Keresahan Guru Ngaji: Profesi yang Menuntut Kesempurnaan padahal Kami Ini Manusia Biasa

Keresahan Guru Ngaji Dituntut Sempurna, padahal Manusia Biasa (Unsplash)

Keresahan Guru Ngaji Dituntut Sempurna, padahal Manusia Biasa (Unsplash)

Agaknya, guru ngaji lebih pas disebut sebagai relawan ketimbang pekerja profesional.

No debat. Guru ngaji adalah profesi mulia. Saking mulianya, sampai-sampai tak banyak generasi muda yang sanggup, apalagi mau menjalaninya.

Sebenarnya, guru ngaji ada banyak macamnya. Kalau di masyarakat, biasa disebut kiai kampung. Tugas mereka jauh melampaui sekadar mengajarkan membaca dan memahami kitab suci. Lebih dari itu, mereka hadir di setiap lini. Sebagai panutan, konselor kehidupan, hingga penyelesai konflik tingkat tinggi. 

Tak digaji negara, tapi bertanggung jawab atas moral anak bangsa

Bicara soal gaji guru di Indonesia, memang tak ada hulunya. Terlebih bagi guru ngaji kampung. Mereka tak punya pendapatan tetap. Besar-kecilnya penghasilan, tergantung keikhlasan masyarakat atau seberapa sering diundang acara.

Acara maulid (hari-hari besar), nujuh bulanan, perkawinan, bahkan kematian seseorang, menjadi “ladang rezeki”. Biasanya, para guru ngaji atau kiai kampung diundang untuk turut memimpin doa dan pengajian. Dan dari situlah mereka mendapatkan penghasilan. Atau yang biasa disebut “salam tempel”.

Dibanding guru ngaji kampung, nasib (sedikit) lebih baik pernah saya alami ketika mengajar di madrasah diniyah seperti TPA. Per bulan, guru TPA masih diberi gaji sesuai dengan beban kinerja. Meskipun masih sangat jauh di bawah standar layak.

Padahal, katanya, guru ngaji adalah ujung tombak pembentuk karakter generasi masa depan. Tapi nyatanya, penghargaan yang mereka terima sering tak sebanding dengan peran mereka. Jauh dari kata layak. 

Maka tak heran kalau generasi muda enggan melirik profesi ini. Pasalnya, siapa sih yang mau menggantungkan hidupnya pada jumlah orang yang meninggal? Masa iya mengharap pendapatan dari duka kematian?? Kan nggak….

Hanya jadi selingan, bukan profesi utama

Jarang sekali saya menemukan orang yang hanya berprofesi sebagai guru ngaji. Kebanyakan, mereka punya pekerjaan utama lain. Misalnya saja, kakek saya. Profesi sungguhannya adalah petani. Kakek merangkap menjadi guru ngaji sebab semasa mudanya dia habiskan mendalami kitab suci dan ingin mengabdi.

Di luar mengajar, kami harus mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Entah menjadi petani, pedagang, atau merangkap profesi lain. Akibatnya, waktu dan fokus mengajar terpecah. Seringnya, dinomorduakan jika waktunya bertabrakan dengan hal lain. 

Sebenarnya, dari sini terlihat jelas ada sebuah keresahan. Ada dilema yang tak pernah terucap dari lisan mulia mereka. Ingin totalitas dalam mengabdi, tapi realitanya menuntut mereka mencari penghasilan tambahan.

Stigma negatif guru ngaji

Sudah tak punya gaji tetap, beban moral berat, ditambah pula segelintir oknum guru ngaji yang mencoreng nama baik profesi ini. Bukannya bangga karena berprofesi mulia, jatuhnya malah jadi malu.

Kalau nggak percaya, coba saja kalian ketik “guru ngaji” di pencarian Google. Pasti yang muncul di deretan teratas pencarian adalah semua hal yang menjijikan. Guru ngaji mesum, cabul, selingkuh, sampai “guru ngaji hot”. Sungguh membuat malu.

Jujur, ini salah satu yang membuat saya enggan mengaku sebagai guru ngaji di luar lingkup pesantren. Bukan karena saya pelaku atau segelintir oknum tersebut. Hal itu lantaran saya malu dan merasa terpojok. Takut sekali dicurigai. Sungguh saya tak pernah melakukan itu, tapi tetap saja saya kebagian malu.

Dituntut sempurna, padahal cuma manusia biasa

Pandangan khalayak terhadap guru ngaji tak tanggung-tanggung. Di mata sebagian orang, mereka adalah orang suci. Hamba kesayangan Tuhan. Manusia sempurna, tanpa cacat, tanpa cela. 

Ekspektasi liar ini justru membuat kami menanggung beban dan tekanan besar. Gerak gerik mereka selalu disorot, hingga membuat langkah mereka terasa sempit. Salah ucap sedikit, langsung dicap salah. Mengambil keputusan pun penuh rasa takut. 

Bahkan, belum lama ini, seorang guru ngaji dipidana oleh wali murid dan didenda Rp25 juta hanya karena mendidik dengan cara yang dianggap “terlalu keras”. Sungguh nasib.

Banyak teman jaga jarak 

Kalau ini, pernah saya alami sendiri. Saya merasa terisolasi dari lingkar pertemanan. Jalinan pertemanan yang saya rasakan tak lagi sama dan natural setiap saya pulang dari pondok pesantren. Ada hal yang berbeda. Terutama pada kawan-kawan lama saya. 

Saat nongkrong, mereka menunjukkan gelagat tak leluasa. Bicaranya mendadak jadi santun. Tindak tanduknya mencerminkan kesahajaan yang tidak natural. Terlihat sangat dibuat-buat. Seolah takut bersikap bebas dan apa adanya. Entah karena ingin menghargai, atau karena khawatir saya akan menilai dan menghakimi.

Padahal, seharusnya biasa saja. Akibatnya, saya kehilangan kedekatan sosial yang dulu terasa hangat dan natural. Bagaimana? Malang bukan? Sudahlah tak punya pendapatan tetap, harus mencari profesi tambahan, belum lagi dituntut sempurna, dan tak jarang malah dicurigai.

Harapan kedepannya untuk profesi guru ngaji

Teruntuk pemerintah, tentunya saya berharap guru ngaji ini diberi perhatian khusus. Diberi hak selayaknya guru sekolah pada umumnya, misalnya. Atau, dukungan dana yang layak, dapat pelatihan, hingga perlindungan hukum.

Teruntuk masyarakat, kami adalah manusia biasa pada umumnya. Bisa benar, bisa salah. Mereka makan, minum, juga bersosial. Jadi, berhentilah menganggap mereka malaikat.

Juga untuk kalian, para segelintir oknum (yang termasuk dalam pencarian teratas Google), berhentilah melakukan hal bodoh dan memalukan. Beban kami sudah berat. Janganlah ditambah dengan perbuatan biadab kalian. 

Sekian, terima kasih.

Penulis: Ifana Dewi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Uneg-uneg dari Guru Ngaji Privat Anak, Kami Butuh Gaji Kami Cair

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version