Sebagai mahasiswa yang merantau ke Semarang, saya kaget pertama kali mendengar teman-teman bilang, “Loh, 30 menit? Jauh banget, males ah.” Padahal menurut saya, 30 menit itu bukan jarak yang mengerikan. Di tempat asal saya, Jakarta, waktu segitu malah sering dianggap dekat dan wajar untuk sekadar main atau nongkrong. Perbedaan cara pandang ini bikin saya mikir: kok bisa ya, jarak yang sama rasanya beda banget?
Misalnya, pernah suatu kali saya mengajak teman-teman nongkrong di kafe yang menurut Google Maps cuma 12 kilometer dari kos. Reaksi mereka langsung seperti saya baru saja mengajak ekspedisi lintas provinsi. “Jauh, Bro. Mending sini-sini aja,” kata mereka. Padahal kalau dihitung, perjalanan itu cuma butuh 30 menit lebih sedikit. Di tempat saya dulu, jarak segitu nggak bakal bikin orang mundur, paling cuma bikin nanya, “Lewat tol atau enggak?”
Dari situ saya sadar, soal jarak dan waktu ternyata sangat dipengaruhi kebiasaan hidup di kota masing-masing. Di Semarang, jalanan relatif lancar dan semua terasa lebih ringkas, sehingga 30 menit berkendara memang dianggap cukup jauh. Sedangkan di kota besar yang lalu lintasnya padat, waktu segitu justru sering dianggap dekat bahkan menguntungkan. Jadi, ini bukan soal siapa yang benar atau salah, tapi bagaimana lingkungan membentuk persepsi kita tentang jauh dan dekat.
Jakarta: Jalan lebih banyak, waktu lebih panjang, beda dengan Semarang
Kalau di Semarang, pilihan jalan dari titik A ke titik B biasanya bisa dihitung dengan jari, di Jakarta justru seperti memilih menu di warteg—banyak pilihan, tapi ujung-ujungnya rasanya sama saja: tetap lama. Bedanya, di Jakarta kita bisa punya ilusi kendali. Mau lewat jalan besar? Macet. Mau lewat gang kecil? Macetnya lebih kecil, tapi deg-degan ketemu mobil dari arah berlawanan.
Banyaknya jalan di Jakarta membuat orang terbiasa memikirkan rute alternatif, bahkan sebelum berangkat. Ada sensasi “gaming” tersendiri saat mencari jalan tercepat lewat Google Maps, lengkap dengan strategi menghindari titik merah. Perjalanan 30 menit di Jakarta sering kali terasa “dekat” bukan karena jaraknya pendek, tapi karena itu sudah standar minimum dari sebuah perjalanan di sana.
Akhirnya, persepsi 30 menit di Jakarta jadi beda kelas. Di Semarang, waktu segitu sudah cukup untuk menempuh perjalanan lintas kecamatan. Di Jakarta, 30 menit itu baru cukup untuk keluar dari kawasan tempat tinggal. Jadi wajar kalau teman-teman di Semarang menganggap 30 menit itu “jauh,” sementara warga Jakarta menganggapnya “baru mulai.”
Macet: Teman sehari-hari warga Jakarta
Kalau ada satu hal yang membuat orang Jakarta dan sekitarnya punya standar “dekat” yang berbeda, jawabannya jelas: macet. Bukan macet biasa, tapi macet yang bisa membuat perjalanan lima kilometer memakan waktu satu jam penuh. Saking terbiasanya, orang Jakarta sampai bisa menebak durasi macet di jam tertentu, lengkap dengan titik-titik “rawan penumpukan” seperti tukang parkir hafal slot kosong.
Macet ini membuat persepsi waktu jadi melar. Perjalanan 30 menit di Jakarta itu ibarat “bonus waktu” karena biasanya butuh lebih lama. Jadi kalau ada rute yang cuma setengah jam, itu langsung dianggap rejeki nomplok. Wajar kalau mereka nggak keberatan berangkat sejauh itu, karena di standar mereka, itu masih kategori ringan.
Sementara di Semarang, macet yang bikin orang stres jarang terjadi. Kalau pun ada, biasanya hanya di jam sibuk dan itu pun tidak separah di Jakarta. Akibatnya, 30 menit berkendara di Semarang benar-benar berarti jarak yang lumayan jauh, bukan efek “kecepatan siput” karena lalu lintas. Dan di situlah letak perbedaan mindset: di Jakarta, waktu perjalanan sudah “di-mark up” oleh macet; di Semarang, waktu perjalanan adalah waktu sebenarnya di jalan.
Mentalitas waktu: ‘sedia payung’ sebelum berangkat
Perbedaan lain yang bikin standar “jauh” dan “dekat” di dua kota ini semakin kontras adalah cara warganya mempersiapkan perjalanan. Orang Jakarta sudah terbiasa menambahkan “biaya waktu” dalam setiap agenda. Kalau janji ketemu jam tujuh malam, mereka bisa berangkat jam lima sore hanya untuk mengantisipasi macet, lampu merah yang kelewat lama, atau kejutan lain di jalan. Dalam pikiran mereka, berangkat terlalu cepat lebih aman ketimbang terjebak macet sambil panik lihat jam.
Sepengalaman saya, di Semarang, strategi itu terdengar seperti paranoia. Di sini, orang bisa berangkat setengah jam sebelum janji dan tetap sampai tepat waktu—bahkan kadang terlalu cepat sampai, lalu bingung mau ngapain sambil nunggu. Spontanitas lebih memungkinkan karena lalu lintas relatif ramah dan rutenya tidak sekompleks Jakarta.
Jadi, kalau dipikir-pikir, perbedaan persepsi soal “30 menit” sebenarnya bukan sekadar soal jarak dan jalan, tapi soal mentalitas hidup. Jakarta mengajarkan warganya untuk selalu siap dengan skenario terburuk di jalan, sedangkan Semarang membuat warganya terbiasa menikmati kecepatan perjalanan. Mungkin itu sebabnya, bagi orang Semarang, 30 menit terasa seperti perjalanan jauh, sementara bagi orang Jakarta, itu hanyalah pemanasan.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
