Ketimbang bertanya kapan nikah, mending bertanya kapan punya rumah. Lebih baik lagi, diam saja, atau turu awan, ora risiko
Silaturahmi keluarga, baik bagi yang merayakan Lebaran, Natal, maupun Imlek, sering kali jadi momen menyesakkan. Siswa kelas 3 SMA akan ditanya, mau kuliah di mana dan jurusan apa? Kaum lajang dari lahir akan ditanya, kapan punya pacar dan kapan nikah? Pasangan yang belum punya anak akan ditanya, kapan punya anak?
Pertanyaan-pertanyaan itu, terutama kapan nikah, sebenarnya biasa, membosankan, dan makin hari makin tak tepat sasaran. Saya herannya satu, mengapa “kapan punya rumah” jarang ditanyakan? Tanyanya kapan nikah melulu.
Pertanyaan terkait kepemilikan rumah juga ada di silaturahmi keluarga. Akan tetapi, dia tetap kalah menarik dibandingkan pertanyaan kapan menikah. Bagi penanya, sewa rumah bisa menjadi solusi sampai pendapatan menjadi cukup besar dan uang mukanya tersedia untuk mencicil rumah yang cukup bagus. Sebaliknya, mencari jodoh terbaik setelah karier berkembang justru lebih sulit mengingat keterbatasan waktu luang dan kepasrahan mengingat usia yang semakin tua.
Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa pertanyaan kapan punya rumah jauh lebih mashok ketimbang kapan nikah. Sini saya kasih tahu.
#1 Mertua lebih memilih pria yang sudah punya rumah
Wanita memang cenderung mencari pasangan yang sudah mapan, tetapi masih banyak pula yang mau berjuang bersama. Perhatian lebih besar datang dari orang tuanya yang berusaha membesarkan anak sebaik mungkin dan tidak ingin hidupnya lebih menderita pasca-menikah. Hal yang sangat diperhatikan tentu saja kepemilikan rumah.
Ibu V dan Ibu H, agen penjualan rumah seken, menuturkan bahwa pelanggan terbesar mereka selama pandemi melanda adalah pria muda yang hendak menikah. Mereka tidak banyak berpikir dan memilih karena sudah kepepet. Jika rumah tak kunjung ada, jangan harap restu bisa segera turun.
Pak H dan Bu J, pasutri dengan dua anak perempuan, menutup poin ini dengan manis. Jodoh memang tidak datang sendiri dan perlu diperjuangkan, tetapi lebih baik membeli rumah ketika calon ibu negaranya belum ada sekalipun sederhana. Alasannya jelas, jangan buat dia sedih ketika hidup bersama kita lebih sulit dibandingkan terhadap kasih sayang orang tua membesarkannya. Nah, dia pun juga ogah sedih kan?
#2 Griya mertua indah bukan solusi yang pas untuk jangka panjang
Calon suami yang belum memiliki rumah tetapi orang tuanya memiliki rumah yang cukup besar (masih) terlihat menarik, apalagi rumahnya berada di lokasi strategis. Apalagi jika mertua baik dan dia adalah anak semata wayang, selamat menikmati hidup yang nyaman dan bahagia plus tinggal menunggu warisan kan?
Nggak juga.
Pak B, rekan seprofesi saya, berujar bahwa hubungan yang baik antara mertua dan menantu akan memudahkan hidup dalam urusan mengurus anak dan rumah.
Selepas pensiun, tentunya orang tua akan kehilangan rutinitasnya sehari-hari. Apalagi jika tidak beralih menjadi wirausahawan atau pekerja lepas, bisa dibayangkan betapa sepi dan hampanya hidup tanpa keberadaan anak, menantu, dan cucu. Permasalahannya, menurut Ibu A, rekan seprofesi saya yang lain, perbedaan pola asuh yang baik menurut mertua dan anak serta menantu kelak bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Sekalipun hubungan tersebut selalu baik, tentu kita tidak enak ikut merepotkan orang tua karena melihat kehidupan yang terlampau sibuk, anak yang sakit, atau mendengar celotehan suami yang pemasukannya sedang seret. Oleh karena itu, griya mertua indah dianggap bukan merupakan solusi yang pas untuk jangka panjang dan tetap lebih baik hidup di rumah tangga masing-masing.
#3 Batas kredit perbankan lebih besar untuk peminjam lajang
Pak V, yang juga merupakan agen penjualan rumah seken, bercerita bahwa momok terbesar pejuang hunian milik adalah batas angsuran kredit yang dipatok sekitar seperempat sampai sepertiga dari penghasilan bulanan netto. Meskipun calon pembeli sebenarnya mampu untuk membayar lebih, tetap saja tidak ada gunanya jika bank tidak menyetujui. Ujung-ujungnya, antara uang muka harus ditambah atau pengajuan kredit benar-benar ditolak.
Bagi peminjam lajang yang usianya masih cukup jauh dari rentang usia menikah pada umumnya, pihak perbankan dapat meninjau ulang kasus per kasus. Tergantung pada besar pendapatan, biaya hidup, dan keberadaan angsuran lainnya, kita bisa mencicil sebesar empat puluh sampai tujuh puluh persen dari penghasilan bulanan netto. Ini tentu berujung pada rumah yang lebih layak dan penggunaan uang yang lebih bermanfaat selagi pengeluaran masih terbatas, terkecuali bagi generasi sandwich. Daripada healing ke kafe, staycation, gonta-ganti HP apel, atau ikut trading dan berujung rugi kan?
