Selamat datang di dunia pendidikan kita yang super canggih, di mana kita bisa memesan nilai dengan satu kali klik, sama seperti memesan makanan di aplikasi. Di zaman serba instan ini, kita tidak lagi perlu bersusah payah mengerjakan tugas yang konon katanya “berfungsi untuk mendidik.” Mengapa repot-repot belajar, kalau ada joki tugas?
Saya sedang mencoba membahas joki tugas. Ini merupakan praktik di mana peserta didik (termasuk mahasiswa) menyerahkan tanggung jawab belajar kepada orang lain dengan imbalan uang. Hasilnya? Mungkin selembar kertas berisi nilai yang tidak mencerminkan kemampuan nyata mereka.
Mari kita telusuri siapa yang sebenarnya pantas disalahkan dalam drama edukasi ini. Apakah penjoki yang tak bermoral, yang menganggap bahwa pendidikan hanyalah ladang uang? Atau yang dijoki yang juga tak kalah “hebatnya,” yang dengan sengaja memilih untuk mengabaikan proses belajar demi kenyamanan sesaat?
Dengan semakin banyaknya peserta didik yang terjebak dalam jebakan manis ini, satu pertanyaan besar pun muncul: di mana letak integritas “manusia” kita?
Daftar Isi
Joki tugas bangga dengan praktik culas mereka
Pertama, kita punya si penjoki tugas. Ini adalah orang-orang yang dengan bangga mengenakan gelar “pahlawan jalan pintas.” Mereka mungkin sebenarnya pintar, bahkan saking pintarnya, mereka sangat ahli dalam seni mencari untung dari kebodohan orang lain. Seolah-olah mereka sedang menjalankan misi mulia untuk “menyelamatkan” peserta didik dari tumpukan tugas yang mencekik.
Di era sekarang, mereka lebih ganas lagi. Mereka bahkan dengan percaya dirinya mempromosikan joki tugas tersebut secara terang-terangan. Apakah mereka merasa bersalah? Tentu saja tidak! Bagi mereka, uang adalah segalanya. Jadi, kenapa tidak merusak pendidikan orang lain demi beberapa lembar uang?
“Kenapa berusaha keras kalau kamu bisa membeli hasilnya?” ucap penjoki. Dengan cara mereka yang sangat cerdas, para pelaku joki tugas ini seakan-akan mengubah dunia pendidikan menjadi sebuah pasar bebas di mana nilai dijual dengan harga yang terjangkau. Dan mari kita beri aplaus untuk mereka, yang berhasil menemukan cara cerdas untuk “mengurangi beban” peserta didik.
Dengan trik licik mereka, para peserta didik ini tidak hanya memperoleh nilai yang meragukan (karena yang dikerjakan penjoki belum tentu benar), tetapi juga pelajaran berharga tentang bagaimana cara mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa harus berkeringat. Siapa yang butuh belajar dan berpikir kritis ketika kamu bisa mendapatkan nilai yang cukup dengan mengeluarkan uang? Dengan semakin populernya praktik ini, kita tidak bisa tidak bertanya: apakah kita sedang membangun generasi yang emas, atau justru menyiapkan generasi cemas?
Bangga dalam kebodohan
Selanjutnya, kita punya pengguna joki tugas. Mereka adalah kaum yang terperangkap dalam ilusi bahwa mereka bisa meraih kesuksesan tanpa usaha. Pertanyaannya: apakah mereka bodoh, atau hanya malas?
Jawabannya bisa jadi keduanya. Mengapa repot-repot belajar ketika ada seseorang yang bersedia melakukan semuanya untukmu? Dengan cara ini, mereka mengabaikan kenyataan bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses pembelajaran yang membangun karakter dan keterampilan. Bukan sekadar sarana untuk mengumpulkan angka di rapor atau ijazah.
