Saya mulai memiliki uban saat berumur 16 tahun. Awalnya cuma 1-2 helai rambut yang memutih. Karena tak punya pengetahuan, saya berusaha menutupinya dengan cara keliru: setiap pagi sebelum berangkat sekolah, saya menginspeksi rambut, jika ada yang berwarna putih, langsung saya cabut.
Umur bertambah, uban juga. Dua tahun kemudian, di usia 18 tahun saya berhenti mencabuti uban-uban tersebut. Saya coba searching di internet bagaimana cara menghilangkan uban dengan bahan alami. Dengan modal internet dan sumber tidak kredibel, dicobalah ramuan aneh dengan campuran yoghurt dengan bubuk kopi. Saya keramas beberapa kali menggunakan ramuan aneh tersebut dan ya… useless. Namun, kenginan menyembunyikan uban-uban sialan ini tidak pernah hilang dan akhirnya, saya membeli cat rambut Tancho.
Saya membaca bahwa uban muncul di usia muda bisa karena kurang vitamin. Oke, ini tidak cocok dengan keadaan saya, saya merasa tidak mungkin kekurangan vitamin. Penyebab kedua, karena merokok, ini juga tidak sesuai dengan keadaan saya. Saya baru mulai merokok di usia 20. Penyebab ketiga katanya karena stres. Baik, saya memang kadang stres menghadapi urusan sekolah dan kuliah, tapi kok cuma saya yang ubanan tapi temen saya tidak? Apa mungkin karena teman-teman saya tidak peduli dengan sekolah? Lanjut poin keempat, karena keturunan. Well, masalahnya kedua orang tua saya mengaku beruban setelah usia 30 tahunan, bukan saat belasan.
Saya sempat bingung memikirkan hal ini, sampai kapan saya harus terus menyembunyikan uban sialan ini? Apalagi saya anggap anak muda beruban berbeda dengan anak muda jerawatan. Anak muda jerawatan itu bisa dianggap wajar karena hormon segala macam. Jerawat juga bisa dihilangkan lewat perawatan teratur, pakai skincare atau ke dokter kulit, jaga makanan, dan voila… jerawat hilang. Berbeda dengan uban, ia tidakbisa musnah. Kalau saya cabut, uban-uban itu kembali tumbuh. Kalau saya cat, uban itu hanya saya sembunyikan warnanya. Fakta akhirnya, saya tetap anak muda yang ubanan.
Saya sangat ingin bisa bebas dari uban. Atau setidaknya uban tersebut bisa menghilang dan boleh kembali lagi saat saya sudah berumur 30 tahun. Bahkan jika saya mendapatkan lampu wasiat Aladi,n permintaan inilah yang pertama kali akan saya minta kepada Jin lampu. Astaghfirullah.
Akhirnya saya sampai pada titik capek menyembunyikan uban. Ya, sesekali masih saya cat, tapi lebih sering malasnya. Saya membiarkan uban-uban sialan ini menghiasi kepala saya, dan itu mengundang candaan sampai olokan.
“Ih, Ikhsan ubannya banyak banget.”
“Masih muda kok udah ubanan? Stres ya?”
“Sini gua cabutin uban lo.”
“Dasarrr tuaaa.”
Sekarang saya sudah kebal dengan segala hair shaming macam itu. Awalnya emang agak kepikiran, tapi makin berjalannya waktu saya sudah bisa membalas dengan hahaha saja. Dulu sih sempat marah, pengin ngajak duel, tapi kok kayaknya makin merepotkan dan malah bisa bikin uban saya jadi lebih banyak. Sial.
Saat ini saya sudah bodo amat terhadap uban-uban ini. Sebaliknya, sekarang saya sadar saya masih sangat rupawan dengan uban yang menghiasi kepala saya. Seperti kata filsuf-filsih Stoa, “Ngapain memikirkan hal yang tidak bisa kamu kendalikan.” Syukur-syukur kalau uban ini bisa bikin nasib saya kelak seperti Pak Ganjar Pranowo.
BACA JUGA 3 Hal yang Bisa Kita Pelajari dari Sayembara Desain Logo Kemendagri dan tulisan Muhammad Ikhsan Firdaus lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.