Kerumitan di Balik Dominasi Tim-tim Sepak Bola Thailand

thailand sepakbola politik mojok

thailand sepakbola politik mojok

Sepak bola Thailand memang menyeramkan dalam dekade ini. Tidak hanya mendominasi kancah regional, ekspansi pemain mereka yang mentas di luar negeri juga patut diacungi jempol. Teranyar, pemain mereka yang sedang mentas di J. League, Chanathip Songkrasin, menjadi pemain asal Asia Tenggara pertama yang menjadi kapten di pentas sepak bola tertinggi Jepang. Ia menjadi kapten Consadole Sapporo pada menit ke-76 ketika Hiroki Miyazawa digantikan.

Tidak hanya urusan pemain, grass-root yang digembleng oleh Negeri Gajah Putih tentunya tidak pernah mengecewakan. Ditangani oleh orang-orang yang “mengerti” sepak bola, olahraga ini terus berkembang. Namun, kita sama-sama tahu bahwa politisasi sepak bola di negeri ini juga santer diberitakan. Namun, politik terjadi ketika prestasi sudah baik. Bukan malah prestasi biasa-biasa saja, lalu meninggalkan kedudukan dan meraih posisi yang lebih tinggi.

Perlu kita sepakati bahwa politisasi sepak bola tidak pernah ada kata “baik”. Pengelolaan yang imbang antara keuangan dan prestasi adalah hal yang wajib. Dan Thailand melakukan hal ini, terutama untuk klub-klubnya. Pada tahun 2009 mereka berbenah. Hal ini setali tiga uang dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh AFC mengenai kriteria tim yang bisa menembus Liga Champions Asia edisi 2011. Mau nggak mau, mereka harus melengkapi segalanya agar tim-timnya tetap bisa mentas di ajang tertinggi bagi klub Asia.

Thailand Premier League berubah menjadi Thai Premier League, profesionalitas mereka tingkatkan, dan yang paling kentara, tentu klub harus berpisah dengan “badan organisasi” dan harus membuat sebuah otoritas badan klub yang independen dan sesuai badan hukum. Klub di Indonesia—kebanyakan—sudah memenuhi tuntutan AFC, ketika mereka leha-leha, negara lain terus berbenah. Eh, leha-lehanya malah kebawa sampai sekarang.

Perubahan ini, secara tidak langsung menuntut tim-tim untuk rebranding atau mencari markas baru. Mereka harus melebur kepada masyarakat agar mendapatkan simpati dan tentunya keuntungan. Sepak bola moderen, menuntut setiap klub untuk menyeimbangkan neraca keuangan mereka. Dan di Thailand, hal ini baru terjadi pada tahun 2009, guna adaptasi menyambut tahun 2011.

Imbasnya tentu banyak klub besar yang berguguran karena sistem seperti ini menuntut pengelolaan yang baik. Contohnya adalah juara TPL dua kali, sekaligus pernah mengalahkan PSM dan Persebaya, yakni Krung Thai Bank FC. Tim yang dibangun oleh Krung Thai Bank ini menyatakan menyerah dan menarik diri pada Januari 2009. Lisensi mereka lantas diakuisisi oleh Bangkok Glass agar dapat bermain di liga utama.

Sebenarnya, klub yang dikembangkan oleh Bangkok Glass Factory ini sudah berdiri sejak 1999. Namun, klub itu hanya sebatas perkumpulan buruh yang memainkan liga—jika di Indonesia—disebut tarkam. Dilansir dari situs klub, klub asli yang berasal dari sumsum tulang para buruh ini sekarang masih eksis dengan nama Rangsit FC. Dan pada 2018, klub ini melakukan rebranding dengan Provinsi Pathum Thani dan mengubah nama menjadi BG Pathum United FC agar “mendapat dukungan yang jelas”.