Mereka mungkin merasa keren dengan nilai tinggi yang diperoleh tanpa usaha. Mereka berjalan dengan bangga, seolah-olah prestasi itu adalah hasil dari kerja keras. Namun, tanpa disadari, mereka sedang membangun gedung dengan pondasi pasir. Suatu saat, ketika harus menghadapi dunia nyata, mereka akan tersandung dengan sendirinya. Mereka mungkin akan menemukan bahwa nilai tinggi tidak menjamin kemampuan atau pengetahuan yang memadai.
Ketika mereka dihadapkan pada tantangan yang sebenarnya, banyak dari mereka yang akan bingung, dan bahkan frustrasi. Mereka akan terkejut mengetahui bahwa di dunia nyata, tidak ada joki tugas yang siap membantu mereka. Jika ini yang terjadi, bagaimana kita bisa berharap mereka menjadi pemimpin yang bijaksana di masa depan?
Orang tua yang malah mendukung
Apakah sudah cukup? Belum! Di tengah perdebatan apakah joki tugas yang sempat ramai di media sosial, muncul satu karakter yang tak kalah menarik, yaitu orang tua. Ya, kita sering kali terjebak dalam anggapan bahwa mereka adalah sosok yang memotivasi dan mendukung anak-anaknya untuk belajar. Namun, dalam kasus ini, kita menemukan segelintir orang tua yang dengan penuh percaya diri memberi dukungan kepada anak-anak mereka untuk menjoki. Alih-alih mendorong mereka untuk belajar dan mengerjakan tugas sendiri, orang tua ini menganggap bahwa menggunakan jasa joki tugas adalah solusi yang cerdas dan praktis.
Mungkin mereka beralasan bahwa anaknya tidak punya waktu untuk mengerjakan, atau anaknya sudah berusaha maksimal. Syukur kalau berusaha, kalau ternyata seharian cuma main game atau scrolling social media, gimana? Dengan membiarkan anak-anak mereka mengambil jalan pintas, para orang tua ini tanpa sadar mengajarkan mereka bahwa berusaha keras bukanlah hal yang penting. Mereka berkontribusi pada budaya di mana hasil akhir lebih berharga daripada proses yang dijalani.
Lebih ironis lagi, beberapa orang tua mungkin merasa bangga melihat anak mereka mendapatkan nilai tinggi. Tanpa tahu bahwa di balik kesuksesan itu terdapat ketidakjujuran yang menyelimuti. Apakah mereka benar-benar memahami bahwa nilai tersebut tidak mencerminkan kemampuan nyata anak mereka? Ini adalah contoh nyata dari orang tua yang lebih fokus pada pencapaian di atas integritas. Sehingga menciptakan generasi yang lebih suka mengambil jalan pintas daripada berjuang dan belajar dari kesalahan.
Dengan dukungan seperti ini, kita semakin dekat dengan sebuah pertanyaan besar: apakah kita sedang membesarkan anak-anak yang siap menghadapi tantangan dunia nyata, atau justru menyiapkan mereka untuk gagal saat harus menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang mereka buat?
Masa depan cerah karena joki tugas
Praktik joki tugas ini adalah simbol nyata dari kemunduran moral di dunia pendidikan. Pendidikan seharusnya jadi tempat belajar dan berkembang, bukan arena mendapatkan hasil yang maksimal tanpa usaha. Namun, siapa peduli? Kita sudah memasuki era di mana kejujuran dan usaha dianggap kuno. Nilai-nilai tersebut semakin terpinggirkan. Dalam masyarakat yang terlalu fokus pada hasil, banyak yang lupa bahwa proses adalah bagian terpenting dari belajar.
Kalau kita terus membiarkan ini terjadi, kita bisa bayangkan betapa cerahnya masa depan kita. Pengacara yang tidak tahu hukum, guru yang tidak bisa mengajar, hingga dokter yang tidak bisa mengobati akan bertebaran. Siapa yang mau hidup di dunia seperti itu?
Dengan semakin banyaknya lulusan yang tidak kompeten, kita akan menghadapi risiko yang besar. Yaitu, menyaksikan generasi yang terjebak dalam kebodohan yang terinstitusional, siap menghadapi dunia dengan kebingungan dan ketidakpastian.
Penulis: Agustang
Editor: Rizky Prasetya