Kaliwungu Kendal Selalu Diserbu Banjir, Penyakit Lama yang Tak Kunjung Sembuh dan Dibiarkan Membusuk

Kaliwungu Kendal Selalu Diserbu Banjir, Penyakit Lama yang Tak Kunjung Sembuh dan Dibiarkan Membusuk

Kaliwungu Kendal Selalu Diserbu Banjir, Penyakit Lama yang Tak Kunjung Sembuh dan Dibiarkan Membusuk

Ada satu hal yang sepertinya tak pernah absen di Kaliwungu Kendal setiap musim hujan tiba. Ya apa lagi kalau bukan banjir yang selalu datang. Tiap kali hujan deras mengguyur, jalan-jalan di Kaliwungu seperti mendadak berubah jadi kolam dadakan.

Kalau Anda kebetulan tinggal di sekitar Pasar Gladak, pertigaan Brimob, Masjid Agung Kaliwungu, Protomulyo atau Sumberejo, saya yakin Anda sudah hafal betul dengan “agenda tahunan” ini. Bahkan mungkin sudah tahu jam berapa biasanya air mulai masuk rumah, kapan arusnya mulai deras, dan kapan waktunya mengevakuasi motor ke tempat lebih tinggi.

Tak perlu pergi ke wisata air, cukup tunggu hujan semalaman saja, Anda bisa lihat pemandangan perahu sandal jepit dan motor mogok berjejeran. Sungguh, romantika yang tak akan ditemukan di kota besar mana pun.

Dan yang terbaru, Selasa Pagi, 28 Oktober 2025, banjir kembali datang. Kali ini melanda kawasan industri Kendal di daerah Wonorejo, Kaliwungu.

Air meluap, jalan tergenang, dan ribuan pekerja dibuat kelimpungan. Ada yang motornya mogok di tengah jalan, ada yang harus balik kanan karena arus terlalu tinggi, dan banyak juga yang akhirnya datang ke tempat kerja dengan celana basah separuh lutut. Kalau bosnya masih marah karena telat, mungkin bosnya perlu diajak ikut renang bareng di depan pabrik.

Tapi yang bikin tambah runyam, jalan arteri Kaliwungu sedang diperbaiki dicor dari Kalibendo sampai Karangtengah. Jadi semua kendaraan, baik mobil maupun motor, harus lewat jalur alternatif. Dan karena banjir juga melanda kawasan industri, ya sudah, macet pun tak terhindarkan.

Lengkap sudah penderitaan warga Kaliwungu banjir iya, macet iya, kerja tetap masuk. Hidup di Kendal memang keras.

Derita Kaliwungu Kendal ini bukan cerita baru

Kalau mau jujur, banjir di Kaliwungu Kendal ini bukan cerita baru. Orang di sini sudah mulai bosan dengar janji “penanggulangan banjir” mereka butuh aksi nyata. Tapi beberapa tahun ini, air selalu datang seperti tamu yang tidak diundang. Bedanya, tamu ini nggak cuma bikin basah, tapi juga bikin rugi dari waktu sampai merugikan ekonomi.

Banyak yang bilang, penyebab utama banjir adalah eksploitasi alam yang kebablasan. Hutan-hutan di sekitar Kaliwungu dan Brangsong sudah banyak yang berubah wajah jadi galian C. Tanahnya dikeruk habis-habisan, lalu dijual untuk mengurug kawasan industri, proyek tol, sampai pembangunan perumahan baru yang menjamur seperti jamur di musim hujan ironis, karena jamur pun tumbuh gara-gara air, sementara air di Kaliwungu justru tak punya tempat untuk meresap.

Bekas galian C yang seharusnya bisa dikonservasi, malah disulap jadi kompleks perumahan. Padahal, area itu dulunya bisa jadi “paru-paru air” tempat air hujan bisa mengendap perlahan, bukan langsung lari ke jalanan dan rumah warga.

Tapi siapa peduli? Selama tanahnya laku dijual, urusan air belakangan. Lagi pula, diera ekonomi yang semakin sulit ini siapa yang bisa menolak harga tanah yang terus naik karena proyek-proyek besar?

Galian C ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membantu pembangunan tanahnya dipakai untuk membangun kawasan industri yang kini jadi tempat ribuan orang menggantungkan hidup. Di sisi lain, ia juga meninggalkan luka alam yang rusak, sungai yang dangkal, dan resapan air yang semakin hilang. Ibaratnya, kita sedang menyelamatkan ekonomi tapi pelan-pelan menenggelamkan diri sendiri.

Tapi begitulah nasib daerah yang sedang tumbuh. Pembangunan memang menggoda, terutama karena membawa janji lapangan kerja, investasi, dan kemajuan.

Namun kadang kita lupa bahwa alam juga butuh waktu untuk bernapas. Kalau semuanya disedot tanpa jeda, jangan salahkan kalau akhirnya Kaliwungu berubah jadi kolam raksasa setiap kali hujan deras turun.

Pemkab dan Dilema “APBD Minus”

Sebenarnya warga sudah lelah mengeluh. Setiap kali banjir, yang dilakukan selalu sama foto-foto, unggah ke media sosial, lalu berharap viral biar pemerintah turun tangan. Kadang berhasil, kadang cuma jadi bahan komentar netizen “Wah, banjir lagi ya, Kaliwungu punya waterboom baru nih.”

