Contoh nih Bojonegoro sama Blora. Kerja sama membangun daerah, lho.
Belakangan ini, saya melihat Terminal Mojok menjadi ajang curhat warga suatu daerah yang iri atau bahkan cemburu dengan daerah lain. Dari awal Juli sampai dengan saya membuat tulisan ini, setidaknya ada 8 tulisan yang menjabarkan kekurangan daerahnya dalam pembangunan, tetapi di sisi lain membanggakan daerah lain. Hmmm, menyedihkan nggak, sih?
Saya membagi tulisan-tulisan tersebut menjadi dua jenis. Pertama, tulisan yang membandingkan pembangunan dua daerah bertetangga, contohnya tulisan Mas Yanuar Abdillah Setiadi soal Purwokerto. Ada juga tulisan Mas Diaz Robigo yang iri dengan Cikarang.
Kedua, tulisan yang membandingkan pembangunan dua daerah tetapi tidak bertetangga, contohnya tulisan Mas Ricky Karunia Ramadhan soal orang Jember iri sama Jogja. Lalu, ada lagi tulisan Mas Ahmad Arief Widodo soal Semarang dan Cikarang dan Mbak Tiara Uci yang membahas soal Semarang vs Surabaya.
Daripada capek membanding-bandingkan, kenapa nggak menulis soal dua daerah yang bekerja sama dalam pembangunan, sih? Lho, memangnya ada? Ada, dong. Coba deh lihat kerja sama antara Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro. Meskipun berbeda provinsi, kedua kabupaten yang berbatasan langsung ini bekerja sama dalam pembangunan infrastruktur, lho.
Sebagai orang asli Bojonegoro yang saat ini tinggal dan bekerja di Blora, saya turut merasakan hasil kerja sama dua daerah itu. Mau tahu kerja samanya seperti apa? Begini, lho, Gaes.
Daftar Isi
Pembangunan Jembatan Terusan Bojonegoro-Blora (TBB)
Jembatan Terusan Bojonegoro-Blora (TBB) memiliki panjang 1100 meter dan lebar 9 meter dibangun pada bulan Juni 2020. Jembatan yang membentang di atas Sungai Bengawan Solo ini menghubungkan wilayah Desa Luwihaji, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro dengan Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora.
Pembangunan jembatan TBB yang menghabiskan anggaran sekitar Rp 97,5 miliar adalah bentuk kerja sama Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan Blora. Selanjutnya, pada tanggal 3 Januari 2021 jembatan TBB diresmikan oleh Mensesneg Pratikno, Menhub Budi Karya Sumadi, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono didampingi Gubernur Jawa Tengah, Bupati Bojonegoro, dan Bupati Blora.
Jembatan TBB juga membuka akses Blora wilayah selatan dengan Bojonegoro dan Ngawi. Sebelum ada jembatan TBB, warga Blora selatan yang akan pergi ke Bojonegoro dan Ngawi harus memutar ke Cepu dan Padangan dengan jarak tempuh yang lebih jauh, yaitu sekitar 30 km. Dengan adanya jembatan TBB, jarak ke Bojonegoro dan Ngawi menjadi lebih dekat.
Selain harus memutar ke arah Cepu dan Padangan, dulu warga Blora selatan yang ingin pergi ke Bojonegoro harus naik perahu dengan perasaan was-was karena takut tenggelam. Sekarang mereka sudah tidak takut lagi pergi ke Bojonegoro karena bisa melintasi jembatan TBB yang aman dan nyaman.
Pembangunan Ruas Jalan Penghubung Jembatan TBB ke Bandara Ngloram
Setelah sukses bekerja sama dalam membangun jembatan TBB, Pemkab Blora dan Bojonegoro kembali menjalin kerjasama dalam pembangunan ruas jalan yang menghubungkan jembatan TBB dengan Bandara Ngloram, Cepu. Pembangunan jalan ini diperlukan agar masyarakat di wilayah Ngraho, Margomulyo, dan Ngawi tidak memutar dulu ke Padangan. Dengan demikian jarak tempuh menuju Bandara Ngloram menjadi lebih dekat.
Dalam proyek yang bersumber dana dari Bantuan Keuangan Kabupaten Bojonegoro sebesar Rp34 miliar ini ada 4 ruas jalan yang dibangun. Keempat ruas jalan itu adalah jalan Menden-Ketuan, Ketuan-Panolan, Panolan-Klagen, dan Sidorejo-Kenongogong.