Tim Bangkok yang lain, Bangkok University FC, sudah berdiri sejak 1988 sebagai wadah sepak bola mahasiswa Universitas Bangkok di Provinsi Pathum Thani, di utara Bangkok. Pada tahun 2009, Bangkok menjadi partner Bangkok Metropolitan Administration (BMA) untuk memenuhi aturan FAT—PSSI-nya Thailand—yakni berada di bawah lindungan limited company. Maka, nama Bangkok United FC menjadi pilihan mereka sebagai representasi Kota Bangkok.

Samut Prakan City, “klub baru” di jajaran elit Thailand sebenarnya adalah pemain lama. Klub ini berasal basis Pattaya, Provinsi Chonburi, yakni Pattaya United. Nah, Pattaya United ini juga bukan “klub orisinil”. Mereka sebenarnya terbentuk berafiliasi menuju Pattaya pada tahun 2008. Sebelumnya, tim ini bernama Coke-Bangpra Chonburi FC. Pindah berkala dari Bangpra, Pattaya, dan Samut Prakan tersiar rumor bahwa hal ini (selain mengikuti aturan federasi) dikarenakan adanya politisasi. Melelahkan.

Bukan cenayang, bukan peramal, Muangthong United sudah berbanah sejak tahun 2006. Klub yang dibentuk pada tahun 1989 ini awalnya bernama Norgjorg Pittayanusorn FC dan Worawi Makudi (ingat dengan nama ini?). Pada era 2002, nama FC Norgjorg Black Pearl dibangun oleh pilitikus Veera Musikapong dan hanya bertahan selama satu tahun. Pada 2006-2007, Siam Sport Syndicate menyelamatkan mereka dan dipilihlah Muangthong United sebagai nama harum hingga kini.

Klub pelabuhan besutan Madam Pang, Port FC, malah lebih njlimet lagi. Klub yang berbasis di tempat kumuh Bangkok, yakni Khlong Toei, mereka bernama Port Authority of Thailand FC yang dibangun pada 1967. Lantas pada zaman perubahan sepak bola Thailand, nama mereka menjadi Thai Port FC dan justru masa ini menjadi masa paling gelap sejarah klub. Konflik internal antara perusahaan sebelumnya dan pihak klub menjadi gejolak. Ya, namanya juga masa peralihan.

Indonesia punya Bhayangkara FC, Thailand juga punya Police Tero FC. Pada mulanya klub ini adalah milik Worawi Makudi (ingat dengan nama ini?) dengan nama Sasana Witthaya pada 1992. Dan pada 1996, BEC-TERO Entertainment Public, menukangi mereka dan berubahlah mejadi Tero Sasana FC. Pada tahun 2017, mereka marger dengan klub instansi paling bersejarah di Thailand, yakni Police United FC.

Provincial Electricity Authority FC didirikan pada tahun 1970. Klub berbasis PLN-nya Thailand ini menitih dan memetakan sepak bola Thailand dan merangsak masuk ke dalam sejarah kuat. Pada 2008, mereka pindah ke Ayutthaya dan memiliki basis fans fanatik yang kuat. Sempat menurun, bahkan kalah dengan Singapore Armed Forces dalam kualifikasi AFC, seorang politikus asal Buriram, Newin Chidchob, membawa klub tersebut dan rebranding dengan nama, markas, dan basis suporter baru dengan nama Buriram United.

Jika dilihat, pindah markas, stadion, hingga kepemilikan tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bahkan di Thailand pun lumrah terjadi. Ada yang gagal, ada pula yang berhasil. Ada yang dari instansi pemerintahan hingga angkatan bersenjata. Indonesia dan Thailand sama dalam sejarahnya, namun berbeda dalam masalah pengelolaannya. Ya, lagi-lagi suatu hal yang sudah menjadi lumrah, kini tinggal belajar bagaimana cara merawatnya.

Semoga Indonesia tidak hanya sama dengan Thailand perihal rebranding, relokasi, dan lisensi, namun juga—terpenting—masalah prestasi.

BACA JUGA Menjadi Pemimpin Bedebah Ala Game Simulasi Pemerintahan Tropico 5 dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version