Sepeda motor di jalanan Jepang termasuk pemandangan yang cukup jarang saya lihat di kota kecil tempat saya tinggal dulu. Kalau di Tokyo, ada rombongannya Takemichi dkk kali, ya. Itu lho, adegan anak SMA konvoi motor di Tokyo Revengers. Anak SMA di Jepang memang sudah boleh punya SIM, kok: jujur dan nggak perlu dituakan umurnya. Eh.
Di Jepang, mengendarai sepeda motor wajib bisa menunjukkan SIM dan nggak boleh hanya asal bisa naik saja. Sebab, dendanya ngeri banget kalau melanggar aturan ini. Nggak bisa “damai” juga. Katanya, bisa punya SIM dan naik sepeda motor sesuai aturan di Jepang itu ribetnya bukan main, lho. Mau tahu?
Perihal SIM motor di Jepang
Jadi, kalau di Indonesia SIM motor itu ada 3 jenis, SIM C, C1, dan C2. Menurut Perpol Nomor 5 Tahun 2021, SIM C dibedakan jadi 3 jenis berdasar kapasitas silinder mesin sepeda motornya, yaitu SIM C untuk sepeda motor sampai 250 cc, SIM C1 250 cc – 500 cc, dan SIM C2 untuk di atas 500 cc. Di Jepang pun sama, ada pembedaan jenis SIM berdasar kapasitas mesin kendaraannya. Bahkan, SIM motor di Jepang setidaknya ada 7 jenis.
#1 Jenis SIM motor di Jepang
Satu, sepeda motor sampai dengan 50 cc. Dua, sepeda motor biasa terbatas kecil (sampai 125 cc). Tiga, sepeda motor biasa terbatas hanya untuk automatic kecil (sampai 125 cc). Empat, sepeda motor biasa (sampai 400 cc). Lima, sepeda motor terbatas hanya untuk automatic biasa (sampai 400 cc). Enam, sepeda motor besar (di atas 400 cc). Tujuh, sepeda motor terbatas hanya untuk automatic besar (di atas 400 cc).
Di Jepang, SIM kendaraan automatic dibedakan dan penggunaannya terbatas hanya untuk automatic. Jadi, kalau punya SIM nomor 7 berarti ia bisa mengendarai sepeda motor cc berapa pun di bawahnya. Kalau SIM nomor 5 misalnya, ia bisa mengendarai kendaraan di bawah 50cc, di bawah 125 cc, maupun di bawah 400 cc, tetapi belum bisa mengendarai sepeda motor di atas 400 cc. Kira-kira seperti itu.
Nah, untuk syarat umurnya, untuk SIM motor di bawah 400 cc sudah bisa diikuti oleh anak yang sudah berumur 16 tahun. Sedangkan untuk di atas 400 cc untuk usia 18 tahun.
#2 Cara dapat SIM motor di Jepang
Cara mendapatkan SIM sepeda motornya, ternyata ribet, lho. Ada dua cara untuk mendapatkannya. Pertama, dengan ikut sekolah mengemudi terverifikasi. Kedua, ikut one-shot test. Kalau ikut sekolah mengemudi, nanti hanya ikut tes fisik (pengelihatan, buta warna, pendengaran, dll) dan tes akademik tertulis saja tanpa perlu ikut tes keahlian. Tetapi, kalau sudah punya SIM mobil, tak perlu repot-repot ikut tes tertulis juga.
Kalau ikut one-shot test, ia harus ikut tes fisik, tes tertulis mengenai aturan dan etika berlalu lintas, pelatihan keterampilan mengemudi, dan pelatihan P3K. Pelatihan keterampilan mengemudi selama kurang lebih 3 jam ini terdiri dari operasi dasar, dasar-dasar mengemudi, dan pengetahuan tentang mengemudi yang aman. Untuk one-shot test ini biasanya standar keterampilan mengemudinya nggak tercapai karena ujiannya di tempat. Oleh karena itu, banyak yang menyarankan untuk ikut sekolah mengemudi saja, terlebih untuk yang pertama kali ikut ujian SIM.
