“Ingat semua kampus di mana pun itu sama. Tergantung bagaimana mahasiswanya!” Teriak salah satu senior dalam acara ospek kemarin.
Saya yang kebetulan mendengar omongan tersebut berlalu sambil ngebatin, “Alah blegadus”. Motivasi seperti itu tak ubahnya sebuah kalimat keputusasaan. Sebuah kata akhir untuk menghilangkan rasa kecewa setelah tertolak di beberapa kampus idola.
Oh, kalian nggak setuju dengan pendapat saya? Biarkan saya cerita dulu, agar kalian tau betapa halah taek kalimat di atas.
Sama halnya dengan kisah-kisah sukses yang mendramatisir perjalanan hidup mereka. Memulai dari nol lah, pinjam modal sana-sini lah, sering gagal beratus-ratus kali lah, ataupun lah-lah lainnya. Padahal di balik itu mereka punya koneksi dan relasi, baik dari keluarga atau kerabat yang tidak mereka ceritakan kepada publik. Toh, kalau mereka ceritakan, tentu motivasi yang mereka berikan tidak akan menarik.
Memang secara teori, harusnya bukan kampus yang membesarkan nama mahasiswa. Tapi mahasiswa harus besar dengan namanya sendiri. Kalau bisa, juga membesarkan nama kampusnya. Dari sini saya mengamininya. Tapi belum dengan sepenuh hati, ya. Saya masih terlalu berat untuk mengatakan hal seperti itu.
Kasta kampus itu beneran ada
Sebagai mahasiswa yang kuliah di daerah di mana banyak kampus besar dan kecil hidup berdekatan, saya menyaksikan adanya gap yang begitu lebar. Baik itu dari kreativitas, keterampilan, maupun pengetahuan. Memang hal-hal tersebut tergantung pada kemauan mahasiswanya. Apakah ia ingin memaksimalkan kesempatan dan peluangnya atau tidak.
Namun ibarat lu punya kuasa lu punya materi, hal tersebut kurang berlaku pada kampus yang—maaf—masih dalam fase pertumbuhan. Meskipun soal pemikiran kita menang, tanpa ada kuasa dan materi saya rasa akan sulit untuk berkembang. Pun pemikiran dapat terasah juga tidak terlepas dari yang namanya kuasa dan materi, dalam hal ini terwujud dalam bentuk kultur akademis dan fasilitas.
Baca halaman selanjutnya: Sebagai mahasiswa yang tertolak…
Sebagai mahasiswa yang tertolak di beberapa kampus besar dan akhirnya berlabuh di kampus kecil yang namanya begitu asing, saya merasakan hal demikian. Memang kultur akademis dan fasilitas tidak dapat disamakan dengan nama besar lainnya. Jalur masuknya saja berbeda, apalagi biayanya.
Namun, menurut saya yang menjadi PR penting bagi kampus kecil adalah bagaimana membangun kultur akademis yang bisa merepresentasikan dirinya sebagaimana institusi perguruan tinggi. Saya agak menyayangkan hal demikian. Karena kultur akademis yang seharusnya memberikan kebebasan berpikir, melatih kreativitas, critical thinking, haus pengetahuan, kompetitif, dan kolaboratif masih belum terbangun sepenuhnya.
Tapi ya, itu hal yang wajar karena sistem kampus juga menerapkan standar ala kadarnya. Kehadiran memenuhi 75 persen, mengerjakan tugas UTS dan UAS yang bobotnya tidak berbeda jauh dengan tugas-tugas semasa SMA, dan tidak adanya tuntutan untuk mengerjakan projek di luar kampus seperti PKM maupun yang lainnya. Meskipun tidak semuanya begitu,
Pertanyaannya, bagaimana mahasiswa dapat membangun kesadaran seperti itu, lha wong kampusnya tidak mendukung hal-hal demikian? Eh mungkin bukan tidak ya, cuma belum saja. Tetapi itu sih yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Terasa banget perbedaannya
Saya merasakan begitu peliknya nestapa mahasiswa kampus kecil, khususnya ketika mengikuti kegiatan di luar bersama mahasiswa universitas lainnya. Seharusnya kita memang tidak bergantung pada nama besar kampus. Tetapi adalah hal yang nyata, bahwa besarnya nama kampus juga mempengaruhi tingkat kepercayaan diri. Apalagi bagi kampus kecil yang belum dikenal. Di sini saya harus menjelaskan secara detail tentang lokasi di mana letak kampus saya berada. Dan untuk menyederhanakannya, saya sering menjadikan bangunan lain yang lebih familiar sebagai patokan di mana kampus itu berdiri. Ibarat orang Wonogiri terpaksa harus berkata dari Solo supaya obrolan tidak terlalu panjang lebar atau biar mudah saat perkenalan.
Di sisi lain secara tidak langsung saya melakukan tugas yang mulia, mempromosikan kampus tanpa harus dibayar. Bukankah kampus harus membayar biaya pendaftaran hanya untuk mengikuti acara Campus Expo?
Saya tidak mau menyalahkan kampus kecil dengan berbagai keterbatasannya. Justru saya sangat berterima kasih bisa mengenyam bangku perkuliahan dengan biaya yang terjangkau. Meskipun besar kecilnya biaya berbanding lurus dengan ketersediaan fasilitas dan peluang lainnya.
Menurut saya, kurang-kurangi bilang kampus itu semua sama. Jawabannya adalah tidak, full stop. Ada alasan yang jelas kenapa beberapa kampus dibilang top dan beberapa tidak. Terima faktanya, dan berjuang bersama agar kampus yang mendidik kita merangkak ke puncak.
Penulis: Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Omong Kosong Peran Universitas dalam Mengentaskan Kemiskinan di Jogja