Kalau boleh usul, hilangkan saja kata “mina tani” dari slogan Kabupaten Pati. Tidak usah pura-pura. Toh yang sedang hidup dan menguasai kota ini bukan lagi semangat pertanian rakyat, tapi semangat berani (dalam bahasa Jawa: wani) yang sering kali artinya secara konotatif adalah berani menindas, merusak, atau bahkan membunuh.
Apa yang saya tulis ini adalah rangkuman nyata dari berbagai kejadian yang berlangsung selama bulan Mei 2025 di Pati. Dari penggusuran paksa warga, tawuran pelajar yang berujung maut, hingga gegap gempita sound horeg yang nyaris menimbulkan kecelakaan fatal. Semua ini bukti bahwa Pati hari ini bukan lagi “Bumi Mina Tani” seperti dulu.
Dulu, julukan “Pati Bumi Mina Tani” memiliki makna kabupaten yang hidup dari kekayaan laut (mina) dan hasil pertanian (tani). Tetapi kini, siapa yang masih melindungi para petani? Siapa yang mengawal hak mereka saat penggusuran menggila?
Belakangan ini, “wani” menjadi wajah paling jujur dari Pati hari ini. Berani mengintimidasi dan menggusur warga atas nama pembangunan. Berani tawuran di siang bolong sampai ada pelajar tewas. Dan berani memekakkan telinga warga dengan sound horeg sampai terjerat kabel PLN dan jatuh dari atas truk. Wani sembrono, wani brutal, wani seenaknya.
Dan siapa yang benar-benar wani menjaga ketertiban, melindungi warga, atau mencegah kekerasan? Rasanya sepi.
Kasus pertama: penggusuran warga Pundenrejo Pati
Di Pati, “wani” sudah bergeser arti. Kini, “wani” lebih sering berarti berani menggusur dan menindas sesama warga—bukan keberanian yang membangun, tapi keberanian yang meruntuhkan. Pada Rabu pagi, 7 Mei 2025, ketika warga Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, seharusnya sedang santai sarapan sambil menyeruput kopi, mereka malah dikejutkan oleh segerombolan orang bertopeng—entah preman atau pasukan bayaran—yang datang mengendarai dua truk besar. Bukan untuk antar sembako, melainkan untuk merobohkan rumah-rumah petani yang selama ini berdiri di atas tanah milik mereka sendiri.
Tidak ada dialog, tidak ada kompromi. Yang terjadi adalah kejar-kejaran, dorong-mendorong, dan petani yang tersungkur bahkan hampir diseret naik truk. Air mata dan trauma jadi “bonus” tak diundang dalam drama penggusuran brutal ini.
Sebelumnya, pada 13 Maret 2025, ratusan orang dengan enam truk dan beberapa mobil mini bus secara bersamaan meratakan joglo-juang (aupan-aupan) milik warga setempat. Bangunan itu bukan sekadar rumah, tapi simbol perlawanan yang coba dihancurkan dengan paksa.
Baca halaman selanjutnya: Segerombolan orang bertopeng ini konon adalah…




















