Saya bukan anak Pramuka, tapi waktu SD dulu, saya pernah beberapa kali mengikuti kegiatan Pramuka di sekolah. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada sore di hari Jumat. Namun, saya yang pemalas ini justru lebih sering memilih untuk bermain bola sama teman-teman dibanding harus ke sekolah lagi hanya untuk Pramuka.
Dulu kegiatan Pramuka tidak wajib. Para siswa boleh memilih mau ikut kegiatan ini atau tidak. Paling risikonya saat terima rapor, kolom kegiatan tidak ada isinya. Selain malas, saya juga sedikit kecewa lantaran ekspektasi saya yang berlebihan terhadap kegiatan Pramuka.
Saya mengira kegiatan Pramuka Indonesia seseru yang saya tonton di film-film kartun Amerika. Di mana mereka melakukan kegiatan benar-benar di alam terbuka atau di hutan. Contohnya berkemah di tengah hutan, bikin api unggun, berburu makanan, dan sebagainya. Namun, saat tahu ternyata kemah di Indonesia hanya kemah di lapangan atau halaman sekolah, makanan pun diantar oleh orang tua, saya kecewa sekali. Rasanya tidak seseru apa yang saya lihat di film kartun.
Gara-gara kecewa itu saya tak tertarik lagi ikut Pramuka. Setelah saya pikir-pikir dewasa ini, masuk akal juga anak Pramuka di Indonesia hanya berkemah di lapangan sekolah. Yah, siapa juga sih yang mau bawa anak didik mereka ke hutan untuk berkemah di sana? Kalau terjadi apa-apa kan bisa-bisa gurunya yang disalahkan.
Ada satu lagu kegiatan yang tidak saya mengerti fungsinya apa. Saat malam terakhir perkemahan, semua anggota biasanya dikumpulkan di tengah lapangan. Setelah itu kakak pembina akan mulai bercerita. dari renungan hingga ditutup dengan motivasi. Saat renungan malam ini, biasanya kita akan diminta membayangkan tentang orang tua kita di rumah. Bagaimana jika mereka sakit, atau bagaimana jika mereka meninggal. Biasanya di sesi ini banyak anggota yang menangis, terutama anak perempuan.
Di saat itu saya malah tidak bisa menangis. Entah karena saya tidak mengerti apa yang dibicarakan atau memang saya tidak bisa membayangkan orang tua saya meninggal. Tapi, satu hal yang mengganjal di pikiran saya adalah apa sih fungsinya renungan malam itu?
Sejujurnya, dulu saya merasa jadi orang jahat yang tidak memiliki nurani karena tidak meneteskan air mata pada renungan malam. Teman-teman yang lain dengan mudah menangis, bahkan sesegukan. Sementara mata saya tetap kering tidak ada air mata. Saya memang tak bisa membayangkan rasanya orang tua saya meninggal, namun saat bapak saya benar-benar berpulang, saya menangis sejadi-jadinya.
Namun, seaneh dan semembosankan kegiatan Pramuka zaman saya SD dulu, masih kalah ketimbang kegiatan Pramuka saat ini. Jika saya lihat kabar yang berseliweran di media sosial, kegiatan anak Pramuka saat ini kadang melakukan hal konyol seperti berjalan menyusuri comberan. Apa sih manfaat kegiatan ini
Kalau dulu ada kegiatan seperti menjahit. Anggota Pramuka diharuskan menguasai beberapa keterampilan, salah satunya menjahit. Dan bagi anggota yang mahir, akan diberi emblem yang bisa mereka jahit di seragam. Nah, kalau kegiatan seperti menjahit ini kan jelas manfaatnya. Lha, kalau berjalan di comberan manfaatnya apa? Sudah ada jalan yang dibangun untuk dilewati, kok malah pilih jalan menyusuri comberan?
Ada juga kabar terbaru soal beberapa anggota Pramuka yang dianiaya seniornya. Ini kegiatan Pramuka apa MMA, sih, kok sampai ada korban segala? Setahu saya yang dulu jarang aktif, kegiatan Pramuka sebenarnya cukup santai. Tidak perlu lah ada kekerasan secara fisik. Sudahlah, lakukan kegiatan yang aman saja. Saya yakin niatan para anggota mengikuti Pramuka itu untuk mengembangkan soft skill dan social skill-nya, bukan pengin jadi McGregor, kok.
Penulis: Sigit Candra Lesmana
Editor: Intan Ekapratiwi