Menjadi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Jawa bukan hanya tentang menulis geguritan dan membaca serat Babad Tanah Jawi, tapi juga harus kuat mental dikira sebagai paranormal. Sebagai mahasiswa Sastra Jawa, saya kerap mendapati peristiwa semacam itu di ekosistem pergaulan yang tak ada habisnya untuk dibahas. Entah mengapa perspektif orang-orang bahkan teman perkuliahan sangatlah ndlogok jikalau mendengar jurusan kuliah saya.
Mahasiswa jurusan Sastra Jawa dianggap sakti mandraguna
Pernah suatu waktu seusai kelas, ada chat masuk ke handphone saya. Ketika saya buka, seketika batin terasa mak jegagik saat membaca pesan di dalamnya.
Gem, nek jurusanmu enek sing dadi pawang udan ra?
Lho, lho, lho, mbok kira dosenku Mbak Rara?!
Salah satu teman saya yang masih sefakultas menanyakan perihal adakah “orang pintar” (entah profesor atau guru besar ini maksudnya) yang bersemayam di jurusan saya. Alasannya untuk dimintai tolong nyirep hujan pas hari H acara organisasinya.
“Heh, pori-pori bernapas, maksudmu jurusanku isinya paranormal dan penyihir Hogwarts cabang Gunungkidul? Harry Potter aja yang beneran penyihir sekolahnya pakai bahasa Inggris, bukan bahasa Jawa!” Rasanya pengin saya bales kayak gitu. Suer.
Kalau soal hujan, pertanyaan tersebut harusnya ditanyakan pada ada jurusan eksak lah. Kok malah ke saya yang sudah jelas salah alamat? Jurusan Sastra Jawa itu mempelajari bahasa, sastra, dan budaya, bukan praktik magis. Mentok kami membaca geguritan, nggak sampai baca mantra.
Dianggap bisa menghitung weton
Prasangka satu ini sering banget ditanyakan ketika saya lagi nongkrong dengan teman-teman. Biasanya pertanyaan kayak gini muncul. “Gem, pacarku Senin pahing, aku Jumat kliwon. Tak tembak Sabtu legi pas ora, Gem?”
Memang perihal weton bisa dibilang erat dengan budaya jawa, tapi bukan berarti setiap mahasiswa jurusan Sastra Jawa bisa membaca atau menghitungnya. Hal itu pun nggak diajarkan dalam perkuliahan. Waktu KRS-an pun nggak ada mata kuliah Hitungan Jodoh 101. Untuk tekniknya pun nggak kayak perhitungan matematika yang menggunakan rumus-rumus dan persamaan.
Saya yakin, Pak Pythagoras sekalipun bakal menyerah jika dimintai menghitung weton. Apalagi saya yang nilai matematikanya lebih mirip nomor absen ketimbang capaian hasil belajar. Seandainya saya menguasai teknik hitung weton pun, sudah sejak lama saya mendapat jodoh, atau malah gonta-ganti kali!
Dianggap paham hal-hal mistis
Saya tegaskan sekali lagi, di jurusan Sastra Jawa, kami kuliah kemudian lulus untuk menjadi sarjana, bukan jadi anak indigo. Gelar sarjana kami pun cuma ada dua kemungkinan. S.Pd untuk Sarjana Pendidikan, kalau nggak ya S.S, Sarjana Sastra. Nggak ada mahasiswa jurusan Sastra Jawa yang lulus dapat gelar S.AG atau Sarjana Alam Gaib. Jadi, sudah dapat dipastikan jurusan ini nggak ada urusannya dengan klenik. Kalaupun ada yang bisa, itu murni bakat lahirian bukan karena menempuh pendidikan formal di jurusan Sastra Jawa.
Saya sendiri heran entah mengapa Jawa selalu diidentikkan dengan hal-hal seram. Kalau mendengar gamelan katanya bikin merinding, kalau ada orang nembang dikira sedang ritual manggil setan. Padahal semua itu adalah bentuk kesenian yang tujuannya ya sama kayak jazz, pop, atau dangdut koplo. Bedanya hanya di tempo dan irama, bukan dimensi lain.
Saya menduga salah kaprah ini disebabkan budaya pop seperti film horor yang gemar mengeksploitasi produk budaya Jawa seperti tembang, tarian, gamelan, ataupun istilah-istilah Jawa lain untuk dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya klenik. Parahnya tanpa diimbangi edukasi tentang jawa yang cukup. Imbasnya, pandangan Jawa itu klenik justru ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Johhh, modyaaarrr!
Mahasiswa jurusan Sastra Jawa bukan cenayang
Sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, kami punya objek kajian yang konkret. Kami belajar tata bahasa, kritik sastra, dan perihal kebudayaan, bukan ilmu nujum. Kalau ternyata masih ada saja yang mengira kami bisa nyirep hujan, meramal jodoh, atau mengusir genderuwo di acara 17-an RT, ya silakan aja. Tapi boro-boro ngusir genderuwo, lha wong ngusir rasa malas buat ngerjain skripsi aja susahnya minta ampun!
Penulis: Gema Rohullah Khumaini
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Susahnya Jadi Mahasiswa Sastra Jawa, Nembang Macapat Malah Dikira Manggil Hantu.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















