Kalau Ujian Nasional Kembali Diadakan, mending Les Aja di Bimbel, Jelas Lebih Masuk Akal ketimbang Sekolah

Memangnya kalau Ujian Nasional Dikembalikan, Kualitas Pendidikan Bakal Meningkat Secara Ajaib? Saya sih Nggak Yakin

Memangnya kalau Ujian Nasional Dikembalikan, Kualitas Pendidikan Bakal Meningkat Secara Ajaib? Saya sih Nggak Yakin

Isu tentang ujian nasional kembali menyeruak semenjak pemerintahan baru era Prabowo Subianto bergulir. Tentu saja, para guru dan pengamat pendidikan langsung mengeluarkan opininya terkait ini. Banyak yang kontra, tidak sedikit yang pro, dan lebih banyak lagi yang maido.

Saya sebagai tukang maido profesional, menganggap wacana munculnya lagi ujian nasional ini adalah hal yang buruk. Meski saya percaya bahwa harus ada standardisasi kompetensi siswa yang dibuktikan dengan tes semacam ini, saya nggak suka aja melihat kebijakan diganti seenaknya ketika terlihat tidak menyenangkan atau tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kita tahu, sejak dihapuskannya ujian nasional dan bergulirnya Kurikulum Merdeka, banyak kritikan yang keluar. Paling banyak berpusat pada menurunnya kompetensi siswa. Munculnya video konten siswa yang tak tahu nama negara di Eropa jadi contoh kegagalan kurikulum dan pendidikan. Dan entah kenapa, banyak orang menjadi atlet lompat logika, bikin kesimpulan bahwa gara-gara ujian nasional dihapuskan, murid “bodoh” seperti itu berlipat ganda.

Padahal, belum tentu juga jika ujian nasional muncul lagi, siswa jadi lebih pinter. Sebab dari yang ada, malah sebenarnya tak ada bedanya. Jika ada bedanya, yo ra adoh-adoh banget.

Memangnya kalau ujian nasional diadain lagi, yakin siswa jadi lebih pinter?

Kita ngobrol agak ngalor ngidul aja dulu biar isinya tidak marah-marah melulu. Kalau ada yang menganggap siswa sekarang bodoh karena nggak ada ujian, apakah orang-orang yang mengalami ujian nasional itu lebih pinter? Aku sih wani ngomong tidak.

Saya yakin, orang-orang produk UN itu belum tentu bisa menyebutkan 10 negara di Eropa sana. Diminta nyebutin ibu kota Inggris saja belum tentu bisa. Kakak tingkat SD saya dulu bahkan nggak tahu ibu kota AS itu di mana, sesuatu yang kelewat umum. Nggak sedikit juga yang nggak bisa bedain Paris dan Perancis.

Kalian mungkin akan bilang, contoh yang saya sebutkan itu tidak bisa jadi perwakilan. Nah, itulah poin saya. Siswa yang mengira Garut di Eropa tersebut jelas tidak bisa jadi representasi intelegensia siswa pada umumnya. Saya yakin kalau anak sekolah zaman sekarang sama atau bahkan lebih pinter ketimbang siswa zaman dulu.

Kalau cuman satu anak kepleset lidahnya di konten kalian anggap contoh sahih, lha malah kalian yang sebenernya bermasalah, logika kalian dipake nggak sih waktu nuduh?

Saya masih menemui beberapa orang produk ujian nasional yang kesulitan diminta jawab 80:5. Iya, saya iseng nanya, dan hati saya terisis mereka butuh lebih dari 10 detik untuk menjawab hitungan kelewat sederhana tersebut. Ngono kok ngunekne liyane bodo, tulung banget.

Yang untung mah bimbel

Kita serius sekarang. Melaksanakan ujian nasional lagi, artinya, pemerintah tidak belajar apa pun selama ini. Oke, anggap saja kurikulum sekarang kacau. Harusnya yang dilakukan bukanlah menggantinya total dan kembali ke praktik lama. Tapi, yang buruk-buruk itu dievaluasi lagi. Disesuaikan dengan realitas pendidikan di Indonesia.

Misalnya penghapusan ujian dan menggantinya jadi sistem zonasi terbukti buruk karena sebaran sekolah dan kualitas pendidik tidak merata. Solusinya kan membangun sekolah baru dan memperbaiki kualitas pendidik. Toh, tiap tahun, kampus pendidikan selalu menelurkan sarjana andal yang baru. Kenapa mereka tidak dipekerjakan di sekolah-sekolah baru tersebut? Kan sederhana.

Ya tidak sesederhana itu, saya tahu, tapi masalah implementasinya gimana ya biar Kemendikbud yang mikir. Mosok aku. Wis kon mikir, nggak digaji, wegah aku.

Secara sederhananya, jika negara kembali mengadakan ujian nasional, artinya memang tidak belajar apa-apa dan tidak ada rencana jangka panjang yang konkret untuk mencerdaskan anak bangsa. Yang untung mah penyedia bimbingan belajar. Sebab mereka jagonya ngajarin siswa ngerjain ujian.

Nah, kalau bikin kebijakan yang malah menguntungkan bimbel, tapi bukan siswa, lalu ngapain dibikin? Apa sekalian tutup aja sekolah, kalau mau gila, gila sekalian.

Lebih baik Kemendikbud bikin roadmap yang jelas dan rencana jangka panjang yang konkret. Nggak apa-apalah jika ujungnya ujian nasional diadakan. Tapi harus jelas rencananya buat apa, bukan sekadar meraih popularitas aja. Kalau cuman bikin hal-hal populer, mending jadi konten kreator wae nggenah, ngausa ngurusin pendidikan.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Memangnya kalau Ujian Nasional Dikembalikan, Kualitas Pendidikan Bakal Meningkat Secara Ajaib? Saya sih Nggak Yakin

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version