Selamat Hari Jadi Kabupaten Banyumas: Jalan Rusak, Macet, dan Kemiskinan Masih Menghiasi Kota Satria

5 Kuliner Khas Banyumas yang Wajib Dicoba Terminal Mojok

5 Kuliner Khas Banyumas yang Wajib Dicoba (Unsplash.com)

Saat menulis artikel ini, hati saya merasakan gejolak seperti ombak dalam lautan bebas. Tepat hari ini, kabupaten tempat saya berdomisili, Banyumas, merayakan hari jadinya yang ke-452. Umur yang tidak muda lagi bagi sebuah kabupaten. Angka yang bisa dibilang 6 kali lipat dari umur republik ini, Indonesia. Segala keluh kesah, maju-mundur telah direngkuh bersama di pasang surut kota berjuluk satria ini.

Sedikit cerita, sejak masa sekolah menengah pertama, saya sudah mengenyam pendidikan di salah satu MTS di pusat Kabupaten Banyumas. Setelah itu, saat kuliah pun saya memutuskan kuliah di salah satu universitas Islam negeri (yang katanya kampus rakyat, eh kok UKT-nya sekarang jadi selangit) di Purwokerto.

Kurang lebih sekitar 7 tahun sudah saya lalui di kota ini. Segala sektor pun mengalami perubahan dari masa ke masa. Di hari jadinya yang ke-452, saya ingin memberikan kilas balik tentang Kabupaten Banyumas.

Jalan rusak ada dan berlipat ganda

Kota yang melahirkan banyak “satria” ini, masih memiliki permasalahan yang kompleks. Salah satunya adalah jalan rusak. Jalan rusak sudah seperti gerai minum Mixue yang sangat mudah kita jumpai di setiap tikungan. Sebut saja jalan area UNSOED. Mungkin jalan area rektorat bisa dibilang mulus. Tapi, coba deh, sesekali jalan ke area kampus UNSOED bagian belakang. Jalannya nggak rata kaya keadilan di negeri ini. Selain itu, kendaraan keluar masuk dengan kecepatan kencang.

Bukankah itu sangat membahayakan bagi para pengendara? Padahal kalo dipikir-pikir area tersebut nggak jauh-jauh amat dari pusat kota Purwokerto. Kok bisa, ya, jalannya seburuk itu?

Selain itu, area Kecamatan Sumbang lebih parah lagi. Lubang di beberapa titik bisa jadi wahana untuk Ninja Warrior. Lah gimana lagi, lubangnya lebar dan dalem banget. Beberapa warga yang kreatif sering kali menanam buah pisang di tengah jalan sebagai tanda bahwa jalan tersebut rusak parah. Ada juga yang menaruh beberapa bibit ikan lele. Lubang yang dalam dan lebar membuat genangan air. Hal ini meyakinkan warga untuk menaruh benih lele di tengah jalan. Ada-ada saja.

Transportasi umum Banyumas udah bagus, tapi…

Selain masalah jalan, masalah transportasi pun patut menjadi sorotan. Perkembangan bus Trans Banyumas dan bus Trans Jateng memang menuai banyak pujian. Hal ini karena memudahkan mobilitas warga Banyumas dengan angkutan yang murah dan terintegrasi.

Namun, di antara pujian itu, tentu masih ada celah. Belum lama ini, ada berita seorang anak yang ditabrak oleh Bus Trans Banyumas. Bahkan, anak tersebut tidak dapat diselamatkan. Bocah enam tahun menjadi korban pertama Trans Banyumas. Saya harap, itu menjadi yang pertama dan yang terakhir.

Mungkin, perlu dipertimbangkan kembali agar pemerintah Kabupaten Banyumas menambah jalur khusus untuk Trans Banyumas. Bukan sekadar garis pilok warna putih seperti coretan anak muda di gang-gang saat menjelang kemerdekaan. Memang perlu waktu yang lama. Tapi, bukan tidak mungkin hal ini bisa dilaksanakan. Selain mengurangi risiko kecelakaan, hal ini juga mengurangi dampak kemacetan. Apalagi di jam-jam sibuk, seperti, jam berangkat sekolah dan jam pulang kantor.

Lalu bagaimana dengan problem utama kota besar: kemiskinan dan kemacetan?

Baca halaman selanjutnya

Kendaraan yang mengular dan kemiskinan yang tak terlihat ujungnya

Kemacetan dan kemiskinan yang tak ada ujungnya

Berbicara tentang kemacetan, siapa sih yang suka macet? Nggak ada, kan? Saya rasa kemacetan di kota ini sudah mulai menjamur. Hal ini disebabkan oleh jumlah pendatang yang semakin banyak. Ada juga para pedagang “liar” yang berjualan di pinggir jalan sehingga mengganggu lalu lalang kendaraan.

Ngapunten sanget, Bapak Husain, mohon diperbanyak area relokasi untuk pedagang kaki lima. Sudah jalan sempit, eh ditambah pedagang kaki lima. Yo tambah sesek, Pak.

Masalah epic lainnya yaitu mengenai kemiskinan. Masalah ini masih kerap kali menjadi momok yang menakutkan di Kabupaten Banyumas. Berbagai upaya dilakukan. Salah satunya dengan mencairkan dana BLT. Tapi, mau bagaimanapun ini bukan soal uang, ini soal pola pikir. Ketika diberi bantuan BLT hanya untuk hura-hura bukan untuk modal, maka uang itu akan raib seketika. Seharusnya ada arahan dari pemerintah agar warga mampu menggunakan dana BLT sebagai modal usaha mereka agar mengikis kemiskinan sedikit demi sedikit.

Banyumas x Jogja

Banyumas juga nggak kalah sama Yogyakarta, loh. Di Jogja ada klitih, di Banyumas juga muncul geng motor yang mulai meresahkan warga. Terakhir kali, ada geng motor yang melemparkan petasan di tengah alun-alun Purwokerto. Apa nggak edan, tuh?

Mungkin, kejadian ini karena kurangnya ruang publik bagi para pemuda-pemudi di kota ini. Atau mungkin, ruang publik seharusnya digratiskan bagi para pemuda. Agar mereka bisa menyalurkan gejolak masa muda ke arah yang positif.

Dari berbagai dilema yang ada, Kabupaten Banyumas akan selalu menetap di hati saya. Suatu saat nanti, saya yakin, Banyumas akan menjadi sebuah Kabupaten impian kita bersama.

Sugeng Ambal Warsa Kabupaten Banyumas yang ke 452. “Banyumas tatag, teteg, tutug”. Nyong Banyumas, nyong warga ngapak, nyong bangga!

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi

Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Saatnya Purwokerto Memisahkan Diri dari Kabupaten Banyumas

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version