Kelakuan Fans Inggris yang Memuakkan dan Sikap Tahu Diri yang Langka

fans inggris yang memuakkan football is coming home gareth southgate timnas inggris overrated mojok

gareth southgate timnas inggris overrated mojok

Perhelatan Euro 2020 sudah berakhir dengan kemenangan Italia atas Inggris dalam drama adu penalti dalam partai final yang berlangsung Senin 12 Juli 2021 dini hari. Saya ucapkan selamat atas tim nasional Italia. Dari awal penyisihan grup, Italia memang tampil sangat ciamik dengan squad yang dimilikinya. Namun, drama Euro 2020 belum berakhir, MyLove. Drama apalagi kalau bukan tentang fans Inggris yang rasis?

Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka adalah tiga anggota tim nasional Inggris yang gagal menendang eksekusi penalti pada partai final. Setelah kegagalan mereka, saya lihat akun media sosial mereka dipenuhi oleh hujatan oleh warga Inggris yang kesal dengan kegagalan mereka sehingga mereka kalah di partai final. Bukan hujatan biasa, tapi hujatan yang dilemparkan pada mereka bernada rasis karena mereka bertiga berkulit hitam. Gila!

Hujatan dengan nada candaan seperti “Rashford, Sancho, dan Saka itu pemain MU dan Arsenal, nggak usah diharapkan!”, atau, “Kekalahan timnas Inggris ini salah MU dan Arsenal. Dua klub itu bawa sial,” masih bisa saya toleransi. Tapi, kalau hujatannya sudah mengarah tindak rasisme, saya benar-benar nggak bisa terima

Bayangin, negara dengan industri sepak bola semaju itu punya fans yang sepandir itu. Jangankan mereka yang berkulit hitam, David Beckham yang jelas-jelas berkulit putih saja dihujat habis-habisan oleh warga Inggris saat jadi biang kekalahan Inggris saat World Cup 1998 setelah diganjar kartu merah oleh wasit. Tapi, kita tidak melihat Beckham dihujat sekeras itu setelah gagal mengeksekusi penalti di Euro 2004. Kegagalan demi kegagalan Beckham pun disikapi dengan tenang. Sebaliknya, sedikit saja kesalahan dibuat oleh pemain berkulit hitam, pemain tersebut tak dibiarkan hidup dengan tenang.

Padahal Inggris seharusnya berterima kasih pada para imigran yang kini jadi andalan tim nasional Inggris. Dilansir dari Migration Museum UK, tim nasional Inggris hanya akan menyisakan Luke Shaw, Mason Mount, John Stones, dan Jordan Pickford jika skuat hanya berisi pemain berdarah Inggris murni. Bahkan 13 di antara 26 punggawa timnas Inggris yang berlaga di pentas Euro 2020 hitungannya bukan “orang Inggris asli” karena salah satu orang tua atau kakeknya adalah imigran.

Kelakuan fans Inggris yang rasis ini mengingatkan saya akan kasus serupa yang terjadi pada Mesut Özil yang pernah berkata, “Saat saya menang, saya diakui jadi warga negara Jerman, tapi saat saya kalah, saya disebut imigran.” Padahal jasa Mesut Özil bagi timnas Jerman ini sangat banyak.

Tidak usah jauh-jauh ke Eropa, Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang telah mengharumkan nama bangsa Indonesia dengan meraih medali emas pada Olimpiade Barcelona 1992 saja terkena isu rasial karena mereka merupakan keturunan Tionghoa. Pada masa itu, keturunan Tionghoa tidak dianggap pribumi. Padahal banyak warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang telah mengharumkan nama Indonesia.

Kelakuan fans Inggris yang rasis memberi kita bukti bahwa fans sering bertindak kelewat batas. Mereka seakan punya pengetahuan yang lebih-lebih ketimbang pemain. Mereka seakan-akan punya kapabilitas untuk menanggung beban yang tak akan pernah mereka rasakan.

Padahal, kalau mereka ada dalam posisi Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka yang menendang penalti, saya jamin mereka akan geumpeur juga! Lutut mereka akan gemetar sebelum menendang bola karena tekanan, dan tendangan mereka juga sama-sama tidak akan masuk. Gimana bisa nendang penalti kalau kerjaannya cuma bisa nonton sepak bola doang tanpa olahraga sama sekali? Bisanya cuma menghujat ketika timnya kalah.

Saya paham sih, fans itu pasti selalu menuntut. Mulai dari fans musik, fans film, sampai fans sepak bola. Tapi, harusnya yang dikritik itu permainannya, bukan rasnya, bukan pribadi orangnya. Kita harus bisa membedakan, antara kritik dengan hujatan. Apalagi, hujatan yang dilakukan adalah hujatan bernada rasial. Ini abad 21, sudah tidak elok untuk melakukan hujatan bernada rasial semacam itu.

Tindakan fans Inggris yang rasis adalah contoh terbaik bagi kita, umat manusia, untuk tidak berevolusi ke belakang. Perbedaan warna kulit dan ras adalah hal yang tak terhindarkan. Sebagai manusia, kita harusnya bisa memahami bahwa perbedaan bukanlah hal yang perlu diributkan.

Untungnya, ketika saya memeriksa laman media sosial Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka, kolom komentar mereka sudah tertutupi oleh komentar senior timnas Inggris yang memberi mereka semangat seperti Steven Gerrard dan David Beckham. Mereka berdua paham akan hal tersebut. Gerrard pernah melakukan kesalahan fatal yang membuat Liverpool gagal meraih gelar juara Liga Premier Inggris. Sedangkan David Beckham pernah melakukan kesalahan saat World Cup 1998 setelah diganjar kartu merah oleh wasit.

Seharusnya, sikap kita sebagai fans sepak bola itu mencontoh Gerrard dan Beckham. Mereka mendukung dan menyemangati pemain yang melakukan kesalahan agar ke depannya mereka bisa bermain dengan lebih bagus.

BACA JUGA ‘Sleeping Dogs’, Gim Underrated yang Lebih Bagus ketimbang GTA V dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version