Mau gimana pun, kedengarannya malah lucu ketika Keuskupan Agung Jakarta mengeluarkan surat edaran. Sebuah surat yang menegaskan kalau “Katolik” itu cuma ada satu. Nggak ada cabangnya, apalagi yang sifatnya “garis-garisan”. Lucu, karena selama ini, saya mengenal Katolik yang luwes dan seneng gojek atau bercanda. Jadi, ketika akun Katolik Garis Lucu pamit dan kukut, yang saya rasakan malah kelucuan yang semakin menjadi. Katolik, yang mendasarkan sifat ajarannya kepada Hukum Cinta Kasih, kok bisa-bisanya nggak cinta dan kasih ke sesama, ke so called “golongannya sendiri”. Kok kaku begitu, ya?
PAMIT pic.twitter.com/yWmmvEKnOc
— KatolikG #dirumahaja (@KatolikG) June 8, 2020
Kalau soal proses ibadah, Katolik memang lebih “kaku” ketimbang, misalnya, Kristen. Aturannya sudah tertulis. Penyesuaian bisa dilakukan, misalnya Ekaristi Kaum Muda di Gereja Kota Baru. Beragam segmen baru dimasukkan. Sedikit mengubah wajah misa yang sebelumnya terasa kaku menjadi bisa “diterima zaman”, bahkan segala usia, lho. Namun, inti dari ekaristi tidak boleh diubah.
Artinya apa? Artinya akun Katolik Garis Lucu tidak seharusnya “tutup usia”. Seharusnya kelenturan di dalam penyampaian kasih lewat media Twitter tidak seharusnya dilawan menggunakan semacam surat kuasa. Mending bikin surat gembala saja, isinya mengingatkan lagi perlunya saling mengasihi di tengah pandemi sekarang ini. Iya, to?
Apakah Keuskupan Agung Jakarta merasa terganggu dengan keberadaan Katolik Garis Lucu dan segala kekonyolannya? Merasa tersaingi dalam usaha menyebarkan kasih sayang dan merangkul umat lebih luas? Ah, saya tidak mau berprasangka. Tapi, kok ya lucu.
Tapi asik, lho, kalau misalnya, di hari ke-3 setelah “tutup usia”, Katolik Garis Lucu bangkit lagi? Seperti Yesus yang bangkit di hari ke-3 untuk menggenapi nubuat para orang suci. Kenapa saya berharap begitu? Karena lewat Katolik Garis Lucu, justru Katolik bisa diterima lebih mudah oleh siapa saja, bahkan oleh teman-teman yang muslim, misalnya.
Gimana ya, seiring perubahan zaman, saya rasa cara pendekatan agama kepada umatnya sebaiknya disesuaikan. Ingat, bukan diubah, ya. Apalagi kalau soal iman. Zaman baru membutuhkan pendekatan yang juga baru. Intinya, supaya agama itu tetap relevan dengan masa kini, tetap relevan dengan regenerasi yang selalu terjadi di setiap roda zaman.
Katolik Garis Lucu, dengan segala kekonyolannya, justru lebih bisa menyampaikan “kabar gembira” dengan lebih “gembira” ketimbang gereja mana saja. Bahkan lebih asyik ketimbang OMK (Orang Muda Katolik)–sebuah wadah kreativitas anak muda Katolik–mana saja yang masih diasuh dan diawasi dengan sangat dekat oleh otoritas gereja. Faktanya begitu, lho.
Segala informasi, refleksi iman, ajakan berdoa, ajakan berbuat baik kepada semua manusia disampaikan dengan cara yang luwes. Bukankah kemampuan menyampaikan sesuatu secara sederhana dan bisa dipahami adalah kemampuan emas dari individu atau organisasi? Kalau karena Katolik Garis Lucu, semakin banyak anak muda yang mau ikut Jalan Salib atau doa rosario online, Keuskupan Agung Jakarta bisa apa selain membenarkan dan mendukung?
Satu hal yang saya sayangkan dari kukutnya Katolik Garis Lucu adalah kemampuan mereka “mengasuh” kasus-kasus intoleransi di Indonesia. Mereka tidak menghakimi, tidak selalu menjadi bagian yang tersakiti, tidak membenci. Kalau menyentil, sih, wajar. Mana ada yang tidak geram sama intoleransi yang terjadi?
