Mumpung masih hangat suasana ulang tahun Ibukota DKI Jakarta yang tercinta, saya mau menulis tentang salah satu suku asli yang mendiami daerah ini dari zaman kolonial sampai sekarang. Apalagi kalau bukan suku Betawi, yang dikenalkan lebih baik oleh Rano Karno melalui sinetron legenda Doel Anak Sekolahan itu. Tapi sayang nggak mau membahas secara historis, kultural atau formal-formal amat. Bukan kapasitasnya, wqwqwq.
Ada sedikit cerita soal Betawi yang sering dapatkan dari pengajian-pengajian, tentunya juga pengajian ini diisi oleh ustaz setempat yang Betawi punya. Entah di tempat lain sama atau tidak, tapi cerita ini turun-temurun saya dapatkan di daerah rumah saya. Mau dari engkong, nyai, ncang, ncing, nyak, babeh di daerah saya sepertinya juga sudah lumrah dengan cerita ini.
Katanya, orang Betawi itu masuk surganya duluan dibandingkan orang lain. Waduh, awalnya saya juga kaget. Kok bisa-bisanya ada self-proclaim macam ini, apa nggak terkesan glorifikasi. Tapi, ternyata itu hanya guyonan saja. Soalnya saat diterangkan kenapa masuk surga duluan, alasannya adalah orang Betawi suka mengadakan maulid setiap ada hajat atau acara. Dalam bahasa Betawi, maulid seringkali disebut “muludan”.
Sedikit-sedikit muludan. Ada yang mau naik haji, muludan dulu. Ada yang baru punya rumah, muludan dulu. Ada yang sunatan, muludan dulu. Ada yang mau nikah, muludan dulu. Pokoknya apa pun acara dan hajatnya, muludan harus ada. Boleh jadi, ini karena Islam tradisional dan Betawi sudah erat dari dahulu. Apalagi, pengaruh habaib dari hadramaut yang membawa tradisi maulid ini membuat orang Betawi suka maulid.
Pernah juga, ada tetangga saya yang benar-benar Betawi totok (nggak kaya saya yang sudah blasteran, wqwqwq) mengadakan maulid karena apa? Karena dia baru khatam mengaji Quran, yawloh padahal itu kan ibadah sendiri yak. Sampai membuat muludan, dan semua orang hampir diundang semuanya. Nggak mewah, sederhana pun tapi semuanya kebagian makanan. Gila betul memang tradisi muludan ini.
Biasanya, kitab maulid yang dibaca adalah Barzanji yang dikarang oleh Syekh Ja’far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim. Kadang diiringi hadrah, kadang cukup hanya dibaca bergantian setiap rawi yang dibaca. Tapi, akhir-akhir ini tidak hanya barzanji, kadang maulid Diba’ bahkan Simtudduror. Mulai banyak variasinya, dan tentu semakin dengan banyaknya salawat baru dan juga majelis di Jakarta.
Kalau kita bicara soal Islam dan Betawi, saya mengutip sedikit dari bukunya Kiai Saifuddin Zuhri (kalau nggak tahu beliau, beliau ini menteri era Soekarno dan bapak dari Mantan Menag Lukman Hakim Saifuddin) yang berjudul “Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid III” yang isinya begini, “Jakarta sebuah kota di dunia yang memiliki paling banyak masjid dan mushalla. Barangkali cuma Kairo yang sanggup menandingi Jakarta dalam hal banyaknya masjid dan mushalla.”
Betawi dan Islam memang erat sekali, bahkan orang Betawi sedari kecil yang paling penting diajar ilmu agama. Lihat saja si Doel, lagunya saja menunjukkan kalau anak Betawi memang banyak pandai sembayang dan mengaji. Karena itu sudah ajaran dari engkong, sama ajaran orang-orang tua di Betawi. Apalagi, kalau kalian baca beberapa jurnal tentang Islam dan Betawi, pasti akan tahu kalau orang Betawi itu paling takut sama ulama.
Guyonan macam orang Betawi masuk surga duluan sebenarnya itu juga menjadi teguran sendiri buat orang Betawi, dalam artian kadang ada orang yang tidak mampu dan memaksakan untuk mengadakan maulid. Padahal maulid itu nggak wajib, kalau bisa ya silahkan saja adakan. Tapi, yang nggak suka maulid jangan melarang orang untuk muludan. Sebab apa? Sebab ajaran maulid atau muludan itulah yang menjadi perantara tersebarnya Islam di tanah Betawi, dan sudah menjadi identitas dari Betawi sendiri.
Intinya, selamat ulang tahun untuk Jakarta dan terima kasih banyak kepada Betawi yang banyak mengajari saya banyak hal. Meskipun Betawi identik dengan Islam, percayalah orang Betawi adalah orang-orang yang baik dan menjunjung tinggi pluralitas, serta keragaman dalam perbedaan Indonesia. Semoga Jakarta, dan Indonesia panjang umur dalam kebaikan.
Semoga, ya semoga~
BACA JUGA Percampuran Budaya Sunda dan Betawi di Pernikahan Orang Bekasi dan tulisan Nasrulloh Alif Suherman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.