Kabupaten Blora bisa dikatakan sebagai daerah underrated di Jawa Tengah. Nggak banyak orang yang tahu kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur ini. Kalau bukan karena kilang minyak di Cepu, mungkin orang asli Blora akan kesulitan menjelaskan daerah asalnya.
Orang yang masih awam pasti akan bertanya-tanya soal hal yang khas dari Blora atau potensi kabupaten tersebut. Sayangnya, kalau kamu mencari hal-hal yang menarik soal Blora, kamu malah akan menemukan kisah-kisah horor hutan jati di Blora. Kabupaten ini pun sebenarnya menyimpan banyak potensi. Hanya saja kini banyak warga aslinya yang memilih kuliah ke luar kota dan menetap di sana.
Saya pernah datang juga ke Kabupaten Blora untuk meneliti kehidupan masyarakat di sana, khususnya yang bergantung pada keberadaan hutan. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang berbatasan langsung dengannya, Blora masih banyak kekurangannya. Sebut saja kondisi jalannya yang sangat rusak dan makin berbahaya kalau hujan serta penguasa daerah punya pengaruh yang sangat besar.
Selain itu, posisi Blora yang berada di tengah-tengah dan dikelilingi daratan membuat kabupaten ini seakan-akan “nggak ada apa-apa”. Blora yang nggak punya laut dan separuh daerahnya dikepung oleh hutan jati membuat pilihan hiburan bagi warganya terbatas.
Tapi di balik itu semua Blora juga menyimpan di sisi positif. Sisi positif yang akan saya sebutkan tentu bukan minyak atau hutan jatinya. Memang sih Blora punya kedua hal ini. Tapi seberapa besar peran minyak dan hutan jati dalam memberikan kemakmuran bagi rakyatnya? Paling-paling yang untung pemerintah atau korporasi.
Kembali lagi ke awal, inilah tiga sisi positif Blora yang bisa menjadi potensi daerahnya.
#1 Kebudayaan masih dilestarikan di Kabupaten Blora
Berapa banyak daerah di Indonesia yang masih mempraktikkan kebudayaan lokalnya secara rutin dan masif? Warga Blora sampai sekarang senantiasa menjaga kebudayaan mereka.
Salah satu tradisi yang masih dilaksanakan praktiknya oleh warga Blora adalah sedekah bumi, atau dalam bahasa lokalnya disebut gas desa. Walaupun namanya gas desa, bukan hanya warga desa, melainkan juga warga di pusat kota Blora ikut memeriahkannya.
Tradisi gas desa ini dilaksanakan secara serentak di Blora dengan tiap desa yang menampilkan budaya-budaya khas Blora. Dalam tradisi gas desa ini turut dipertunjukkan seni barongan dan tayub Blora yang terkenal itu. Selain itu, warga di tiap desa juga akan open house dan menyajikan masakan yang bermacam-macam untuk menjamu tamu dari desa tetangga.
Gas desa dengan segala praktik kebudayaan di dalamnya semakin merekatkan relasi sosial masyarakat Blora. Jadi, nggak perlu kaget kalau menemukan fakta bahwa warga Blora sangat solid, bahkan kenal dekat satu sama lain.
Sisi positif yang satu ini bisa menjadi nilai jual Blora di bidang pariwisata. Nggak semua daerah di Indonesia punya kebiasaan ini. Pasti akan ada banyak turis yang tertarik menyaksikannya.
#2 Makan murah dan nggak nyampah
Jangan bilang harga makanan di Jogja murah kalau belum pernah ke Blora. Blora adalah another level of makanan murah sekaligus nggak nyampah. Jadi, selain ramah di kantong, ramah lingkungan juga.
Blora adalah daerah agraris yang masyarakatnya banyak menanam tanaman pangan. Warga turut memanfaatkan keberadaan hutan jati dengan mengambil daunnya untuk dijadikan alas makan.
Kalau kita makan sate atau pecel Blora, pesanan kita nggak akan disajikan di atas daun pisang, kertas minyak, atau plastik. Warga Blora memakai daun jati yang dijadikan pincuk untuk meletakkan makanan. Daun jati yang dijadikan alas makanan ini tentu lebih mudah terurai dibandingkan kertas minyak atau plastik.
Harga makanan di Blora pun sangat terjangkau. Hampir kehabisan uang saat akhir bulan dan hanya tersisa Rp5 ribu pun kita tetap bisa beli makan. Makanan yang sangat murah dan menjadi favorit seluruh kalangan di Blora adalah pecel yang ditambah dengan tempe mendoan.
Baca halaman selanjutnya