Masalahnya, ketika pemerintah disorot, alasannya juga klasik anggaran terbatas.

Katanya, APBD Kendal sedang “minus” sampai Rp100 miliar lebih, Jadi untuk sekadar mengeruk sungai pun, masih dipertimbangkan dulu dari pos mana duitnya bisa keluar. Padahal, sungai-sungai di Kaliwungu dan Kendal sudah lama menjerit. Dasarnya dangkal, sampah menumpuk, dan arusnya tersumbat. Kalau hujan deras, airnya tentu mencari jalan lain lewat rumah warga, tentu saja.

Padahal, mengeruk sungai itu bukan proyek mewah, bukan pula proyek yang butuh studi banding ke luar negeri. Ini urusan dasar air harus punya tempat mengalir. Saya paham Bupati Kendal yang baru pasti pusing diawal pemerintahanya sudah ketiban anggaran APBD yang minus segitu banyaknya.

Tapi warga yang jadi korban tidak peduli yang mereka mau mereka tidak mau menjadi korban banjir setiap hujan deras. Pemerintah daerah memang dihadapkan pada pilihan sulit mau prioritaskan pembangunan ekonomi atau penyelamatan lingkungan?

Dua-duanya penting, tapi sayangnya jarang bisa jalan bareng. Selalu ada yang dikorbankan. Dan sejauh ini, yang paling sering dikorbankan adalah ya, lingkungan.

Pekerja industri di Kaliwungu Kendal kena dampak yang nggak sepele

Yang paling kasihan sebenarnya para pekerja di kawasan industri. Mereka bukan hanya berjuang melawan waktu dan macet, tapi juga melawan arus air yang setinggi betis bahkan paha. Banyak yang cerita, setiap hujan deras datang, mereka harus berangkat lebih pagi, berharap bisa lewat sebelum genangan meninggi. Tapi seringnya, harapan itu cuma tinggal harapan.

Ada yang motornya mogok di tengah jalan, ada yang nyeker dorong motor sambil nyengir pahit, ada pula yang akhirnya nebeng truk biar bisa lewat. Semua dilakukan demi satu hal absen tidak merah.

Kadang saya mikir, kalau semangat pekerja Kendal ini bisa dikonversi jadi energi listrik, mungkin PLN tak perlu lagi khawatir defisit pasokan.

Tapi di balik semua itu, ada rasa miris yang tak bisa disembunyikan. Pembangunan industri yang katanya membawa kesejahteraan, justru membuat banyak pekerjanya harus berjibaku dengan banjir saban hujan datang. Pabriknya berdiri megah, tapi akses jalannya sering tenggelam. Ironi yang sayangnya sudah dianggap biasa.

Tidak anti pembangunan, tapi tolong jangan tutup mata

Saya bukan anti pembangunan, bukan pula pembenci galian C. Pembangunan jelas perlu, karena tanpa itu banyak warga yang mungkin tetap menganggur. Tapi pembangunan seharusnya tidak membuat kita kehilangan akal sehat. Kalau setiap kali hujan deras, warga Kaliwungu harus waspada air masuk rumah, itu artinya ada yang salah dalam tata ruang kita.

Pemkab Kendal dan pemerintah provinsi perlu duduk bersama, melakukan uji kelayakan lingkungan yang benar-benar serius, bukan sekadar formalitas di atas kertas. Sebab kalau terus begini, banjir akan tetap jadi tamu wajib di Kaliwungu. Dan kita tahu, tamu yang datang terlalu sering tanpa diundang lama-lama bikin jengkel juga.

Yang kita butuhkan bukan pidato panjang, tapi aksi nyata. Kalau sungai sudah dangkal, ya dikeruk. Kalau resapan air mulai hilang, ya dibuatkan embung baru. Dan kalau galian C mau tetap jalan, harus ada aturan tegas soal konservasi pasca kerukan. Biar alam dan pembangunan bisa saling berdampingan, bukan saling memakan.

Sebab kalau menunggu sampai ada korban jiwa baru bertindak, itu namanya bukan pemerintah tapi pahlawan kesiangan.

Menutup dengan harapan (dan sedikit realisme)

Saya tahu, menulis tentang banjir di Kaliwungu ini seperti menulis lagu lama dengan irama yang sama. Tapi bagaimanapun juga, setiap keluhan kecil dari warga seharusnya tetap didengar.

Sebab di balik lelucon tentang “banjir langganan” itu, ada rumah yang rusak, ada motor yang mogok, ada anak sekolah yang telat, ada pedagang yang rugi, dan ada harapan yang terus hanyut.

Kaliwungu Kendal tidak minta banyak. Tidak perlu jalan tol baru, tidak perlu gedung tinggi. Cukup sungai yang tidak meluap, saluran air yang berfungsi, dan sedikit perhatian dari pemerintah. Itu saja sudah cukup membuat hidup warga di sini sedikit lebih ringan.

Karena sejatinya, yang paling ditakuti orang Kaliwungu bukan lagi hujan deras, tapi kalimat sakti dari tetangga, “Wah, air mulai naik, lho.”

Penulis: Andre Rizal Hanafi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Perubahan yang Tak Sepenuhnya Enak di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version