Perjuangan seluruh mahasiswa Kampus Mengajar Batch 7 layak mendapat acungan jempol. Kurang lebih ada sekitar 32 ribu mahasiswa yang lolos seleksi dan bersedia mengikuti program di Batch 7. Saya termasuk salah satu yang lolos seleksi dan memutuskan untuk mengikuti program ini setelah sebelumnya mempertimbangkan banyak hal.
Saat ini saya sedang kecewa berat dan saya tidak sendiri. Tiga puluh dua ribu lebih mahasiswa lainnya yang juga mengikuti program Kampus Mengajar Batch 7 pasti mengalami hal yang sama.
Kalau mau blak-blakan, kekecewaan kami tak lain tak bukan yakni karena ulah panitia. Tentu saja tidak berlebihan kalau kami menilai bahwa panitia sebenarnya nggak becus mengurus program Batch 7 ini. Bukannya tidak menghargai kerja panitia, tetapi memang harus diakui bahwa mereka perlu segera melakukan evaluasi.
Daftar Isi
Alasan kami tertarik bergabung Kampus Mengajar Batch 7
Menyimak informasi dari panitia, benefit Kampus Mengajar Batch 7 memang menggiurkan. Selain menambah pengalaman dan relasi, benefit yang akan kami terima adalah bisa mengatasi masalah urgen. Misalnya, mendapat bantuan UKT dan Bantuan Biaya Hidup (BBH).
Kita semua tahu kalau dunia pendidikan adalah salah satu ladang bisnis potensial. Dunia pendidikan kita kan memang sudah dikomersialisasi. Selama ada benefit bantuan UKT dan BBH, selama itu pula pasti banyak mahasiswa yang tertarik. Hitung-hitung buat sedikit membantu beban berat orang tua.
Setelah lolos seleksi, saya dan puluhan ribu mahasiswa lainnya mengikuti pembekalan selama 3 minggu penuh. Pembekalan Kampus Mengajar Batch 7 via Zoom. Minggu pertama, full dari pagi hingga sore. Setelah banyak yang komplain terkait jam pelaksanaan, minggu kedua dan ketiga akhirnya sedikit lebih longgar lagi. Kami mendapat banyak bekal dari narasumber yang memang kompeten.
Mulut manis panitia
Nah, kabar buruk pertama yang kami terima terjadi saat pembekalan. Nyatanya, pada program Kampus Mengajar Batch 7 sudah berlaku kebijakan baru. Tidak ada lagi bantuan UKT.
Tentu saja kami kecewa. Tetapi sudahlah, mau bagaimana lagi. Kekecewaan itu pelan-pelan sembuh ketika panitia mengatakan kalau BBH mengalami kenaikan dan nominalnya mencapai Rp1,8 juta per bulan. Yah, kalau tidak bisa membantu orang tua untuk urus UKT, setidaknya biaya kos bisa urus sendiri. Kos di Surabaya cukup mahal karena dekat kampus.
Namun, alih-alih dapat Rp1,8 juta, nyatanya BBH dipotong menjadi 1,5 juta saja. Nominal yang terpotong Rp300 ribu rupiah. Kalau dikali 32 dua ribu mahasiswa, totalnya sekitar Rp38 miliar.
Kekecewaan berlanjut. BBH telat cair. Bulan pertama sama sekali tidak cair. Panitia menginformasikan kalau pencairannya dilakukan 2 kali untuk 4 bulan penugasan. Termin 1 cair untuk 2 bulan pertama dan termin 2 untuk 2 bulan berikutnya. Lagi-lagi miris. Untuk termin 1 ternyata tidak bisa cair penuh senilai Rp3 juta per mahasiswa. Hanya 2,4 juta saja yang bisa cair dan Rp600 ribu sisanya akan diinformasikan lebih lanjut.
Entah lari ke mana potongan Rp300 ribu tadi. Entah untuk apa juga Rp600 ribu termin pertama tidak bisa cair. Benar kata kawan saya, kalau urusannya sama pemerintah, pasti bakalan ribet. Padahal pemerintah sendiri.
Panitia juga kerjanya nggak becus-becus amat. Saya sampai heran sendiri, apa bedanya panitia Kampus Mengajar Batch 7 dengan politisi yang suka umbar janji tapi minim implementasi. Mulut doang yang manis.
