Kalau Saya Jadi Kepala Daerah, Jelas Saya Akan Peduli dengan Klub Bola Lokal 

Kalau Saya Jadi Kepala Daerah, Jelas Saya Akan Peduli dengan Klub Bola Lokal terminal mojok.co

Kalau Saya Jadi Kepala Daerah, Jelas Saya Akan Peduli dengan Klub Bola Lokal terminal mojok.co

Kalau kamu mau mencintai suatu hal yang amat toxic, menyebalkan, nggak tahu diri, dan nggak memberikan balasan setimpal kepada rasa cintamu, saya punya jawabannya. Ya, coba cintai salah satu klub bola di Indonesia. Nggak usah jauh-jauh, cintai saja klub bola kampung halamanmu. Wes to, percaya sama saya, satu musim tak jamin ndyasmu mumet nyat-nyut. 

Kalau suka sama klub luar, mau ia gagal, rasanya kurang ada gairah untuk maki-maki. Entah kepada internal atau jajaran staf. Namun, kalau klub bola lokal bermasalah, kebetulan klub itu adalah klub yang kamu sukai, hanya diam kok ya rasanya nggak enak. Lha ya gimana, letak rumah dan stadion hanya satu plintengan jaran, kok, ya, diam saja. 

Apalagi kalau yang buat masalah bukan jajaran staf kepelatihan, bukan juga pemain. Namun, justru politikus yang mak mbenduduk ada di jajaran internal, ngatur sana-sini. Ia melambaikan tangan seakan menjadi messiah. Namun, ketika tujuannya tercapai, ndilalah klub bola itu ditinggal. Sejahat-jahatnya setan, rasanya nggak sejahat itu.  

Ada politikus yang seperti itu? Banyak. Banyak sekali. Nggak perlu saya sebutkan, lah. Takutnya, 600 kata sia-sia dengan hanya menyebutkan nama demi nama.  

Bukan bermaksud membela atau bagaimana, melihat adegan politikus yang masuk gelanggang klub bola lokal, kok, saya jadi maklum, ya? Bukannya apa-apa, peduli dengan klub lokal itu jadi semacam jalan pintas. Daripada berprestasi di bidang lain yang jelas-jelas lama dapatnya apalagi bangun citra yang nggak selalu berhasil, gimmick suka bola itu sungguh mantap sekali. 

Kalau saya jadi kepala di suatu daerah, tentu saya akan melakukan langkah komikal macam itu. Misalnya, saya mau daftar camat di mBanguntapan, jelas saya akan menciptakan gimmick mencintai PersimBang dengan khusyu. Saya hanya bilang akan peduli dengan klub, bikin rumput di lapangan kecamatan lebih hijau, maka banyak yang akan memilih saya. 

Begini lho, sepak bola itu olahraga kolektif di Indonesia. Walau harus kita sepakati, prestasi olahraga ini nihil tanpa hasil. Namun, olahraga ini seakan menjadi ladang subur untuk mendulang massa. Suporter klub bola lokal ini terkenal kuat dan fanatik. Puji syukur bagi mereka yang nggak terpengaruh gimmick politik. Tapi, duka cita bagi mereka yang kadung kemakan janji-janji langit yang dibawa oleh politikus kelas teri tersebut. 

Nggak hanya klub-klub tradisional, bahkan klub-klub standar kabupaten saja dijadikan kuda pacu politik guna mendompleng suara kala kontestasi. Janjinya bangun stadion, membenahi klub, bahkan ada yang menjanjikan juara juga. Suporter terpikat (emang siapa sih yang nggak terpikat dengan tajuk klub idolanya jadi juara dan terjadi pembenahan besar-besaran), maka nyoblos lah si calon tersebut. 

Nah, semisal saya sudah jadi kepala daerah tanpa jalur gimmick sepak bola, gampang juga untuk meraih atensi massa. Tinggal menciptakan sebuah drama bahwa saya ini peduli sama PersiMbang Mbanguntapan. Ketika periode dua, suporter akan terikat dengan janji nggak tertulis bahwa saya pernah peduli dengan klub kampung halamannya.  

Maka, hadir pula sebuah balas jasa yang begitu nisbi. Begitulah alur sepak bola dan politik desa terjadi. Dari tarkam ke tarkam, skala RT, RW, bahkan lurah. Indonesia mau juara? Itu seperti mimpi di siang bolong, alias banyak ndobosnya. Gimana mau juara, lha wong borok kecil-kecilan di tingkat daerah saja marak terjadi dan cenderung dibiarkan saja.  

Sepak bola di Indonesia itu bukan lagi olahraga, tapi sudah bermanifestasi menjadi sarang cuan. Baik itu bagi pengusaha, pemodal, maupun politikus. Mau beli klub lokal? Ayo cepat beli, mumpung obral, Senin harga naik!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version