Dalam bahasa Indonesia, paling tidak kita mengenal enam jenis kata ganti orang. Kata ganti orang pertama tunggal dan jamak, kata ganti orang kedua tunggal dan jamak, kata ganti orang ketiga tunggal, dan jamak. Semua kata ganti orang ini lantas digunakan sebagai acuan untuk kebutuhan berbahasa sehari-hari.
Dalam kehidupan peradaban yang (katanya) modern, kata ganti ini bahkan berkembang menjadi aturan tidak resmi (walau ada juga yang resmi). Misalnya, njenengan atau panjenengan dalam bahasa Jawa, diterjemahkan sebagai Anda, tapi dengan pertimbangan yang lebih kompleks. Panggilan njenengan atau panjenengan ditujukan spesifik kepada mereka yang kita anggap lebih tua. Dan masih banyak lagi jenis panggilan lain dari unsur kebudayaan di tempat lain.
Dalam bahasa Wakatobi, lebih spesifik di Pulau Tomia dan sekitarnya, kata ganti orang ini juga dipakai. Gila aja semua orang dari semua kasta dipanggil dengan sebutan yang sama? Walau saya sendiri sepakat bahwa panggilan dengan kategorisasi kasta ini berasal dari politik imperial penjajahan di masa lampau, saya rasa tetap kita butuhkan saat ini dan seterusnya. Sebabnya, saya masih punya rasa hormat dan segan. Semisal saya harus memanggil ibu saya dengan “kamu”, betapa lancangnya saya.
Untuk lebih sederhana, mari kita list kata ganti orang dalam bahasa Wakatobi, wabilkhusus di Tomia berikut ini.
#1 Kata ganti orang pertama
Jadi begini, dalam bahasa Wakatobi, atau Tomia secara lebih spesifik, kata ganti orang pertama tunggal terdiri dari “aku” yang artinya “aku” dan “iyaku” yang artinya “saya”. Lha, kok, sama saja?
Begini, penggunaan “aku” biasanya dipakai saat kita berbicara dengan orang yang kita anggap lebih muda atau sepantaran. Sebaliknya, untuk “iyaku”, biasanya digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Tapi, tidak berarti “iyaku” tidak bisa digunakan untuk orang yang lebih muda atau sepantaran. Sangat boleh, kok.
Lalu, ada kata ganti orang pertama jamak yakni “kami” dan “kita”. Kedua kata ganti ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Tomia dengan penambahan huruf “i” atau bisa juga “yi” di depannya. “Kami” menjadi “ikami” atau “yikami”, sementara “kita” yang diterjemahkan menjadi “ikita” dan “yikita”. Nah, selain digunakan selayaknya kata ganti orang pertama jamak, “ikami” dan “yikami” juga digunakan untuk mengganti saya atau aku.
Namun, penggunaan kata “ikami” dan “yikami” dalam hal ini lebih untuk tujuan merendah. Contohnya, pada kalimat, “Iyaku misikini ana,” (aku/saya yang miskin ini). “Iyaku” yang berarti “aku” atau “saya”, lebih sering diganti dengan, “Ikami/yimai misikini ana,” (Aku/saya/kami yang miskin ini).
Sebenarnya, bisa saja “miskin” itu spesifik kepada aku/saya atau kami secara banyak (entah keluarga, kelompok, atau apa pun subyeknya). Namun, dengan menggunakan kata ganti “ikami” atau “yikami” dalam kalimat, ini menyiratkan beberapa hal. Pertama, untuk merendah. Kedua, tentu saja menyoal bagaimana kita berusaha menutupi kondisi sebenarnya tentang seberapa kaya atau miskinnya kita.
#2 Kata ganti orang kedua
Kata ganti orang kedua tunggal dan jamak (kau, kamu, Anda dan kalian) diterjemahkan ke dalam bahasa Tomia menjadi “iko’o/yiko’o” dan “ikomiu/yikomiu”. Penggunaannya, seperti umumnya kata ganti orang kedua jamak. “Iko’o/yiko’o”, digunakan kepada orang yang sepataran atau lebih muda. Jangan pernah sekali-kali menggunakan kata ganti “iko’o/yiko’o” saat berbicara dengan orang yang lebih tua, apalagi orang-orang yang punya posisi sebagai pemangku adat. Itu bisa diartikan sama halnya dengan “tapa pepe” (dalam tradisi di tanah monarki), yakni bentuk pembangkangan adat atau pembangkangan kepada orang yang lebih tua.
Penggunaan kata ganti “ikomiu/yikomiu”, tentu saja ditujukan kepada orang yang lebih tua. Tapi ada satu hal yang juga tidak kalah menarik. Jika “ikami/yikami” bisa berarti bentuk merendah atau makna tersirat untuk mengaburkan fakta, “ikomiu/yikomiu” juga digunakan orang-orang dulu (bahkan sampai sekarang) untuk berbicara (atau meminta) kepada hal-hal gaib dan tidak kasat mata. Entah itu roh orang yang sudah meninggal, hantu dan setan, atau bahkan kepada Tuhan.
Contoh penggunaannya, “Ikomiu/yikomiu pumodimbulamo,” (Anda/kalian yang sudah lebih dulu meninggal). Dalam hal ini, “ikomiu/yikomiu” dipakai seperti halnya kata ganti kamu, Anda, atau kalian. Intinya, ikomiu/yikomiu bisa berarti penghormatan kepada yang sudah meninggal, kepada roh atau hal gaib, juga kepada Tuhan. Khusus penggunaannya menyebut Tuhan, “ikomiu/yikomiu”, biasanya dilanjutkan dengan kata Tuhan itu sendiri, yang dalam bahasa Tomia disebut “Mo’ori”. Misalnya, “Ikomiu/yikomiu Mo’orittai,” (Anda/kamu/kalian para penguasa/Tuhan yang ada di laut).
Semakin pusing? Tunggu dulu, kita lanjut ke kata ganti orang ketiga jamak dan tunggal.
#3 Kata ganti orang ketiga
Nah, untuk kata ganti orang ketiga tunggal “dia”, dalam bahasa Tomia adalah “di’iya” dan “di’ammai”. “Di’iya” ditujukan kepada orang yang lebih muda atau sepantaran. Sebaliknya, “i’ammai/yi’ammai” ditujukan kepada orang yang lebih tua. Terlihat cukup sederhana? Tunggu dulu.
Jika Anda berpikir ini sudah selesai, tunggu dulu, jangan lengah. Dalam bahasa Wakatobi, atau spesifik Pulau Tomia, punya huruf-huruf khusus. Jika ada orang bukan asli sana yang menyebutkannya, akan sangat berbeda terdengar. Huruf “d” ini salah satunya.
Nah, ada tips khusus dari saya, soal bagaimana huruf “d” ini diucapkan dengan gaya Tomia. Ucapkan huruf “d” pada kata “di’iya” (dan kata lainnya) dengan cara lidah sedikit ditahan di langit-langit mulut dan leher sedikit ditegangkan. Untuk lebih terdengar Wakatobi atau Tomia banget, usahakan huruf “d” ini muncul/berasal dari pangkal kerongkongan bagian depan. Jadi terlihat seperti tutorial bernapas yang benar, ya?
Oke, lanjut.
Untuk kata ganti ketiga jamak (mereka), diterjemahkan menjadi “i’ammai/yi’ammai”. Kata ganti ini, tidak ada tips penggunaan khusus. Cukup gunakan sebagaimana umumnya kata “mereka” digunakan.
Mengertimo na ikomiu atu?