Gaji melempem, tuntutan menggunung: nasib anak retail yang dipepet target dan realitas
Soal gaji, jangan berharap lebih. UMR pun kadang masih mimpi. Tunjangan? Ada tapi kecil. Bonus? Ah, itu bisa tapi kalau mencapai target ya. Tapi banyak yang tetap bertahan, bukan karena cinta tapi karena terpaksa. Hidup butuh uang, di rumah ada keluarga yang harus makan dan kamu nggak bisa bayar listrik pakai daun.
Kerja di retail itu harus multitasking: sambil ngitung stok, sambil senyum dan nahan nangis. Yang lebih nyeseknya lagi, kerja seberat itu sering kali dianggap nggak kerja beneran sama tetangga. Padahal, beban kerja dan stresnya sering lebih berat dari kerja kantoran atau PNS.
Libur? Apa itu libur?
Hari libur nasional? Itu justru waktu kerja buat anak retail. Saat negara bilang “Hari Raya Idul Fitri jatuh pada…”, yang didengar anak retail adalah “Wah, molor lagi nih pulangnya”. Apalagi di retail fashion, orang-orang masih sibuk milih baju lebaran padahal udah tinggal besok. Atau masih ada yang balik buat tukar baju yang setelah dicoba di rumah ternyata ukurannya kurang besar.
Jangan harap kata “cuti” itu benar-benar bisa kamu ambil saat musim libur tiba. Cuti akhir tahun diatur seperti puzzle, karena semua orang pengen libur, tapi toko harus tetap buka. Jadilah saling lirik-lirikan, main strategi rebutan tanggal cuti. Kadang rasa iri itu ada, melihat profesi lain bisa “off” bareng keluarga.
Tapi, mereka harus pasrah, namanya juga hidup sebagai pekerja retail artinya harus siap jadi tulang punggung ekonomi, bahkan saat tulangnya sendiri udah kerasa retak. Harus tetap senyum, meski hati pengin rebahan.
Penulis: Alifah Ayuthia Gondayu
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















