Sebagai seorang muslim yang selalu dan memang wajib makan makanan halal, saya selalu memastikan bahannya. Saya selalu berusaha untuk tahu komposisi dari sebuah masakan, karena saya mengimani ajaran saya, termasuk dengan apa saja yang akan masuk ke badan saya. Masalahnya, walau tinggal di Indonesia, masih ada beberapa tempat makan yang tidak jujur dengan bahan masakannya. Khususnya yang berlindung di balik label “No Pork No Lard.”
Oleh karena saya sering kali menemukan hal ini, saya mau mengingatkan untuk teman-teman muslim yang taat dalam makanan halal, juga kepada pemilik restoran yang menggunakan label “No Pork No Lard” tapi ngaku-ngaku halal.
Halal itu bukan hanya sekadar bebas babi saja, jadi no pork no lard itu nggak cukup
Buat orang-orang yang belum mengetahui banyak soal halal, saya beritahukan sedikit, makanan halal itu adalah makanan yang sesuai dengan aturan hukum Islam. Ada beberapa bahan makanan yang dilarang dikonsumsi oleh seorang muslim, contohnya adalah babi yang paling banyak diketahui. Tapi, kenyataannya nggak hanya babi. Ada darah, hewan yang tidak disembelih dengan tata cara Islam, sampai alkohol yang digunakan untuk masak.
Masalah yang saya tulis di sini adalah, banyak restoran dengan label “No Pork No Lard” mengaku-ngaku halal, tapi tetap menggunakan bahan lain yang tidak halal seperti mirin, arak, ciu, dan sejenisnya. Kok tega sih tetap bilang halal, padahal ada bahan-bahan tersebut. Kalau begini namanya penipuan terhadap konsumen.
Pegawai restoran yang nggak mau menjelaskan bahan masakan, cuma no pork no lard doang
Tau nggak apa yang bikin tambah ngeselin dari restoran dengan label “No Pork No Lard” yang nggak halal itu? Pegawainya nggak mau ngasih tau product knowledge untuk calon konsumen. Saat ditanya “Ini halal kan, Kak?” Jawabnya cuma “No Pork No Lard ya, Kak.” Begitu terus setiap bertanya soal halalnya makanan.
Padahal, pegawai yang baik seharusnya memberitahukan bahan masakan yang akan disajikan, terlepas soal halal atau tidaknya. Tapi, giliran nanya soal halal, jawabannya kayak kaset rusak. Saya juga yakin, banyak pegawainya yang muslim, tapi kok tega nggak mau jelasin. Kalau yang bersangkutan nggak taat soal makanan, gapapa banget, tapi kalau orang lain yang taat dan mau tahu, tolong jawab dengan jujur.
Kejujuran itu penting untuk kepercayaan konsumen
Jujur dalam berdagang itu nomor satu. Sebagai anak seorang pedagang, saya meyakini hal ini sebagai kunci banyaknya langganan orang tua saya. Kalau sedari awal sudah jujur, maka faktor penunjang sukses lainnya akan terus berdatangan. Termasuk dalam jujur menjual makanan yang tidak halal dan menutupinya dengan no pork no lard.
Kalau sedari awal jujur makanannya belum tersedia yang halal, orang-orang pasti akan respek dan percaya jika suatu saat akan tersedia versi halalnya. Sudah banyak kok kasus seperti ini, di mana awalnya restoran belum menyediakan menu halal, tapi sudah pamor namanya, saat menyediakan yang halal langsung tambah ramai.
Sertifikasi halal perlu digalakkan lebih jauh
Saya rasa, soal halal atau tidaknya makanan yang tersedia di restoran, seharusnya menjadi perhatian lembaga pemerintah yang mengurus hal ini. Perlu ada edukasi, literasi, sampai sosialisasi soal makanan halal yang lebih masif kepada restoran-restoran yang tidak bertanggung jawab. Terlebih yang cuma modal no pork no lard
Jangan hanya fokus memberikan sertifikasi halal, tapi tidak ikut mengawasi kenyataan di lapangan yang masih saja miris. Jangan sampai ada lagi korban yang nggak tahu kehalalan produk karena pengusaha yang seenaknya klaim halal.
Semoga dengan tulisan ini, pengusaha yang menggunakan label “No Pork No Lard” sadar, bahwa halal bukan hanya sekadar bebas dari babi.
Penulis: Nasrulloh Alif Suherman
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Larangan Logo Halal di Cina dan Budaya Gagal Paham Indonesia
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















