Saya heran dengan beberapa orang di media sosial yang mengatakan bahwa pembentukan Tim Virtual Police atau polisi virtual bakalan mengganggu stabilitas berpendapat. Polisi virtual yang mulai Kamis (25/02/21) dinyana bakalan menjadi pengingat betapa represinya aparat di zaman Orde Baru.
Duh, malahane, kan? Lha katanya: enak zamanku, toh?
Niat baik kepolisian kok ya bisa-bisanya diragukan oleh segenap pihak yang mengatakan nada sumbang. Salah satunya Pengamat Keamanan Siber, Teguh Aprianto, kepada CNN yang mengatakan, “Ini malah sebenarnya yang mereka (Polri) lakukan ini cenderung bikin masyarakat lebih takut untuk mengeluarkan pendapat.”
Sebagai orang yang demen banget mantengin video mas-mas aparat nembang “Terpesona”, saya menyatakan ketidaksetujuan dengan Teguh. Semuanya ini prosesnya konstitusional banget, lho. Bahkan orang yang diduga sebagai pelanggar akan diberikan kado berupa teguran via direct message.
Saya malah jadi kagum sama Bli JRX. Blio bahkan sudah mengaplikasikan kebijakan ini jauh sebelum Tim Virtual Police dibentuk. Bli JRX, ketika ada pihak yang mengganggu blio via media sosial, pastilah kata-kata sakti miliknya keluar: CEK DM-MU, SAT!
Tapi, ya polisi nggak mungkin gitu. Geger gedhen semisal polisi virtual nge-DM-nya seperti Bli JRX yang nantang gelut.
Bedanya, tim polisi virtual ini jauh lebih sopan dari Bli JRX. Mereka akan memberikan peringatan terlebih dahulu perihal unggahan yang berpotensi melanggar pidana. Baik berupa gambar atau tulisan.
Unggahan yang berpotensi melanggar pidana itu lantas akan ditangkap layar dan diajukan kepada Direktur Siber untuk memberikan pengesahan. Virtual Police Alert inilah yang bikin deg-degan kayak dapat DM dari Bli JRX, karena akan masuk ke dalam pesan pribadi si pemilik akun.
Nggak, nggak, isinya bukan perihal: CEK DM-MU, SAT! Nggak gitu konsepnya. Ini jauh lebih sopan, yakni berharap bahwa konten yang diunggah itu dihapus oleh si pemilik. Bila menolak, teguran akan terus dikirimkan via pesan media sosial.
Gini lho, kalau dapat DM dari Bli JRX, pol mentok ya diajak berantem, kan? Mendingan juga dapat DM dari Tim Virtual Police. Tinggal duduk ngaso di rumah, tahu-tahu dijemput oleh segerombolan orang. Kan enak, daripada bonyok berantem sama JRX. Lho saya serius. Polisi kan mengayomi, nggak mungkin berakhir memeras dan seperti apa yang sering dilihat di media sosial, kan?
Masalah potensi pungli dan pemerasan, ah saya rasa nggak mungkin, deh. Traumatik masyarakat kepada tabiat polisi yang sering dijumpai di kehidupan nyata, itu nggak bakal kejadian di dunia maya. Dunia yang penuh tipu-tipu, polisi yang berusaha mencegah itu masak ya ikutan tipu-tipu? Saya percaya banget sama bapak-bapak polisi.
Saking percayanya, saya sampai yakin Tim Virtual Police nggak bakal berlaku seperti ini,
Pungli terossss pic.twitter.com/vvQg1L8jQE
— txtdariorangberseragam (@txtdrberseragam) February 22, 2021
Selain itu, saking percayanya saya sama kepolisian, bahkan saya nggak mau mempertanyakan salah benar sebuah postingan dalam satu sudut pandang saja. Nggak perlu itu yang namanya hakim, yang diperlukan adalah Tim Virtual Police sebagai double-job. Kasihan betul, pasti capek.
Katanya, sih, selama ini UU ITE bahkan belum bisa memayungi apa itu hoaks dan opini. Sekarang ditambahi dengan hadirnya Tim Virtual Police bak polisi moral. Wah, jangan salah sangka, salah benar sebuah kegiatan sipil di lingkungan masyarakat, itu yang menilai ya aparat. Dalam puncak hierarki kebenaran, bahkan aparat kedudukannya jauh lebih tinggi dari sains sekalipun. Camkan itu, Anak muda!
Masalah siber di Indonesia itu makin hari makin menggila. Bahkan Tirto dan Tempo, beberapa waktu lalu kena retas setelah mengeluarkan laporan yang berisikan kritik terhadap pemerintah. Daripada meneropong serangan siber seperti peretasan, kepolisian kini lebih memilih mengurus masyarakat dalam bermedia sosial.
Analoginya, seperti ada yang tawuran di luar sekolah, tapi para guru lebih memilih menghukum para siswa yang ada di dalam sekolah yang nggak mengerjakan PR. Apakah pilihan kepolisian ini benar? Ayolah, mbok rasional sedikit, kalau ada cara yang gampang, kenapa kudu milih yang susah?
Seakan menjawab doa saya, benar saja, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi mengatakan bahwa proses menjaring jala di kolam penuh ikan ini sudah berlaku. Puji Tuhan, sungguh cekatan kinerja kepolisian ini seperti penegakan kasus pelanggar HAM saja.
Slamet mengatakan, “Per 24 Februari 2021 sudah dikirimkan melalui DM (direct message) sebanyak 12 peringatan virtual polisi kepada akun medsos. Artinya kita sudah mulai jalan.” Hayoooh, kapokmu kapan! Makanya jadi orang jangan berseberangan dengan pemikiran arus mainstream.
Kalau patroli biasanya muter pakai mobil, Slamet menegaskan bahwa patroli di media sosial ini menyasar platform besar macam Twitter, Facebook, dan Instagram. Saran saya, sih, jangan kasih tugas ini kepada polisi-polisi gendut itu ya, Pak. Sudah buncit, main media sosial terus pula. Tapi saya ngedukung lho, Pak. Saestu. Hihihi.
Katanya sih, katanya lho ya, unit yang digagas oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit ini justru mencegah tindakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang super lentur itu. Ujar blio, tugas utama tim ini memberikan edukasi kepada pengguna media sosial.
Kamu yang biasanya dapat DM dari gebetan saja deg-degan, apalagi ini, dari pihak kepolisian. Bukan hanya deg-degan, tetapi saya yakin kalian juga bakal ngewel dan kemecer.
BACA JUGA Polisi Virtual, Pisau Mata Ganda bagi Pemerintah