Panitia jangan kurang ajar
Panitia sepertinya sudah sangat kurang ajar. Apakah panitia tidak sadar kalau yang ikut Kampus Mengajar Batch 7 ini bukan robot tetapi mahasiswa? Kalau dilihat-lihat, mahasiswa diperlakukan seolah seperti robot. Utak-atik kebijakan sesuka hati. Berikut saya paparkan bukti betapa kurang ajarnya panitia dalam program Kampus Mengajar Batch 7 ini:
Pertama, tidak ada sosialisasi kebijakan baru. Saya mengikuti semua progres Kampus Mengajar ini secara baik. Selama Zoom, saya nyimak dan selama itu pula tidak ada informasi resmi.
Asal kalian tahu, kami mendapat informasi terkait kebijakan baru ini hanya dari kolom komentar di Zoom. “Halo Siti! Untuk KM 7, mahasiswa hanya mendapat Bantuan Biaya Hidup saja dengan nominal 1.800.000/bulan (jika menerima Beasiswa Kemendikbud yang lainnya akan dikurangi).” begitu balas panitia di kolom komentar ketika Siti (entah Siti siapa, yang pasti dia juga mengikuti program KM 7) bertanya soal potongan uang semester.
Kedua, panitia tidak transparan. Memang sudah diinformasikan secara resmi melalui email bahwa BBH yang sebelumnya 1,8 juta dipotong menjadi 1,5 juta. Pertanyaannya, mengapa dipotong? Apa alasannya? Apa tujuan uang itu dipotong? Uang sebesar Rp300 ribu yang dipotong setelahnya diapakan atau dimasukan ke kantong siapa? Masuk kantong panitia, kah?
Teganya panitia Kampus Mengajar Batch 7
Melalui email juga panitia menginformasikan bahwa termin pertama yang seharusnya cair Rp3 juta nyatanya hanya bisa cair Rp2,4 juta saja. Sisanya, yang Rp600 ribu akan diinformasikan lebih lanjut.
Lagi-lagi pertanyaannya, mengapa tidak bisa cair sekalian? Apa alasannya yang Rp600 ribu cairnya nyusul (atau bahkan bisa jadi nggak cair sama sekali yang 600 ribu itu)?
Ayo dong, transparan! Kami butuh kepastian. Supaya tidak ada saling tuduh di antara kita. Itu, kan, hak kami.
Ketiga, panita sangat tega. Mahasiswa yang ikut Kampus Mengajar Batch 7 ini tersebar di seluruh Indonesia, termasuk daerah pelosok. Ada yang bahkan ditempatkan di lokasi yang sangat jauh dari daerah asalnya.
Tentu di daerah baru itu, butuh uang untuk memenuhi kebutuhan. Dari mulai bayar kos, uang transportasi selama mengajar, uang beli sabun, dan tetek bengek lainnya, serta uang makan. Belum lagi kalau ditempatkan di pelosok yang akses jalannya tidak bagus sehingga harus berkali-kali mengantar kendaraan ke bengkel. Kalau BBH nggak cair, mau pakai uang dari mana untuk memenuhi semua kebutuhan itu? Panitia tega sekali bukan?
Sementara BBH nggak cair-cair, laporan dan beberapa tuntutan lainnya di Kampus Mengajar Batch 7 tetap kami penuhi. Laporan bulan pertama beres. Bulan kedua juga beres. Laporan tengah juga sudah beres. AKM juga sudah beres.
Sekarang kami diminta melaksanakan Kemah Literasi yang diadakan secara serentak saat Hari Pendidikan nanti. Sebenarnya, bisa-bisa saja kami mengadakan Kemah Literasi. Tetapi uangnya dari mana? Kalian pikir bikin kayak gitu nggak butuh modal?
Jujur saja, program lain yang sudah tercantum dalam RAK (Rancangan Aksi Kolaborasi) beberapanya belum bisa dilaksanakan. Ya itu tadi. Uangnya dari mana. Memang, kelompok lain ada yang effort banget. Ada yang curhat di grup Telegram kalau mereka rela ngutang demi menjalankan program dengan mengharapkan BBH untuk bayar utang.
Sudahlah. Kita sama-sama cari enak saja. Toh, panitia Kampus Mengajar Batch 7 kerjanya nggak maksimal. Gimana kami mau kerja maksimal?
Buat panitia, jangan lupa ngaca. Tetap semangat buat semua kawan-kawan saya yang ikut program Kampus Mengajar Batch 7. Saya merasakan apa yang kalian rasakan. Awalnya berapi-api, eh sampe di tengah jalan malah setengah mati.
Penulis: Aprianus Defal Deriano Bagung
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.