Setiap manusia dituntut untuk mempunyai sikap adaptasi dengan lingkungannya. Hal ini berlaku bagi semua manusia, termasuk saya. Selama 40 hari, saya mendapatkan tugas dari kampus. Tugas PPL mengajar di salah satu MTS swasta yang ada di Kabupaten Cilacap. Kabupaten paling barat di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat.
Beberapa hari tinggal di kabupaten yang mendapat julukan bercahaya ini, saya mengalami gagap budaya. Mungkin karena beberapa hal yang jarang saya rasakan di kabupaten tempat saya tinggal (Purbalingga).
Saat berada di Cilacap, saya seperti memasuki planet lain. Saya kira masih di Jawa Tengah, tapi kok sensasinya sudah beda. Saya susah menjelaskannya. Intinya, kalian bakal merasa kek di daerah lain. Sumpah, mending ke sana aja biar paham.
Kalo boleh saya kasih julukan, Cilacap bisa disebut sebagai Planet Cilacap. Mirip-mirip sama Bekasi yang disebut sebagai Planet Bekasi. Setelah saya telusuri ternyata ada berapa hal yang membuat saya merasa agak laen di Kabupaten Cilacap ini.
Kabupaten yang memiliki penjara paling menakutkan di Indonesia ini (baca: Nusakambangan) memiliki panas yang cukup menyengat bagi kulit. Memang, Cilacap tidak sepanas Surabaya. Tapi, boleh lah untuk diadu. Bayangkan, saat di siang hari saya harus menyalakan dua kipas angin kecil secara bersamaan. Tapi tetap saja saya meneteskan bulir keringat. Padahal, volume kipas tersebut sudah paling mentok. Bahkan, pernah di suatu siang yang cerah, panasnya mencapai 35 derajat celcius. Apa nggak kayak dipanggang di dalem oven? Tinggal kasih toping aja, tuh. Hehehe.
Oh ya, karena penatnya aktivitas selama satu minggu di sekolah, sesekali saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah teman yang letaknya di pusat kota. Selain lebih panas, ternyata di sana juga ada fenomena lain. Saat menikmati kopi di balkon rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 18.30. Tapi, mataharinya nggak turun-turun. Malah masih bertengger gagah di ufuk barat. Seketika saya merasa seperti ada di Bali yang notabene masuk zona WITA. Padahal, jelas-jelas Cilacap termasuk ranah waktu Indonesia bagian barat. Apa mungkin ini yang menyebabkan pemerintah Kabupaten Cilacap menetapkan julukan bercahaya bagi Cilacap? Cocoklogi saja, sih. Wkwk.
Baca halaman selanjutnya
Saya menyempatkan pergi ke Alun-alun Cilacap…
Masih di waktu yang sama, saya juga menyempatkan diri untuk pergi ke Alun-alun Cilacap. Alun-alun Cilacap terlihat seperti alun-alun kota pada umumnya. Ada masjid agung di sebelah barat hingga penjual makanan di sepanjang tepi.
Satu hal yang membuat Alun-alun Cilacap agak laen: jumlah pengamen di sini banyak sekali. Bayangkan, saat memesan sate di pojok Alun-alun, ada sekitar 10 pengamen datang menghampiri kami. Bahkan pengamen yang sudah kami kasih, narik lagi. Apa mereka nggak ada rute lain selain keliling alun-alun berkali-kali?
Jenis pengemisnya pun macem-macem. Ada yang ngeluh belum makan, ada yang nyanyi sebait doang, ada juga yang genjreng gitar pas lagunya lagi enak-enaknya, ehh,,,, ditinggal pergi. Persis kaya doimu! Pokoknya kalau kalian pengin ke Alun-Alun Cilacap harus sedia receh yang banyak, Guys!
Selain pergi ke kota, saya juga sudah berpuluh-puluh kali pergi ke pantai yang ada di pesisir Cilacap. Satu kesamaan yang saya temukan. Sampah berserakan di mana-mana. Mulai dari sampah organik hingga sampah plastik. Selain itu, air laut juga dicemari limbah kilang minyak dan limbah industri garam. Itu yang membuat saya enggan untuk basah-basahan (baca: mandi) di pantai. Sudah pasirnya item, airnya keruh. Paket komplit. Kalau nekat basah-basahan, bakal muncul slogan baru, sih. Habis mandi terbitlah gatal-gatal. Haduh….
Itulah Cilacap dengan problematika yang ada. Apa pun yang terjadi, intinya Cilacap Bercahaya!
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Keunikan Cilacap yang Tidak Dimiliki Daerah Lain