sopir angkot, saya sudah nggak heran. Tahun 2009 lalu waktu TMB hadir saja sudah kena baledog dari sopir angkot. Kok kayaknya angkot konsisten memosisikan diri sebagai musuh kehadiran transportasi publik nyaman di Bandung dari era Aher sampai Kang Emil, ya?

Saya sangat berharap angkot di Bandung segera dikonversi. Entah jadi feeder BRT layaknya di Solo atau diganti jadi bus sedang dengan rasio satu bus sedang menggantikan tiga angkot kayak di Bogor juga oke, kok.

Penulis: Ahmad Radhitya Alam
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pengguna Angkot Bandung Perlu Lebih Proaktif, Jangan Acuh Tak Acuh, dong!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version