Sebagai mahasiswa yang tertolak di beberapa kampus besar dan akhirnya berlabuh di kampus kecil yang namanya begitu asing, saya merasakan hal demikian. Memang kultur akademis dan fasilitas tidak dapat disamakan dengan nama besar lainnya. Jalur masuknya saja berbeda, apalagi biayanya.
Namun, menurut saya yang menjadi PR penting bagi kampus kecil adalah bagaimana membangun kultur akademis yang bisa merepresentasikan dirinya sebagaimana institusi perguruan tinggi. Saya agak menyayangkan hal demikian. Karena kultur akademis yang seharusnya memberikan kebebasan berpikir, melatih kreativitas, critical thinking, haus pengetahuan, kompetitif, dan kolaboratif masih belum terbangun sepenuhnya.
Tapi ya, itu hal yang wajar karena sistem kampus juga menerapkan standar ala kadarnya. Kehadiran memenuhi 75 persen, mengerjakan tugas UTS dan UAS yang bobotnya tidak berbeda jauh dengan tugas-tugas semasa SMA, dan tidak adanya tuntutan untuk mengerjakan projek di luar kampus seperti PKM maupun yang lainnya. Meskipun tidak semuanya begitu,
Pertanyaannya, bagaimana mahasiswa dapat membangun kesadaran seperti itu, lha wong kampusnya tidak mendukung hal-hal demikian? Eh mungkin bukan tidak ya, cuma belum saja. Tetapi itu sih yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Terasa banget perbedaannya
Saya merasakan begitu peliknya nestapa mahasiswa kampus kecil, khususnya ketika mengikuti kegiatan di luar bersama mahasiswa universitas lainnya. Seharusnya kita memang tidak bergantung pada nama besar kampus. Tetapi adalah hal yang nyata, bahwa besarnya nama kampus juga mempengaruhi tingkat kepercayaan diri. Apalagi bagi kampus kecil yang belum dikenal. Di sini saya harus menjelaskan secara detail tentang lokasi di mana letak kampus saya berada. Dan untuk menyederhanakannya, saya sering menjadikan bangunan lain yang lebih familiar sebagai patokan di mana kampus itu berdiri. Ibarat orang Wonogiri terpaksa harus berkata dari Solo supaya obrolan tidak terlalu panjang lebar atau biar mudah saat perkenalan.
Di sisi lain secara tidak langsung saya melakukan tugas yang mulia, mempromosikan kampus tanpa harus dibayar. Bukankah kampus harus membayar biaya pendaftaran hanya untuk mengikuti acara Campus Expo?
Saya tidak mau menyalahkan kampus kecil dengan berbagai keterbatasannya. Justru saya sangat berterima kasih bisa mengenyam bangku perkuliahan dengan biaya yang terjangkau. Meskipun besar kecilnya biaya berbanding lurus dengan ketersediaan fasilitas dan peluang lainnya.
Menurut saya, kurang-kurangi bilang kampus itu semua sama. Jawabannya adalah tidak, full stop. Ada alasan yang jelas kenapa beberapa kampus dibilang top dan beberapa tidak. Terima faktanya, dan berjuang bersama agar kampus yang mendidik kita merangkak ke puncak.
Penulis: Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Omong Kosong Peran Universitas dalam Mengentaskan Kemiskinan di Jogja