Memiliki nama yang agak kebarat-baratan atau asing memang terdengar keren, padahal sering kali juga bikin repot. Mulai dari permasalahan penulisan ejaan yang senantiasa ribet jika sudah berhubungan dengan urusan formal, sampai ke pertanyaan-pertanyaan asal usul nama yang sering ditanyakan oleh teman-teman masa kecil.
Saya sempat merasakan itu, terutama saat masa anak-anak dan menempuh pendidikan formal. Nama belakang saya Fernandez, merupakan nama fam di NTT dari bapak saya. Saya dari keluarga Katolik, nama depan mengambil nama santo pelindung, jadi kesan kebarat-baratannya lumayan terasa. Nama Fernandez walaupun bukan nama yang cukup asing, tapi saya yang tinggal dan besar di Lombok, dengan lingkungan pertemanan anak-anak kampung (sebelum dianggap menghina, ini maksudnya kami memang tinggal di kampung tengah kota) saat itu, memang terdengar berbeda.
Padahal nama saya itu pun tidak barat-barat amat, tapi kata Fernandez di akhir nama saya kerap kali bikin teman-teman bertanya, bagaimana saya bisa mendapatkannya. Saya jawab saja, nama itu lungsuran dari bapak saya. Karena di beberapa daerah di NTT, ada nama fam yang melekat di keluarga-keluarga di sana. Nama-nama fam itu mirip dengan nama orang portugis, selain Fernandez ada juga Da Costa, Parera, dan lainnya.
Pertanyaan tidak sampai di situ, saya juga ditanya apakah masih ada ikatan keluarga dengan Iker Cassilas Fernandez? Atau ketika ada yang bernama Fernandez senantiasa muncul pertanyaan dari orang ke saya, apakah saya memiliki pertalian darah dengan mereka. Padahal tentu saja tidak semua orang yang bernama akhir dengan saya merupakan keluarga saya.
Selain itu, saya sering kali bermasalah dengan urusan ejaan nama, ketika absensi di kelas atau urusan formal, banyak yang salah menulis nama akhir saya menjadi Fernandes, yang seharusnya kata terakhir menggunakan Z. Penulisan ejaan memang sering kali jadi masalah dalam penulisan nama. Bahkan nama tengah saya juga sering salah ditulis menjadi Roni yang seharusnya Rony. Apalagi nama depan saya, yang seharusnya Atanasius sering kepeleset disebut menjadi anatasius atau antanasius. Kesalahan penulisan ejaan ini pernah menjadi topik hangat di media sosial beberapa waktu lalu.
Untuk urusan formal seperti pencatatan di catatan sipil, ijazah, atau gaji PNS dan lainnya kesalahan nama bisa bikin masalah jadi panjang, seperti harus mengurus berkas dari nol, atau membiarkan nama kita berubah selamanya. Untuk kasus terakhir, banyak teman saya yang namanya berubah tidak sesuai dengan nama pemberian orang tua, karena guru SD-nya salah menulis nama teman saya itu di ijazah.
Sebenarnya, saya agak beruntung karena nama saya relatif tidak begitu asing, sehingga secara umum orang lain mudah menerimanya. Meskipun tetap saja ketika di tempat umum seperti saat kuliah perdana di kampus, dan saya diminta menyebutkan nama, semua orang pasti seketika menoleh ke arah saya setelah saya menyebutkan nama lengkap.
Mungkin tren penamaan nama anak itu dipengaruhi globalisasi dan teknologi yang berkembang pesat. Nama yang benar-benar asing makin sering kita temui diberikan ke anak-anak yang baru lahir, terutama dalam satu-dua dekade terakhir. Seperti selebritis Franda yang nama anaknya, Zylvechia sempat ramai dibicarakan orang tahun lalu.
Semakin ke sini, nama anak-anak menjadi semakin aneh dan tingkat kesulitan mengejanya juga semakin parah. Bisa saja ke depan nama anak di Indonesia mirip seperti nama orang Eropa Timur, semacam nama kiper Juventus asal Polandia, Wojciech Szczęsny. Duh, guru-gurunya harus ekstra teliti menulis nama anak itu jika ada orang tua yang ‘tega’ menamainya seperti itu.
Belum lagi setiap nama memiliki pesan atau makna yang disematkan oleh masing-masing orang tua mereka. Sudah ribet memiliki nama asing, ditambah lagi dengan harapan macam-macam yang dibebankan ke pundak, makin beratlah beban hidupnya.
Eh, tidak hanya sampai situ. Berbagai keribetan yang akan dijalani seorang anak dengan nama asing, akan diperparah dengan pandangan negatif orang lain. Banyak yang menganggap anak itu sok-sokan pakai nama asing supaya terlihat keren. Selain itu, juga akan dianggap tidak memegang teguh budaya nusantara karena tidak memilih nama-nama khas Indonesia seperti Agus, Eka, Dewi, Udin, Suparman, Tari, Putri, Putra, dan lainnya. Suara-suara sumbang itu sudah mulai terdengar beberapa tahun terakhir.
Memang susah sih menafikan kenyataan pengaruh globalisasi saat ini, di mana pengaruh antar negara sangat mudah terjadi di tengah pengaruh internet yang kian meluas. Setiap orang ingin anak mereka terlihat berbeda dengan orang lain, salah satunya lewat pemberian nama. Cara paling mungkin agar terlihat berbeda adalah mencari nama asing yang tidak mungkin akan dipilih oleh orang lain.
Akhirnya, seperti kata banyak orang, nama adalah doa. Bagus atau jeleknya pandangan orang lain terhadap sebuah nama, tetap saja ada harapan orang tua yang tertuang di sana. Perubahan adalah kepastian. Tren penamaan anak dengan nama kebarat-baratan menggantikan nama-nama khas nusantara sudah mulai terjadi. Tinggal bagaimana kita, mau ikut berubah atau tidak? Dengan segala risikonya tentu saja, salah satunya bersedia untuk repot dengan nama kebarat-baratan itu.
BACA JUGA Nama-Nama yang Punah Karena Zaman dan tulisan Atanasius Rony Fernandez lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.