Mungkin banyak yang belum tahu, jika di Karawang terdapat tempat wisata bersejarah. Tempat tersebut bernama Monumen Rawagede dan sering dijuluki sebagai “kampung janda”. Saya agak yakin kalau banyak yang belum memahami latar belakang sejarah yang menjadi cikal bakal Monumen Rawagede ini didirikan.
Waktu dulu saat saya berusia sekitar 8 tahun, bapak saya pernah mengajak kami sekeluarga ke tempat wisata sejarah Monumen Rawagede tersebut. Tiket masuknya sangat murah yaitu sekitar 2.500 rupiah kala itu. Kemudian saat pertama kali datang ke sana, saya diperlihatkan dengan bentuk bangunan limas segi empat yang begitu mencolok di tempat itu.
Tepat di pintu masuknya, saya melihat patung emas yang menggambarkan sesosok ibu sedang menggendong anaknya yang sudah tak bernyawa. Perasaan sedih langsung menyelimuti saya pada saat itu.
Saya saat itu belum mengerti latar belakang sejarahnya. Yang saya ketahui hanyalah, Kampung Janda adalah sebuah desa yang para laki-lakinya dibantai oleh Tentara Belanda. Kemudian saya masuk ke dalam ruangan bagian yang lain dan saya diperlihatkan beberapa diorama seukuran manusia yang menggambarkan peristiwa pembantaian saat itu. Imajinasi saya pun langsung terlempar ke masa penjajahan dan menampilkan peristiwa pembantaian di Rawagede tersebut.
Kampung Janda dan tangan berlumur darah Alphons Wijman
Ternyata tepat di belakang monumen tersebut, ada Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga. Yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi para korban pada saat peristiwa Rawagede itu terjadi. Ada 181 orang yang dimakamkan di sana, meski total yang meninggal ada 431 orang. Baru akhir-akhir inilah saya tertarik ingin menelusuri peristiwa sejarah yang melatarbelakangi pendirian Monumen Rawagede tersebut. Apalagi saya sebagai orang Karawang asli, seharusnya paham betul sejarah lokal di tempat kelahiran sendiri.
Ternyata setelah saya riset dari beberapa artikel dan melihat video dokumenter, pada mulanya peristiwa ini terjadi akibat pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Alphons Wijman. Wijman, pada saat itu, mencari Kapten Lukas yang sering menyusup ke pos penjagaan Belanda dengan cara bergerilya.
Kapten Lukas ini sangat licin seperti belut. Bahkan Kapten Lukas dihargai kepalanya sebesar 10.000 Gulden oleh pihak Belanda kala itu. Pasukan Belanda menjulukinya sebagai “Begundal Karawang”. Tapi, suatu ketika ada antek Belanda yang melihatnya sedang menyusuri di daerah sekitar Sukatani yaitu daerah yang dekat dengan desa Rawagede. Kemudian mendirikan basis pejuang tersembunyi di sana.
Baca halaman selanjutnya
Habis kesabaran, terbitlah tangisan
Akhirnya info tersebut langsung ditanggapi dengan cepat oleh Mayor Alphons. Dan memerintah pasukannya untuk menyergap Kapten Lukas secepat mungkin. Pada saat fajar menyingsing hari sudah memasuki tanggal 9 Desember 1947 yang kemudian peristiwa itu disebut sebagai agresi Belanda 1. Kampung Rawagede dikepung dari tiga arah yaitu timur, utara, dan selatan. Tetapi walaupun sudah melakukan penyergapan di pagi buta dan secara mendadak, target yang dicari tetap saja nihil. Para warga di kampung Rawagede pun tidak ada yang mau membuka mulut, di mana keberadaan Kapten Lukas.
Lantas para tentara Belanda pun habis kesabarannya, dan menembaki seluruh laki-laki di kampung itu. Singkat cerita kampung itu dalam sekejap menjadi “kampung janda”. Setelah peristiwa pembantaian, para istri dan ibu yang mencari suami ataupun anaknya memberanikan diri untuk keluar rumah. Dan mencari jasad orang terkasihnya kemudian menguburkan dengan alat seadanya.
Tak akan berkhianat, tak akan menyerah
Yang perlu digaris bawahi dari kejadian ini adalah betapa patriotismenya masyarakat di kampung Rawagede. Mereka rela tutup mulut meskipun nyawa menjadi taruhannya. Jangan anggap orang yang menjadi korban peristiwa Rawagede itu sebagai korban mati konyol. Justru kita bisa melihatnya mereka sebagai pejuang kemerdekaan. Tidak menjual kawan sendiri untuk Tanah Air.
Setelah mengetahui latar belakang sejarah dari peristiwa Rawagede ini. Saya jadi semakin bangga dengan tempat kelahiran saya, ternyata tidak salah kota Karawang dijuluki sebagai kota pangkal perjuangan. Karena sejarah telah mencatat bagaimana sikap patriotisme masyarakat Karawang pada saat membela tanah air.
Kampung Janda adalah saksi di mana pernah terjadi kejahatan kemanusiaan. Manusia dibantai, demi alasan yang dibuat-buat benar. Seharusnya, dari Kampung Janda, kita belajar, bahwa tak ada yang menang dalam perang, tapi, yang kalah adalah semua yang ikut andil dalam perang.
Penulis: Diaz Robigo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Monumen Rawagede, Saksi Bisu Pembantaian Sadis dalam Puisi Karawang-Bekasi