Kediri yang Lupa Ingatan: Tingkat Kegemaran Membaca Rendah, padahal Sejarah Kediri Erat dengan Literasi

Bertahun-tahun Merantau di Kediri Bikin Saya Sadar, Nggak Semua Orang Cocok Hidup di Daerah Ini Mojok.co surabaya

Bertahun-tahun Merantau di Kediri Bikin Saya Sadar, Nggak Semua Orang Cocok Hidup di Daerah Ini (unsplash.com)

Membicarakan Kediri memang tak ada habisnya. Bagaimana tidak, lha wong Kediri ini terkenal wingit, lho. Salah satu mitos yang terkenal sampai detik ini ialah para presiden tak ada yang berani untuk datang ke Kediri, sebab jika ke Kediri maka tak lama kemudian jabatan itu akan lepas dari pundak mereka. Tapi itu, ya, mitos.

Tulisan ini tidak hendak membahas mitos itu. Sungguh, bukan bidang saya. Dalam tulisan ini saya hendak mengingatkan Kediri—khususnya pada pejabatnya—bahwa rupanya hari ini Kediri lupa ingatan. Mengapa lupa ingatan? Begini…

Tingkat kegemaran membaca yang rendah

Indeks Tingkat Kegemaran Membaca Masyarakat Kota Kediri terbaru menyatakan bahwa Kota Kediri menempati urutan ke-37 di Provinsi Jawa Timur. Sedangkan kita tahu, bahwa jumlah kabupaten/kota se-Jawa Timur berjumlah 38. Tahu kan artinya? Ya. Kota Kediri menempati urutan kedua dari bawah untuk Indeks Tingkat Kegemaran Membaca.

Lantas apa hubungannya dengan lupa ingatan?

Lupa ingatan berarti melupakan sejarah (atau bahkan tidak tahu?) bahwa Kediri memiliki peran penting dalam gelanggang literasi di Indonesia, bahkan sejak sebelum Indonesia ada, yaitu sejak zaman kerajaan.

Sejarah Kediri, mulai dari zaman kerajaan hingga zaman sebelum kemerdekaan erat kaitannya dengan gerakan literasi dan budaya baca-tulis. Selain itu Kediri juga melahirkan tokoh-tokoh yang memang sangat dekat dengan dunia literasi.

Kerajaan Kediri berdiri dengan pondasi kesusastraan yang kuat

Jika banyak kerajaan di Nusantara yang berdiri dengan bermandi darah, maka beda halnya dengan Kerajaan Kediri. Pada abad ke-11, Kerajaan Kediri berdiri dengan sederet karya sastranya yang dielu-elukan sebagai awal keemasan bagi kesusastraan Jawa Kuno.

Karya sastra dari Kerajaan Kediri diakui dengan mutu sastra yang tinggi dan adiluhung. Sebut saja Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dengan Kitab Bharatayudha-nya, Mpu Tanakung dengan Kitab Wertasancaya-nya yang berisi petunjuk cara pembuatan syair yang baik, atau kalau zaman sekarang bisa dikatakan bahwa Mpu Tanakung adalah role model kepenyairan Sastra Jawa kuno, dan sederet Mpu-Mpu lain yang namanya akan kalian temui di Mata Pelajaran sejarah.

Penerbit Tan Khoen Swie, penerbit ternama yang berdiri sebelum Balai Pustaka lahir

Bagi penggemar buku, tentu tidak asing dengan penerbit Balai Pustaka di Jakarta yang kerap dianggap penerbit buku legendaris di Indonesia. Penerbitan itu lahir tahun 1917 yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tapi 2 tahun sebelum itu, sudah ada, lho, penerbit beken yang memiliki pengaruh besar terhadap budaya literasi di Hindia-Belanda (sebelum Indonesia).

Penerbit itu bernama Boekhandel Tan Khoen Swie yang terletak di Kota Kediri Jawa Timur. Ya, meskipun penerbit itu dibangun oleh orang Tionghoa yang besar di Indonesia, tetapi penerbit itu cukup sukses mencetak generasi pribumi yang dekat dengan literasi dan membentuk budaya baca-tulis di Indonesia.

Sebelum nama Tan Khoen Swie masyhur, budaya di Indonesia masih berupa budaya lisan. Setelah kehadiran Tan Khoen Swie, budaya itu mulai bergeser menjadi budaya baca-tulis.

Kita mengenal nama Ronggowarsito serta karya-karyanya hingga saat ini salah satunya karena jasa penerbit Tan Khoen Swie ini yang dulu menerbitkan buku-bukunya. Selain itu penerbit ini juga menerbitkan semacam modul atau panduan membaca untuk anak-anak yang ingin belajar membaca dengan judul “Kitab A.B.C dan Batjaan oentoek Anak-Anak. Jang Hendak Beladjar Membatja dan Menoelis Bahasa Melajoe Hoeroef Olanda” pada tahun 1929.