Terus muncul pertanyaan: kok Kabupaten Bojonegoro bisa mendanai pembangunan jalan di daerah lain, sih? Jawabannya begini, Gaes. Seperti dilansir dari www.blorakab.go.id, ide ini berawal dari konsultasi Bupati Blora, H. Arief Rohman, S.IP., M.Si dengan Mensesneg, Pratikno perihal ruas jalan yang menghubungkan jembatan TBB dengan bandara Ngloram belum sepenuhnya bagus.
Untuk membangun keempat ruas jalan itu diperlukan dana yang besar, sedangkan alokasi anggaran dari APBD jumlahnya terbatas. Dengan adanya permasalahan ini, Mensesneg menyarankan agar Pemkab Blora bekerjasama dengan daerah sekitar. Nah, melalui Perubahan APBD Kabupaten Bojonegoro Tahun 2022, Pemkab Bojonegoro memberikan Bantuan Keuangan kepada Kabupaten Blora.
Dari kerja sama ini kalian bisa mengetahui bahwa kedua daerah ini tidak melulu bersaing kan, Gaes? Keduanya bisa berkolaborasi membangun suatu kawasan perbatasan yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat Bojonegoro dan Blora.
Baca halaman selanjutnya
Pembangunan Bendung Gerak Karangnongko
Lagi-lagi Bojonegoro dan Blora berkolaborasi dalam pembangunan infrastruktur. Kali ini Bojonegoro dan Blora terlibat dalam Proyek Strategis Nasional, yaitu pembangunan bendung gerak Karangnongko. Lokasi bendung gerak Karangnongko ini memisahkan Desa Ngelo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro dengan Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora.
Sebagaimana dilansir dari https://pu.go.id, bendung gerak Karangnongko diproyeksikan dapat menyuplai air irigasi di kawasan Solo Valley Werken seluas 62000 hektare. Suplai air ini akan didistribusikan melalui Daerah Irigasi Karangnongko Kiri (Kabupaten Bojonegoro) dan Daerah Irigasi Karangnongko Kanan (Kabupaten Blora).
Selain mengairi persawahan, bendung gerak Karangnongko beroperasi secara terintegrasi sebagai penyedia air untuk kebutuhan irigasi dan air baku pada wilayah Bengawan Solo Hilir. Wilayah ini meliputi Kabupaten Ngawi, Bojonegoro, Blora, Tuban, Lamongan, hingga Gresik.
Saat ini pembangunan bendung gerak Karangnongko sudah dimulai pada proses pembebasan lahan. Selanjutnya pada tahun 2024 direncanakan pembangunan konstruksi dapat dilakukan sehingga ditargetkan selesai pada tahun 2027. Seluruh pendanaan pembangunan bendung gerak Karangnongko berasal dari APBN.
Daerah yang terlibat kerja sama harus punya cita-cita yang sama
Dari ketiga proyek di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa semua daerah yang terlibat dalam kerja sama harus mempunyai semangat, cita-cita, dan pemikiran yang sama, yaitu pembangunan secara makro. Artinya, pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya bermanfaat untuk satu daerah, tetapi juga bermanfaat bagi daerah lainnya.
Tidak boleh ada pemikiran bahwa suatu daerah berkontribusi lebih besar dari daerah lain sehingga hasilnya nanti diklaim sebagai kesuksesan daerah tersebut. Atau mungkin malah sebaliknya, karena suatu daerah berkontribusi kecil maka daerah tersebut minder memanfaatkan hasil dari sebuah proyek kerja sama. Dengan berpikir secara makro maka daerah-daerah yang terlibat tidak hanya memikirkan pembangunannya sendiri, tetapi lebih luas juga berpikir tentang pembangunan di daerah lain karena sama-sama bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Membandingkan pembangunan dua daerah sih sah-sah aja sebagai kritik dan saran bagi pemangku kepentingan. Tapi, kalau terus-menerus mencari perbandingan juga nggak bijak, Gaes. Yang ada malah daerah kalian menjadi inferior daripada daerah lain dan ujung-ujungnya kalian nggak bangga dengan daerah sendiri. Ironis banget, kan?
Ingat, Gaes, kata Farel Prayoga: ojo dibanding-bandingke! Kalau bisa bersama-sama membangun daerah seperti yang dilakukan oleh Bojonegoro dan Blora, kenapa nggak?
Penulis: Rudy Tri Hermawan
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten yang Sering Dilupakan.