#3 Biaya untuk dapat SIM motor di Jepang
Biaya ujian untuk one-shot test ini total sekitar 50.000 yen (sekitar 6 juta rupiah) jika lulus SIM sementara dan SIM utamanya. Sebagai contoh rinciannya, untuk biaya ujiannya 2.600 yen, biaya penggunaan kendaraan uji 1.450 yen, biaya pengiriman 2.050 yen, biaya kursus pada saat akuisisi 12.000 yen, biaya pelatihan P3K 4.200 yen, dll. Kalau gagal bagaimana, dong? Ya ikut lagi ujiannya, bayar lagi, dari awal lagi.
Untuk biaya sekolah mengemudi, sekitar 150.000 yen – 270.000 yen (sekitar 18 juta – 30 juta rupiah), tergantung sekolah dan daerahnya, juga jenis SIM yang akan diambil. Kenapa biayanya mahal sekali? Namanya juga sekolah. Setidaknya mereka harus menghabiskan waktu 9 – 16 hari untuk sekolah ini.
Untuk pelajaran akademik teorinya saja membutuhkan 26 jam pelajaran dan pelajaran keahlian 9-36 jam pelajaran (tergantung jenis SIM). Sudah mahal, lama pula ya. Namun, sekolah mengemudi ini lebih direkomendasikan untuk pemula karena peluang mendapat SIM dalam sekali ujiannya lebih besar.
Perihal sepeda motor di Jepang
Pajak motor di Jepang berapaan, sih? Kalau sepeda motor di bawah 125 cc sekitar 2.000 yen per tahun (250 ribu rupiah). Mirip lah ya dengan punya kita. Sama seperti di kita juga, pengendara sepeda motor wajib mendaftarkan diri asuransi pengguna jalan raya (mirip jasa raharja kali ya) dan saat beli sepeda motor wajib mendaftarkan diri ke kantor pemerintah, bagian lalu lintas, dll. Ini biasanya bisa diwakilkan dealer juga, sama seperti kita sih.
Untuk urusan perboncengan juga ribet lho ternyata. Setelah kita mengemudikan sepeda motor selama setahun, barulah kita bisa memboncengkan orang lain. Kalau ketahuan melanggar aturan ini, bisa jadi SIM kita dicabut sementara atau didenda 12.000 yen (1,5 juta rupiah) atau bahkan sampai 100.000 yen (sekitar 12 juta rupiah).
Untuk sepeda motor yang bisa untuk memboncengkan adalah yang di atas 50 cc dan wajib yang berkapasitas dua tempat duduk. Kalau di atas 50 cc tapi cuma 1 tempat duduk, ya nggak bisa boncengan. Ini kalau melanggar juga didenda 1 poin dan denda 6.000 yen (sekitar 700 ribu rupiah). Nah, poin-poin pelanggaran berlalu lintas ini juga berlaku banget di Jepang. Jadi ingat poin pelanggaran sekolah yang dicatat BK ya, mirip.
Katanya lagi, sejak 1 April 2005 larangan berboncengan di jalan raya dicabut tetapi aturannya menjadi ketat karena untuk mengendarai motor di jalan raya itu membutuhkan kecepatan yang tinggi. Syarat itu antara lain usia pengemudi 20 tahun atau lebih (kalau melanggar denda 2 poin dan 12.000 – 100.000 yen), 3 tahun setelah punya SIM (denda sama seperti sebelumnya), kapasitas mesin lebih dari 125 cc, dan memiliki dua tempat duduk (denda 2 poin dan 6.000 yen).
Sebenarnya bisa dipahami sih ya kalau aturan bersepeda motor itu sangat ketat. Sebab, mereka memikirkan keselamatan banyak orang. Pantas saja teman Jepang saya terkaget-kaget saat datang ke Indonesia dan bilang kalau sepeda motor di sini itu seperti raja jalanan.
Kira-kira sepeda motornya Satria Baja Hitam itu bisa buat boncengan nggak, ya?
Sumber Gambar: Unsplash