Pengalaman Saya Tinggal di Kandangan Kediri, Kecamatan yang Kerap Dipertanyakan Identitasnya karena Beda Sendiri

Pengalaman Saya Tinggal di Kandangan Kediri, Kecamatan yang Kerap Dipertanyakan Identitasnya karena Beda Sendiri

Pengalaman Saya Tinggal di Kandangan Kediri, Kecamatan yang Kerap Dipertanyakan Identitasnya karena Beda Sendiri (unsplash.com)

Jadi warga Kandangan Kediri agak susah-susah gampang soalnya beda sendiri dari warga Kediri kebanyakan.

Jika kita bicara tentang Kabupaten Kediri, di benak orang luar daerah pasti akan langsung terbayang monumen Simpang Lima Gumul atau Kampung Inggris Pare. Paling mentok mungkin yang terbayang pabrik rokok Gudang Garam. Ada juga destinasi wisata alam seperti Gunung Kelud atau Air Terjun Dolo. Tapi kalau ini mungkin cuma segelintir orang yang tahu.

Siapa sangka di balik itu semua, sebenarnya Kabupaten Kediri juga menyimpan berbagai cerita dan hal-hal tersembunyi yang menarik untuk diungkap. Salah satunya adalah Kecamatan Kandangan yang sebenarnya memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Kediri sehingga kerap dipertanyakan identitasnya. Benarkah kecamatan ini masuk dalam wilayah Kediri?

Bahasa warga Kandangan Kediri berbeda

Imbuhan “peh” dan “biyoh” memang sangat melekat dengan Kediri, apalagi jika dikombinasikan dengan logat medok. Namun, selama saya tinggal di Kandangan Kediri selama 20 tahun, jarang rasanya mendengar rekan maupun warga sini yang punya dialek demikian.

Bukan itu saja, warga Kandangan lebih sering menggunakan “rek”, “omong-omongan”, “piye”, “nyamuk”, dan “suri” alih-alih menggunakan kosakata yang identik dengan dialek plat AG seperti “cah”, “koyah”, “genio”, “jingklong”, dan “jungkas”. Saya sendiri baru tahu makna dari kosakata tersebut setelah meminta klarifikasi dari teman saya yang berasal dari Kediri barat dan Nganjuk.

Keyakinan saya akan eksklusivitas bahasa yang dimiliki warga Kandangan semakin tervalidasi setelah saya menonton konten video yang dibagikan oleh Instagram @kediri_terkini pada tanggal 14 Mei 2024 yang mengatakan, “Cangkrukan ning Kandangan tapi rasane koyok lagi omong-omongan karo wong Malang/Suroboyo” (Nongkrong di Kandangan tapi rasanya kaya lagi ngobrol sama orang Malang/Surabaya).

Bisa jadi, perbedaan penafsiran bahasa dan dialek ini dipengaruhi oleh faktor geografis Kecamatan Kandangan yang diapit oleh tiga kabupaten, yakni Kediri, Jombang, dan Malang. Hal ini membuat warganya berkesempatan buat ngobrol sama orang luar Kediri yang punya dialek berbeda.

Baca halaman selanjutnya: Jauh dari mana saja…

Jauh dari mana saja

Jika Anda melihat peta Kabupaten Kediri, Anda akan menemukan ada bagian yang tampak seperti ekor di sisi timur kabupaten. Ya, itu adalah Kandangan. Lokasinya yang memanjang dan diapit oleh Kabupaten Jombang dan Malang membuatnya seolah terisolasi dari Kediri.

Bahkan ketika ditanya orang luar daerah, “Sampean Kediri mana, Mas?”, pasti saya jawab dari Pare atau “wetane Pare”. Bukan berarti saya nggak bangga sebagai putra daerah, tapi kalau saya jawab dari Kandangan, pasti orang lain nggak bakal tahu letaknya di mana. Maklum, saking jauhnya Kandangan dari pusat kota Kediri. Jangankan orang luar daerah, orang Kediri sendiri saja banyak yang kurang tahu.

Letak geografis Kandangan yang jauh dari pusat kota ini juga membuat warganya lebih mudah untuk berkunjung ke kabupaten lain. Kalau mau naik kereta, warga Kandangan biasanya lebih suka naik dari Stasiun Jombang yang dapat diakses menggunakan transportasi umum ketimbang Stasiun Papar. Kalau mau jalan-jalan biasa, bisa ke Batu dan Malang yang punya lebih banyak destinasi wisata alam menarik ketimbang Kediri.

Warga Kandangan biasanya ke Kediri cuma untuk mengurus administrasi, malam mingguan, atau sekadar berkunjung ke rumah teman. Fenomena ini mungkin menjadi salah satu faktor mengapa warga Kandangan terkadang dicap sebagai orang yang krisis identitas. Tinggalnya di mana, mainnya di mana.

Punya tradisi unik

Selain sebagai daerah penghasil komoditas susu sapi dan durian di Kediri, Kandangan juga punya tradisi unik yang nggak dimiliki oleh daerah lain. Bahkan, mungkin tradisi ini jadi satu-satunya yang ada di Jawa Timur.

Tiap bulan Muharram atau Suro, warga Kandangan rutin menyelenggarakan tradisi mbeleh golekan (menyembelih boneka). Tradisi ini menjadi simbol persembahan bayi manusia kepada roh leluhur. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paramita dari UINSA pada tahun 2023, tradisi ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Buddha masuk ke Kandangan.

Awalnya, tradisi mbeleh golekan dilakukan dengan mengorbankan bayi sungguhan dari kalangan masyarakat miskin. Tapi setelah masuknya agama Islam yang dibawa oleh Mbah Pekik, objek pengorbanan pun diganti dengan boneka.

Bagi Anda yang tinggal di Jogja, mungkin pernah menemui tradisi semacam ini, hanya saja namanya yang berbeda. Akan tetapi, kalau bicara konteks Jawa Timur, utamanya di Kediri, sepertinya hanya Kandangan yang menerapkan tradisi menyembelih boneka. Hal ini menunjukkan bahwa Kandangan punya ciri khasnya sendiri sekaligus menjadi antitesis atas pernyataan “Kandangan adalah wilayah yang krisis identitas”.

Tertarik untuk berkunjung ke sini?

Penulis: Aji Permadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kediri, Kota Paling Bahagia yang Kini Berubah Tak Aman bagi Mahasiswa Perantauan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version