Lebak Masih Miskin dan Menderita, Tak Kunjung Berubah sejak Max Havelaar Menyindir Belanda

Lebak Masih Miskin dan Menderita, Tak Kunjung Berubah sejak Max Havelaar Menyindir Belanda

Lebak Masih Miskin dan Menderita, Tak Kunjung Berubah sejak Max Havelaar Menyindir Belanda (Fahrul Razi via Unsplash)

Kabupaten Lebak pernah menjadi inspirasi lokasi dan bahan diskusi bersejarah ratusan tahun lalu. Wilayah yang terletak di bagian selatan provinsi Banten ini menjadi setting lokasi buku Max Havelaar. Novel yang menggemparkan pada masanya hingga menyebabkan pemerintah kolonial membuka kesempatan pendidikan bagi para pribumi keturunan priyayi. Terbukanya mata para anak bangsa terhadap literasi dan dunia luar adalah cikal bakal kebangkitan nasional.

Walau ketenaran buku Max Havelaar mendunia, realitas di Lebak sangatlah kontras dengan kondisi masyarakat yang masih jauh dari makmur. Hingga artikel ini ditulis, Lebak masih berusaha mengentaskan diri sebagai daerah tertinggal. Sebelumnya pada 2019, ada 182 desa tertinggal dan 16 desa sangat tertinggal. Akhir tahun 2023 di Lebak tersisa 99 desa tertinggal dan 1 desa sangat tertinggal.

Memahami Max Havelaar

Kita bicara buku ini secara singkat, agar paham maksud saya secara utuh. Max Havelaar ditulis oleh Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak pada 1856. Melihat ketimpangan sosial dan penderitaan rakyat Lebak, Eduard Douwes Dekker menulis kepada para atasannya mengenai kesewenangan dan korupnya Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara. Walaupun atasannya Brest van Kempen sangat terkejut atas berita yang diinformasikan Eduard, namun Eduard malah mendapat teguran keras.

Kecewa dengan reaksi yang diberikan oleh van Kempen, Dekker akhirnya memilih meninggalkan Lebak setelah 84 hari bekerja sebagai Asisten Residen Lebak. Di kemudian hari setelah berkali-kali gagal melamar pekerjaan yang lebih baik dan dibayangi ancaman perceraian, Eduard akhirnya menulis buku yang menceritakan tentang feodalisme dan kolonialisme yang terjadi selama bertahun-tahun di Hindia Belanda. Max Havelaar yang sarat sindiran terhadap pemerintah Belanda menjadi buku yang sangat populer pada abad ke 19.

Setelah buku Max Havelaar terbit dan mengguncang pemerintahan, Belanda akhirnya menerapkan Politik Etis. Politik Balas Budi ini membolehkan kaum pribumi mengenyam pendidikan walau hanya kalangan terbatas. Harapan Belanda mencuci tangan dengan menggunakan Politik Etis di kemudian hari akan berbalik menjadi benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme.

Dinasti Lebak

Max Havelaar beserta keluarga dan babunya pada 1800-an harus melalui perjalanan ke Lebak dengan kepayahan karena jalanan yang jelek, berlubang dan berlumpur. Pada 2024, perjalanan melewati Kabupaten Lebak yang merupakan Dapil 1 Banten sangatlah berbeda. Jalanan sudah beraspal, cukup luas, dan meriah dengan spanduk dan baliho besar caleg menyambut di setiap sisi jalan dengan berbagai janji.

Berbanding terbalik dengan ingar bingar pesta demokrasi di Dapil 1 Banten, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Lebak sangatlah sunyi. Berdasarkan data BPS Tahun 2022, IPM Lebak adalah yang terendah di antara delapan kota/kabupaten di Banten. Hampir separuh atau 45,93% penduduk Lebak hanya lulusan SD dengan rata-rata masa belajar 6,59 tahun atau setara kelas satu SMP. Fakta dan data ini sungguh kontras dengan jargon Kabupaten Lebak “Lebak Sehat, Lebak Pintar dan Lebak Sejahtera.”

Tingkat pendidikan yang rendah di Kabupaten Lebak menjadi keuntungan bagi caleg dan petahana yang bertarung di Dapil 1 Banten. Dikutip dari data survei Litbang Kompas tahun 2022, mayoritas responden dengan pendidikan dasar dan menengah memilih partai berdasarkan alasan yang kurang rasional. Yaitu, ketokohan (48,1%) dan popularitas (26,9%) partai. Sedangkan responden berpendidikan tinggi cenderung yang memilih partai dengan alasan yang lebih rasional. Yaitu berdasarkan visi dan misi (22%), ketokohan (18%), dan program kerja partai (14%).

Nggak perlu susah kampanye di Lebak

Merujuk pada fakta pemilih di Kabupaten Lebak yang hampir separuhnya hanya berpendidikan SD, diikuti pemilih berpendidikan SMP (19,95%) dan SMA (15,12%), dapat disimpulkan kecenderungan pemilih di Lebak akan cenderung ke emosional daripada rasional. Caleg tidak perlu pusing dan memeras otak untuk mengkampanyekan visi, misi atau janji kampanye yang was wes wos. Toh kemungkinan besar pemilih akan menyoblos siapa saja dengan nama famili yang mereka kenal, karena tokoh dan popularitas masih jadi alasan utama.

Tahun 2018 hingga 2023 angka rata-rata masa belajar di Lebak baru naik sedikit dari 6,21 menjadi 6,59 tahun. Fakta ini sungguh kontras dengan proyek senilai milyaran rupiah yang mayoritas dimenangkan para kerabat dinasti politik. Dalam rilis BPS disebutkan bahwa rendahnya masa belajar di Lebak disebabkan faktor kesulitan ekonomi.

Sudah digugat lebih dari seabad, tapi tak berubah

Hampir dua abad lalu Max Havelaar menggugat, “Apakah ketamakan pejabat memang terkait dengan hubungan keluarga yang kuat?” Bagai peramal, sebaris pertanyaan yang ditulis Multatuli itu masih sangat relevan hingga tahun pemilu 2024. Apakah rakyat Lebak selama ini hanya dianggap sederet nama dalam daftar pemilih tetap?

Begawan sastra Indonesia, Pram pernah menyebut Max Havelaar sebagai “Novel yang membunuh kolonialisme”. Pemerintahan kolonial memang telah hilang dari bumi Lebak hampir seabad lalu, tapi dominasi ekonomi dan sumber daya masih dikuasai dinasti penguasa. Sebuah ironi bagi wilayah yang menggunakan nama Multatuli sebagai museum dan nama jalan utama.

Penulis: Maryza Surya Andari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Surat untuk Luhut: Tol Serang Panimbang Wujud Penderitaan Warga Lebak Banten

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version