Saat memasuki semester 7 bangku perkuliahan, mahasiswa di fakultas saya diwajibkan untuk melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Kebetulan saya adalah mahasiswa jurusan Pendidikan yang mendapatkan tugas untuk PPL di salah satu sekolah swasta di Kabupaten Cilacap. Selama melaksanakan kegiatan tersebut, saya dan kawan-kawan mengontrak sebuah rumah di Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Fyi, kecamatan satu ini hanya berjarak sekitar 30 menit dari pusat kota.
Selama tinggal di kabupaten ini, saya mengalami kejadian aneh yang nggak saya alami sebelumnya saat tinggal di Purwokerto. Bahkan, keanehan yang terjadi di Kabupaten Cilacap membuktikan kalau keanehan di Kabupaten Bantul seperti yang pernah dituliskan Mbak Cindy Gunawan di sini masih belum seberapa. Lho, kok bisa?
Daftar Isi
Pengamen dan pengemis di Alun-alun Cilacap sebanyak butiran pasir di pantai selatan
Setelah melaksanakan PPL selama 6 hari dalam sepekan, saya dan teman-teman memilih untuk menghabiskan akhir pekan kami untuk berwisata. Pada akhir pekan pertama, saya bersama dua orang kawan memutuskan untuk menikmati sore hari di Alun-alun Cilacap. Kami sampai di alun-alun pada pukul 17.45. Beberapa menit kemudian, azan magrib pun berkumandang di langit Cilacap dengan syahdu.
Selepas salat magrib, kami menyempatkan diri untuk berkeliling alun-alun sebanyak satu putaran. Setelah lelah berkeliling, kami memutuskan untuk duduk sejenak sembari merebahkan kaki dan meminum secangkir es kopi susu. Nah, di sinilah keanehan pertama yang saya rasakan soal Kabupaten Cilacap muncul.
Saat sedang asyik menyeruput es kopi, datanglah seorang pengamen. Saya yang merasa terganggu karena suara penyanyinya yang nggak merdu blas langsung menyerahkan receh lima ratusan. Sang pengamen langsung bergegas meninggalkan kami tanpa jejak. Selang berapa menit kemudian, datanglah pengemis lain yang mengeluhkan dunia dan seisinya sembari menengadahkan tangan. Tanpa berpikir lama, kawan saya pun giliran memberikan uang kertas seribuan.
Namun, keanehan semakin menjadi-jadi. Selama kami duduk di tepi alun-alun selama setengah jam, sudah hampir 8 orang peminta-minta (baca: pengamen dan pengemis) menghampiri kami. Kalau dibagi rata, paling nggak dalam 3-4 menit sekali setidaknya ada 1 orang peminta-minta yang menghampiri kami. Bahkan, mas-mas yang pertama kali mengamen sudah berputar alun-alun sebanyak 2 kali.
Saya sampai geleng-geleng kepala. Kok ada orang ngamen keliling tempat yang sama berkali-kali, ya? Lucunya, entah sengaja atau nggak, mas-mas ini ngamen di depan saya 2 kali. Haduh!!!
Kenakalan remaja Cilacap boleh diadu dengan klitih Jogja
Mungkin masih terngiang dalam benak kalian mengenai kejadian seorang bocah SMP di Kecamatan Cimanggu yang dihajar teman satu sekolahnya. Ya, kejadian itu hanya contoh kecil dari kenakalan remaja Cilacap yang diunggah media sosial dan trending. Sejatinya, kejadian itu bukan hanya sekali, masih ada kejadian lain yang nggak diketahui khalayak, salah satunya kejadian di tempat saya PPL.
Di hari terakhir pelaksanaan PPL, saya melihat berita di feed Instagram bahwa ada remaja yang berkeliaran menggunakan celurit di sekitar Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Untungnya, malam itu saya nggak keluar kontrakan dan tidur gasik, jadi saya selamat dari teror di malam itu. Dan, kalaupun kejadian itu berlanjut di malam selanjutnya, saya sudah nggak khawatir. Hal ini lantaran keesokan harinya saya sudah bisa pulang ke Purwokerto.
Simalakama menggunakan helm saat berkunjung ke pantai di Kabupaten Cilacap
Jika kalian berkunjung ke pantai di kabupaten yang terkenal dengan Nusakambangannya ini, saya sarankan untuk menggunakan kendaraan roda dua tanpa helm. Kenapa begitu? Ya kalau kalian maksa menggunakan helm saat melewati pintu masuk pantai, kalian bakal dimintai retribusi. Belum lagi dengan biaya parkir yang nggak ramah dengan mahasiswa kere seperti saya.
Beda ceritanya kalau kalian lewat pintu masuk pantai tanpa menggunakan helm. Sudah pasti petugas nggak bakal mengadang kendaraan kalian untuk membayar retribusi. Kalian bisa tancap gas dan memasuki pantai dengan gratis. Pengunjung yang melalui gerbang masuk tanpa helm akan dikira sebagai warga sekitar yang sudah biasa keluar masuk area pantai. Itulah sebabnya petugas nggak bakal menarik retribusi dari kalian. Kejadian aneh ini saya rasakan saat mengunjungi Pantai Menganti, Pantai Kemiren, dan Pantai Teluk Penyu di Kabupaten Cilacap.
Kalau boleh usul, seharusnya pihak terkait memberikan perlakuan sama terhadap semua pengunjung pantai di Cilacap. Semua pengunjung tanpa terkecuali wajib membayar retribusi untuk pemeliharaan wisata. Jika nggak, akan menimbulkan kecemburuan sosial bagi warga yang ditarik retribusi. Khusus bagi para nelayan dan pedagang mungkin bisa diberlakukan co-card atau penanda lain yang bisa membebaskan mereka keluar masuk tanpa perlu bayar retribusi.
Itulah keanehan yang saya alami saat menetap di Kabupaten Cilacap selama 40 hari. Sebenarnya masih ada satu lagi keanehan yang masih ramai di media sosial. Keanehan itu berasal dari sebuah video yang beredar soal polisi yang nggak hafal Pancasila di Kecamatan Kawunganten. Kejadian ini semakin meyakinkan saya kalau Cilacap memang lebih aneh dari Bantul dari segi apa pun. Aneh tenan, Lur!
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Meski Bekasi Lebih Modern, untuk Perkara Kenyamanan, Tetap Kalah Jauh sama Cilacap.