Kenapa ya Perempuan Gemar Nyusruk ke Toxic Relationship?

Kenapa ya Perempuan Gemar Nyusruk ke Toxic Relationship? (Unsplash)

Kenapa ya Perempuan Gemar Nyusruk ke Toxic Relationship? (Unsplash)

Orang bijak berkata, “Mengajari perempuan mencintai serupa dengan membimbing air mencari tempat yang rendah.” Bisa dibilang ungkapan tersebut sangatlah tepat. Terlebih jika disandingkan dengan ungkapan bahwa cinta membutakan dan menulikan, Bahkan membuat sinting orang yang sedang dimabuk cinta, sampai terjerembab ke dalam toxic relationship.

Cinta adalah perasaan murni yang memang Allah ciptakan. Perempuan rela berkorban demi cinta, apa saja akan dilakukan. Perempuan menganggap bahwa cinta adalah perasaan suci dan harus dijaga kesuciannya. Banyak perempuan yang bersedia berkorban demi sang kekasih sampai rela meninggalkan keluarga, harta, bahkan kedudukan.

Jika lelaki yang mencintai banyak menuntut atau perhitungan dalam memberi, perempuan tidak demikian. Mereka tidak mengenal batas dalam pemberian kepada yang dicintai. Karena itulah banyak perempuan yang terjebak dalam toxic relationship atau hubungan racun.

Toxic relationship bisa dipahami sebagai hubungan antara dua orang atau lebih. Di sana tidak adanya saling mendukung. Yang ada adalah konflik yang merusak, serta tidak adanya rasa hormat dan kurangnya kekompakkan. 

Hubungan ini sering tidak disadari dan muncul sebagai hubungan yang sempurna dan sehat berdasarkan perspektif orang lain. Namun, dalam hubungan toxic relationship sendiri hanya berisi amarah, ketidakbahagiaan, frustrasi, dan kekesalan. 

Hubungan racun ini bukan hanya dapat terjadi antara sepasang kekasih. Bisa juga terjadi di lingkungan keluarga, teman, hingga rekan kerja. Berikut beberapa alasan perempuan sering terjebak ke dalam toxic relationship.

Perasaan bosan yang muncul dari kesepian

Manusia tidak akan tahan menyendiri sepanjang hidupnya. Bahkan manusia berkecenderungan memilih rasa sakit, termasuk toxic relationship, ketimbang rasa bosan.

Menurut penelitian yang dilakukan di Maastricht University, Belanda, pada 2016 menunjukkan bahwa bagi sebagian besar orang, rasa bosan adalah sesuatu yang jauh tidak tertahankan. Terutama jika dibandingkan rasa sakit sehingga cenderung mereka akan memilih rasa sakit ketimbang rasa bosan.

Andi Sahadja dalam artikelnya yang terbit di Kompasiana menjelaskan bahwa terdapat mekanisme otak yang disebut response fight or flight atau respons “berkelahi atau lari”. Ini berguna mengatur perilaku kita untuk merespons situasi yang dianggap sebagai ancaman atau bahaya. Rasa sakit seperti yang dirasakan ketika kita terluka, adalah sinyal bagi otak bahwa tubuh kita mengalami cedera atau bahaya potensial.

Oleh karena itu, jika otak dihadapkan pilihan memilih rasa sakit atau bosan, maka otak lebih memilih untuk memperhatikan rasa sakit. Otak akan memicu response fight or flight yang meningkatkan kemampuan kita untuk bertahan hidup dan menghindari bahaya.

Dalam konteks ini, rasa bosan tidak “dipilih” oleh otak. Itulah alasan sebagian besar dari manusia terutama perempuan yang memang telah disetting Tuhan sejak awal untuk menerima dan menahan segala jenis rasa sakit, maka tidak heran jika mereka memilih menanggung rasa sakit. Apapun itu jenisnya. 

Sakit bekerja, sakit belajar, sakit berolahraga, dan terutama menanggung rasa sakit bertahan dengan seseorang yang padahal sudah tahu terus menyakiti dan tidak memberi kebahagiaan. Termasuk toxic relationship di dalamnya.

Masochisme

Tertulis dalam buku yang berjudul “Perempuan” karya Prof. Quraish Shihab. Di sana dikatakan bahwa menurut pakar psikologi Mesir bernama Zakaria Ibrahim bahwa perempuan memiliki kecenderungan masokisme. 

Maksudnya, mencintai diri sendiri yang terkait dengan kecenderungan untuk menyakiti diri (berkorban) demi melanjutkan keturunan. Oleh sebab itu, perempuan lebih mudah terjebak dalam toxic relationship.

Sebagaimana memang kodrat wanita memikul rasa sakit khususnya ketika haid, mengandung, melahirkan, menyusukan serta membesarkan anak. Sudah begitu ditambah dengan kecintaan kepada dirinya sendiri. Menjadikan perempuan punya kuasa lebih mengatasi kesulitan dari rasa sakit yang ditimpakan kepadanya.

Rasa takut setelah putus dan harapan sikap berubah

Pastinya, perasaan yang dirasakan setelah putus, terutama toxic relationship, akan berat pada awalnya. Rasa sedih, bingung, lega, menyesal, dan lainnya campur dari satu. 

Ada juga ketakutan yang dirasakan apabila pasangan yang ditinggalkan punya sikap yang buruk, takut dijahati, atau bahkan diteror. Mungkin juga ada kemungkinan para perempuan bertahan karena berharap dia dapat mengubah sikap pasangannya. Meskipun pasangannya terlihat tidak ada perubahan, seorang perempuan ketika sudah bertekad akan sulit dibelokkan.

Dari ketiga hal di atas, hendaknya kita sebagai manusia yang butuh pasangan, terutama untuk perempuan harus bisa mengendalikan diri dan menyaring orang yang dekat dengan kita. Yah, supaya tidak ada lagi perempuan-perempuan yang terjerumus dalam kubangan racun, toxic relationship, sehingga sulit untuk keluar dari ikatan tersebut.

Penulis: Fadrika Hening Mangesti

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA First Love, Cinta Pertama Berakhir Indah Hanya Ada di Serial Netflix

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version