Akhir Perjalanan Tan Malaka

Siapa yang asing dengan nama Tan Malaka? Seorang kesepian yang memiliki gelar Bapak Republik itu memiliki sejarah panjang dan kontribusi besar bagi Indonesia. Tentu dari bukunya yang terkenal, seperti “Madilog”, “Dari Penjara ke Penjara”, dan satu karyanya yang membuatnya dijuluki Bapak Republik, yaitu “Naar de Republik” atau “Menuju Republik”.

Perjalanan hidupnya yang berpindah-pindah, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negara ke negara lain cukup membuktikan bahwa sepak terjangnya tidak main-main. Namun siapa sangka, akhir perjalanan Tan Malaka rupanya di Kediri, di sebuah lereng Gunung Wilis, di sanalah ia beristirahat—lebih tepatnya dipaksa istirahat oleh tentara—untuk terakhir kalinya.

Musso, dedengkot PKI Madiun yang ternyata anak seorang kiai dari Kediri

Tragedi PKI 1948 di Madiun sampai detik ini masih dipelajari oleh anak-anak sekolah. Dalam buku pelajaran pun jelas, bahwa pimpinan gerakan itu adalah Munawar Musso. Dari pelajaran itu pula, guru sejarah acap kali menjelaskan bahwa PKI itu sesat dan anti-Tuhan.

Tapi tunggu dulu. Kediri setidaknya perlu sadar diri bahwa ia rupanya turut menyumbang tokoh (yang katanya) anti-Tuhan, kafir, dan tetek bengek lainnya. Ya. Musso adalah seseorang yang dilahirkan di Pagu, Kediri pada 1897. Beliau merupakan putra dari Kiai Hasan Muhyi, seorang pelarian pasukan Diponegoro yang kemudian membikin pondok Kapurejo di Kediri.

Musso sebenarnya memang bukan anak kandung Kiai Hasan Muhyi. Sebab diceritakan bahwa saat Kiai Hasan Muhyi menikahi seorang janda bernama Nyai Juru yang merupakan ibu dari Musso. Akan tetapi tak dapat disangkal, bahwa Kediri melahirkan tokoh yang cerdas sekaligus berbahaya sekaliber Munawar Musso ini.

Kediri menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi Bung Karno

Saya tak bisa membayangkan, andaikan seorang bocah bernama Koesno itu tak pernah mengenal Raden Soemosewojo di Kediri. Bisa-bisa Indonesia tak Merdeka di tahun 1945. Tapi ini cuma pengandaian saya saja yang bisa jadi keliru.

Koesno yang kala itu masih bocah kerap sakit-sakitan membuat ayahnya berikhtiar keras hingga bertemu dengan Soemosewojo di Pojok, Kediri. Saat itu Koesno bisa sembuh dengan dua syarat, yaitu mengganti namanya dan menjadi anak angkat dari Soemosewojo.

Alhasil digantilah namanya menjadi Soekarno dan ia menjadi anak angkat dari Soemosewojo. Di Pojok itulah yang sekarang dikenal dengan Ndalem Pojok, Soekarno kecil hingga remaja menghabiskan sebagian waktunya. Bahkan di Ndalem Pojok itu pula, tepatnya di bawah pohon kepuh, Soekarno banyak merenung terkait merenungi tentang dasar negara, sebelum ia dibuang ke Ende.

Pramoedya Ananta Toer ternyata juga berdarah Kediri

Sungguh keterlaluan kita jika tak mengenal nama Pramoedya Ananta Toer. Seorang sastrawan yang mendunia dengan karya-karya fenomenal, serta kisah hidup yang sungguh menyesakkan dada.

Tapi siapa menduga, bahwa Pramoedya Ananta Toer memiliki darah asli dari Kediri. Bapak dari Pramoedya Ananta Toer, Raden Mastoer, merupakan anak dari Imam Bajuri yang merupakan seorang penghulu di wilayah Ngadiluwih, Kediri. Setelah dewasa barulah Raden Mastoer ini pindah ke Blora hingga akhir hayatnya di sana.

Jadi, lagi-lagi Kediri memiliki andil besar dalam melahirkan tokoh-tokoh yang menyejarah. Bahkan sejak zaman kerajaan, penerbitan, Tan Malaka, Musso, Soekarno, hingga Pramoedya Ananta Toer.

Dari semua hal yang saya sebutkan di atas, tak ada satu pun yang tak menyentuh dunia baca-tulis alias dunia literasi. Tapi kok hari ini nyatanya Tingkat Kegemaran Membaca saja menduduki peringkat kedua dari bawah. Sungguh saru sekali. Benar-benar lupa ingatan Kediri ini. Apa nggak malu sama sejarahnya sendiri? Peh, sulit.

Penulis: Moh. Ainu Rizqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sisi Gelap Hidup di Pedesaan Kabupaten Kediri: Suasananya Membosankan, Tiap Hari Jadi Bahan Gunjingan Tetangga, Plus Penuh Jamet!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version