Kalau unggahan mereka dianggap melecehkan otoritas “yang lebih tinggi”, tertawa saya justru makin keras. Kenapa, sih, sensian banget? Sampai menyatakan kalau “Katolik” itu cuma ada satu.
Sebentar, saya mau tanya, dong. Bukankah kata “Katolik” itu sendiri bermakna ‘universal’? benar atau benar? Benar, dong. Kalau sifatnya mencakup “semua”, kenapa harus ada dikotomi benar dan salah seperti itu? Apakah di dalam iman, harus ada persaingan? Bukankah iman terbangun, salah satunya, untuk memperkuat jadi diri manusia sebagai gambaran Tuhan di Bumi?
Kalau sudah begini, saya jadi teringat sama tulisan saya dua tahun yang lalu. Tulisan itu berjudul: “Yesus Bungee Jumping: Penistaan Agama Atau Cara Katolik Bercanda?” Waktu itu, Keuskupan Agung Jakarta marah nggak, ya?
Awal Desember 2018, sebuah tweet viral. Lebih dari 11 ribu orang me-RT dan delapan ribu akun menyukainya. Ketika membaca balasan tweet, kepercayaan saya bahwa bercanda soal agama itu hal sepele semakin kuat. Semuanya seharusnya baik-baik saja, bahkan ketika saling “menerwatakan” agama kita. Tentu ketika tiada prasangka dan merasa paling istimewa. Inilah twet yang bisa “mengguncang iman” itu:
Saya katolik aliran extreme sport pic.twitter.com/bpvxI4JTUH
— Doggie ?? (@maurianusadi) November 30, 2018
Tweet dari @maurianusadi itu betul-betul “menggoncang”. Menggoncang perut saya karena tertawa. Wording tweet yang berbunyi, “Saya Katolik aliran extreme sport” sukses mengocok perut. Sebagai orang Katolik, salib dengan Yesus yang terpaku adalah simbol yang penuh makna. Apakah itu sebuah penistaan agama? Saya, dan kebanyakan orang yang membalas tweet tersebut justru bisa bersenang-senang dengan materi komedi yang menyenangkan.
Misalnya ketika salah satu akun bernama Yudha Adiasmara membalas dengan tweet: “Gak safety, pake helm dong. Mentang juru selamat, kenal orang dalem, lantas kayak gitu mainnya. Shoombonk amad!”
Kalau kalian paham dengan konteksnya, kalimat balasan itu lucu luar biasa. Jadi, bagi saya, yang Katolik ini, Yesus adalah juru selamat, yang diutus Allah Bapa ke bumi untuk menebus dosa manusia. Bagian “kenal orang dalem” merujuk ke Allah Bapa. Lho, bukannya Yesus itu Allah juga? Sudah, sudah. Jangan diteruskan. Nanti masuk ke konsep Trinitas malah repot.
Balasan tweet yang paling lucu bunyinya gini: “Talinya lepas, jadi Protestan”. Dark humor ini berkaitan dengan perbedaan simbol salib Katolik dan Kristen. Jika salib Katolik terdapat Yesus di dalamnya, berbeda dengan salib Kristen yang polos. Yesus yang “sedang bungee jumping”, kalau talinya putus, langsung jadi Kristen. Luar biasa dark, namun lucu.
Kelucuan-kelucuan itu yang membuat beragama menjadi lebih asyik. Well, ini pendapat saya pribadi, sih. Tidak setuju tentu tidak mengapa. Namun, dari kegembiraan itu justru membuat saya semakin bersyukur sudah memeluk Katolik, meski awalnya ya dari “warisan” orang tua, sih.
Kalau dari kelucuan dan kegembiraan Katolik Garis Lucu, kata “syukur” lebih mudah ditemukan banyak orang, lalu salahnya di mana? Mungkin, salahnya dari ketidakmampuan kita bercanda dengan Tuhan. Kita menganggap Tuhan sebagai sosok yang gampang ngambek dan nggak asik. Kalau saya, sih, Beliau nggak cuma Bapak, tapi juga teman.
So, semoga ya, di hari ke-3, Katolik Garis Lucu bangkit untuk menebus ketidaklucuan dan kekakuan kita semua ketika beragama.
Berkah dalem.
BACA JUGA 8 Menit 46 Detik George Floyd Meregang Nyawa Adalah Sebuah Pengkhianatan dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.