Kereta Prameks masih kurang ramah untuk lansia, padahal transportasi umum harusnya inklusif dan ramah untuk semua kalangan
Saya punya anggapan kalau kota atau negara yang maju adalah yang punya transportasi umum yang mapan dan budaya warganya yang baik dalam menggunakannya. Argumen ini sering saya katakan pada orang di sekeliling saya. Dan saya rasa banyak yang juga sepakat dengan hal ini.
Sebab, transportasi umum adalah hak warga masyarakat harusnya pemerintah lebih mengutamakan transportasi umum. Baik dalam dan antar kota terutama di perkotaan, ketimbang hanya berfokus pada moda transportasi jalan raya yang sudah pasti ujung-ujungnya macet.
Di kota Yogyakarta, dari dulu diberkahi sama beberapa transportasi umum dari angkot seperti colt kampus, bis kota (Kopata, Aspada, Kobutri, dll), sampai kereta api lokal dan jarak jauh. Cerita tentang kereta lokal jadi salah satu hal yang seksi untuk dibahas pada konteks Jogja. Setidaknya ada dua trayek kereta lokal, satu ke Solo di timur dan satu ke arah Kutoarjo di barat.
Yang ke arah Solo menggunakan armada yang cukup baru yaitu kereta rel listrik alias KRL yang dulu cuma bisa ditemui di Jabodetabek. Adanya KRL di DAOP 6 wabil khusus di jalur Jogja-Solo ini konon kabarnya bikin jalur lainnya di Jawa “iri” karena juga kepingin ada KRL di jalurnya.
Yang ke arah Kutoarjo adalah kereta legend yang sudah sejak lama meroda di jalur rel Jogja yaitu kereta Prambanan Ekspres alias Prameks yang dulu jadi tulang punggung kereta lokal Jogja-Solo yang kemudian diperpanjang sampai Kutoarjo. Sejak ada KRL Jogja-Solo, trayeknya jadi cuma Jogja-Kutoarjo. Banyak penglaju Jogja pasti punya kenangan di kereta rel diesel satu ini.
Kalau membahas kereta Prameks, nggak cuma dari sisi legendarisnya seperti yang pernah saya tulis. Tapi, juga transformasinya yang semakin bagus secara armada dan fasilitas.
Kereta Prameks nggak ramah lansia
Dulu rangkaian gerbong Prameks adalah gerbong bekas dari kereta buatan Jepang, bekas KRL yang disulap jadi KRD, berkursi tegak yang bikin punggung sakit semua, serta keberadaan penumpang yang duduk ngamper di lantai. Sekarang, Prameks bertransformasi jadi menggunakan rangakian kereta baru yang sama dengan kereta Bandara YIA reguler dengan bangku penumpang seperti pada kereta ekonomi premium. Pokoknya jadi lebih baik dan tertib.
Saya sebagai pengguna Prameks sejak masih bertrayek ke Solo sampai yang sekarang cuma ke Kutoarjo, merasakan perubahan yang lebih baik. Tapi di balik fasilitasnya yang sudah oke dalam melayani perjalanan dari Jogja ke Kutoarjo dan sebaliknya, ada kekurangan Prameks yang bikin penumpang terutama yang berusia lanjut berpikir dua kali untuk naik Prameks.
Yang pertama terkait dengan letak peron untuk Prameks yang jauh dari pintu masuk kereta lokal di Stasiun Yogyakarta. Pintu masuk tempat penumpang nge-tap kartu atau tiket berada di selatan. Sedangkan kereta Prameks berada di peron 6 yang mana itu adalah jalur paling utara. Beda sama peron kereta Bandara atau KRL yang ada di selatan dekat pintu masuk.
Ini bikin calon penumpang Prameks harus menembus riuhnya Stasiun Tugu. Terutama di akhir pekan atau liburan dengan menyebrang sekian rel kereta. Bahkan sesekali masuk ke kereta lain untuk menuju ke peron 6. Yang anak muda saja mengkis-mengkis karena harus jalan sejauh itu dan menerjang berbagai obstacle-nya. Apalagi bagi lansia yang untuk jalan saja sudah sulit.
Bisa diperbaiki, dan harus diperbaiki
Yang kedua soal budaya memberi tempat duduk kepada penumpang prioritas, khususnya lansia. Pengalaman saya naik Prameks dari Stasiun Wates ke Jogja, di mana kereta sudah hampir penuh karena terisi penumpang dari Stasiun Kutoarjo, ada satu lansia yang juga naik dari Stasiun Wates tidak kebagian tempat duduk jadi harus berdiri sampai ke Stasiun Tugu. Memang jumlah penumpang Prameks tidak dibuat pas sama tempat duduk, jadi ada yang kemudian harus berdiri.
Penumpang Prameks yang saya naiki ini terkesan kurang punya kesadaran untuk memberikan tempat duduknya kepada lansia ini, padahal mereka masih muda-muda. Petugas Polsuska juga sudah berusaha mencarikan tempat duduk. Tapi penumpang lain lebih memilih untuk acuh dan melanjutkan tidur sepanjang perjalanan. Entah acting atau sungguhan, wallahu a’lam.
Dua hal ini yang bikin penumpang lansia harus mikir dua kali sebelum naik kereta Prameks. Memang harganya lebih terjangkau daripada naik kereta yang lain atau kendaraan pribadi. Tapi soal begini rasanya mending pakai kereta Bandara YIA untuk misalnya dari Jogja ke Wates atau sebaliknya. Walaupun harganya agak mahal dikit dan tiketnya lebih terbatas, tapi jauh lebih nyaman.
Mungkin ini bisa lebih diperhatikan oleh pihak terkait. Biar kita layak untuk disebut sebagai negara maju dengan transportasi umum yang bagus dan inklusif serta budaya penumpangnya yang baik.
Penulis: Rizqian Syah Ultsani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jenis Orang Goblok yang Naik Kereta Prameks




