Kondisi sebaliknya dirasakan oleh Bapak D, seorang praktisi teknologi informasi dengan istrinya sebagai ibu rumah tangga dan satu orang anak yang baru lahir. Statusnya yang sudah menikah dan memiliki tanggungan membatasi besar angsuran maksimum di sepertiga penghasilan bulanan netto. Dirinya pun terpaksa membeli rumah di lokasi yang lebih jauh dari kantor dan kurang ramah terhadap transportasi publik. Untungnya, sebelum menikah beliau memang sudah memiliki mobil dan sepeda motor.
Belum lagi, bisa dibayangkan beratnya membayar angsuran rumah ketika anak sudah mulai bersekolah. Setiap naik jenjang, uang pangkal harus dipersiapkan khususnya jika memilih sekolah atau kampus swasta. Ketika mulai mencicil di usia lebih tua, siap-siap “eneg” membayar angsuran sampai sesaat sebelum pensiun. Demikian pendapat Pak P, seorang wirausahawan mikro.
#4 Kredit lebih panjang dan premi asuransi jiwa lebih murah untuk peminjam di usia muda
Saat ini, banyak bank bersedia menyalurkan kredit bertenor hingga dua puluh tahun atau lebih dengan syarat peminjam belum berusia 55 tahun ketika kredit lunas. Fleksibilitas ini tentu terbuka untuk peminjam berusia muda demi mengamankan rumah yang lebih layak. Ditambah lagi, premi asuransi jiwa tentunya juga lebih murah untuk peminjam berusia muda.
Premi asuransi jiwa ini tidak boleh disepelekan. Mengingat besaran pertanggungannya yang besar untuk jangka panjang, yaitu sebesar pokok pinjaman yang belum dilunasi, nilainya tentu cukup signifikan. Ditambah lagi, dia dibayarkan bersamaan dengan uang muka di awal pembelian kecuali jika membeli rumah baru dan pengembang melakukan subsidi penuh.
#5 Mengurangi idealisme si anak muda
Anak muda dengan minimnya dana dan pengalaman, padatnya kesibukan kerja, serta idealisme yang begitu tinggi, akan cenderung meminati hunian baru dari pengembang. Apalagi kini penjualan rumah lebih kreatif dengan menggandeng desainer interior ternama dan mengusung konsep full furnished, alias datang tinggal membawa baju dan elektronik. Tidak lupa juga, ada pengembang yang bersedia memberikan subsidi uang muka dan biaya akad kredit. Mantap!
Fasilitasnya aduhai, ada kolam renang, dan taman cantik yang bisa dinikmati secara gratis. Tidak jauh dari rumah, disiapkan pusat perbelanjaan dengan tempat makan kaya pilihan. Intinya, rumah benar-benar terasa seperti istana!
Tapi, tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis. Harga properti tersebut tergolong luar biasa dengan iuran bulanan yang tinggi pula. Belum lagi, lokasinya cukup jauh dari kawasan perkantoran dan lembaga pendidikan tanpa adanya fasilitas transportasi publik yang mumpuni. Saya pun pernah menemukan rumah baru dan bekas di lokasi yang sama dengan ukuran dan desain yang sama, rumah bekas belum lama jadi dan kondisi masih baik, selisih harganya menembus empat puluh persen!
Kak V dan Kak A, dua kakak tingkat saya semasa kuliah, menyarankan untuk memangkas idealisme dalam mencari hunian. Tentu ada hal yang harus dikorbankan kecuali kita berstatus crazy rich, prioritaskan apa yang dibutuhkan terlebih dahulu. Toh, nanti jika memiliki rezeki lebih bisa membeli hunian yang lebih baik kan?
Bagi mereka, hunian bekas berkondisi layak di perumahan minim fasilitas lebih menarik. Ukuran rumah lebih besar, iuran bulanan lebih terjangkau, dan lokasi strategis, sungguh jawara asalkan tidak rawan banjir dan maling serta tidak kumuh. Rumah baru tentu lebih simpel dan kualitas bangunan lebih terjamin, tetapi siapkan uang lebih.
Jika tidak punya uang, kita tidak perlu memaksakan diri dan Pak P menyarankan alternatif berupa apartemen dengan dua kamar tidur. Iuran bulanan lebih tinggi dan fleksibilitas merenovasi tentu terbatas, belum lagi masa kepemilikan terbatas dan tanpa tanah. Ya, itu masih lebih baik daripada terlempar ke lokasi yang jauh dan uangnya pun tidak mencukupi di masa depan.
Ya begitulah kisah para pejuang kehidupan. Realitas memang lebih pahit ketimbang perihnya ditanyain kapan nikah. Dengan keterbatasan waktu, mencari rumah dan jodoh sama-sama penting untuk masa depan yang bahagia. Menemukan pilihan terbaik tentu memerlukan perjuangan keras dan kesabaran tinggi, harus siap menghadapi pertanyaan pedas setiap kali silaturahmi keluarga. Jangan sampai bernasib seperti buah stroberi, indah di luar tetapi dalamnya rapuh.
Jadi, masih ingin terlihat wagu dengan bertanya kapan nikah?
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Tipe Orang yang Sebenarnya Sangat Cocok Tinggal di Perumahan Cluster