Saya kira, hanya Lamongan, kabupaten yang nasibnya sial. Begitu berkunjung ke Jombang, saya jadi sadar kalau saya amat salah
Sebagai warga Lamongan, saya sudah terbiasa iri dengan tetangga kabupaten yang selalu saja ada gebrakan: Tuban yang makin banyak open space, Gresik yang makin industrial, dan Mojokerto yang makin estetik. Sementara Lamongan? Ya begitulah. Ia seakan hidup damai bersama jalan berlubang, tambalan tak berkesudahan, dan pejabat yang lebih suka selfie ketimbang membenahi masalah mendasar.
Tapi belakangan saya sadar, ternyata Lamongan tak sendirian dalam penderitaan ini. Ada satu kabupaten yang nasibnya serupa, bahkan mungkin lebih nestapa, yakni Kabupaten Jombang.
Sedikit cerita, beberapa bulan ini, saya sering melintasi Jombang. Dan jujur saja, rasa dejavu itu langsung muncul. Kota ini seperti dipaksa stagnan di tengah tetangga yang melaju kencang: Mojokerto yang berkembang, Kediri makin berkelas, sementara Jombang masih di tempat yang itu-itu saja.
Teman saya yang orang sana juga mengatakan, “Dari dulu, Jombang memang kayak gini. Tak pernah ada kemajuan.” Dan setelah beberapa kali ke sana, saya akhirnya percaya.
Jalan di Jombang nggak bisa diandalkan
Sebagai wong Lamongan, saya sangat paham bagaimana rasanya hidup dengan jalan raya yang berlubang, serta penuh tambal sulam. Maksud saya, ini bukan jalan gang, ini jalan raya lho, yang harusnya memang sesuai dengan definisi jalan raya yang menghubungkan.
Dan ternyata, Jombang juga mengidap penyakit yang sama. Hampir nggak ada ruas yang mulus dari ujung ke ujung. Berkendara di sana selalu dipenuhi rasa istighfar, dan mbatin, “Iki dalan opo seh rek?”
Program Jombang yang jalan di tempat
Keluhan terbesar saya pada Lamongan adalah pemerintah daerahnya yang suka gemar ikut acara seremonial, senang dokumentasi, tapi minim gebrakan yang benar-benar terasa manfaatnya. Dan rupanya Jombang juga ikut-ikutan.
Padahal, kedua daerah ini potensi ada. Jombang misalnya, ia punya Wonosalam yang cemerlang. Kalau mau, daerah tersebut bisa dibuat “Jombang Lantai Dua” dengan konsep wisata alam. Tapi, balik lagi, itu kalau mau. Sebab, yang terlihat sampai hari ini adalah, Wonosalam cuma terasa ada, tanpa disentuh serius.
Lamongan pun tak kalah tragis. Wisata Bahari Lamongan (WBL) boleh punya wahana berkelas, tapi jalan menuju ke sana rusak. Tak pernah mulus. Maksud saya, ini wisata andalan tapi jalan rayanya hancur lebur. Jan, piye jane cara berpikirnya?
Baca halaman selanjutnya
Dihimpit tetangga yang terlalu maju
Tentu tiap daerah selalu punya sisi kelam. Namun, tetap saja ada yang bisa diharapkan. Hanya saja, kalau menengok Jombang dan Lamongan, rasanya kami hanya bisa pasrah dan mengamini “rumput tetangga lebih hijau”.
Saya bahkan merasa secara geografis harusnya Jombang dan Lamongan ini dipindah saja. Sebab, terlalu lamban perkembangannya dengan tetangga sekitar. Jika Lamongan hanya geleng-geleng melihat open space Tuban yang makin keren, warga Jombang juga demikian. Mereka dibuat iri-dengki dengan kondisi jalan Mojokerto yang kebanyakan mulus, atau Kediri yang punya bandara, serta penataan kota yang makin ciamik.
Maka wajar kalau Jombang san Lamongan seperti sahabat senasib. Sama-sama punya tetangga yang jika dibandingkan, terasa terlalu rajin, terlalu progresif, dan terlalu ambisius. Sehingga membuat stagnansi ini makin terasa menyesakkan dada.
Tak ada harapan (katanya)
Saya ingat betul, teman saya bilang, “Dari dulu sampai sekarang, Jombang nggak pernah benar-benar maju. Siapa pun Bupatinya, rasanya tetap gini-gini saja.” Dan di titik itu saya langsung merasa punya kedekatan emosi.
Yah, pada akhirnya, Lamongan dan Jombang ini memang seperti saudara kembar. Sama-sama terjepit perkembangan tetangga, sama-sama punya potensi yang mangkrak, dan sama-sama punya jalan raya yang bikin misuh tiap kali dilewati.
Entah kapan dua kabupaten ini bisa mengejar ketertinggalan. Tapi selama itu belum terjadi, mungkin satu-satunya hiburan hanyalah saling melirik dan berkata, “Tenang, kamu tidak sendirian.”
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
