Jogja Itu Membosankan, tapi Saya Nggak Punya Alternatif Kota Wisata Lain

Jogja Itu Membosankan, tapi Saya Nggak Punya Alternatif Kota Wisata Lain

Jogja Itu Membosankan, tapi Saya Nggak Punya Alternatif Kota Wisata Lain (Unsplash.com)

Terus terang, saya bosan dengan Jogja. Mulai dari perpisahan SMA, jalan-jalan kuliah, sampai outing kantor saya tujuannya selalu ke Kota Gudeg. Bahkan hampir setiap tahun, salah satu pilihan teratas outing kantor saya ke Jogja. Padahal lokasi kantor saya di Sulawesi, lho, sudah beda pulau.

Lantaran bosan dengan Jogja, saya jadi berdebat dengan beberapa orang terkait pilihan tempat outing kantor. Saya memperjuangkan daerah lain untuk jadi destinasi outing kantor. Sementara itu, mayoritas rekan kerja saya membela Kota Gudeg guna dijadikan destinasi utama outing kantor.

Sialnya, saya selalu kalah berdebat perkara ini. Bukan, saya bukan kalah debat karena jumlah orang yang mendukung Jogja menjadi destinasi utama outing kantor lebih banyak, tapi ada beberapa hal berikut yang bikin saya kalah debat.

Nggak ada jalan se-ikonik Malioboro

Rekan kerja saya selalu bilang kalau ke Jogja itu enak. Katanya sih bisa muter-muter di Malioboro, jalan paling ikonik di Indonesia. Meski berat, saya mengamini pernyataan tersebut.

Bahkan saya berani bertaruh, di Indonesia, nggak ada jalan se-ikonik Malioboro. Bagaimana tidak, wong itu satu-satunya jalan yang hampir setiap malam riuh. Terlebih jika musim liburan tiba, beuh, padat merayap kayak jalan Tol Trans Jawa saat arus mudik.

Belum lagi fakta bahwa plang Jalan Malioboro merupakan plang jalan paling populer di Indonesia. Terbukti dari banyaknya orang yang berfoto di plang jalan tersebut lalu dibagikan ke berbagai media sosial. Jadi makin populer deh plang jalan satu ini.

Padahal kalau mau dipikir-pikir, jalan yang mirip Malioboro di kota lain juga ada. Misalnya di Kota Semarang, ada yang namanya Jalan Pandanaran. Di sana juga banyak penjual makanan dan pernak-pernik khas Kota Lumpia. Selain itu, ada juga berbagai tempat di Semarang yang nggak kalah ikonik.

Baca halaman selanjutnya: Makanan khasnya banyaaak…

Makanan khasnya melimpah

Kebiasaan rekan kerja saya setiap berpergian ke sebuah kota adalah berwisata kuliner. Memang tak lengkap rasanya kalau plesiran ke suatu kota, tanpa mencicipi makanan khasnya. Dan, Jogja memfasilitasi hal tersebut dengan sangat baik.

Kita tahu bahwa soal kulineran, Jogja seolah juaranya, ada banyak makanan khas di kota itu. Untuk makanan berat, sebut saja ada gudeg dan sate klathak yang namanya sudah tak asing. Sementara untuk kue dan sejenisnya, kita tahu ada bakpia yang sudah mendunia. Apakah hanya sesederhana itu? Ternyata nggak, Ferguso.

Masyarakat Jogja dan segenap pencinta daerah ini bahkan telah mem-branding sebuah hidangan olahan ayam sebagai makanan khas Kota Gudeg. Ya, tebakanmu betul. Olive Fried Chicken sekarang telah masuk kategori makanan khas Jogja di kepala banyak orang. Bahkan sampai ada yang menjadikan Olive sebagai oleh-oleh, lho. Gokil nggak tuh, Gaes?

Seandainya mau dilihat dengan lebih jernih, Olive Fried Chicken cuma KFC tier dua dengan harga terjangkau yang kebetulan dijual di Kota Pelajar. Tak lebih dari itu. Dan banyak produk sekelas Olibe yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Banyaknya lagu dan puisi tentang Jogja mendorong orang berkunjung ke sana

Ada rekan kerja saya yang berani mengatakan bahwa Jogja itu romantis, meski dia belum pernah menginjakkan kaki di sana. Menurutnya, romantisme Jogja sudah bisa dia rasakan tanpa perlu ke sana. Dia cukup mendengarkan beragam karya yang bernapaskan Jogja.

Harus saya akui ada beberapa lagu dan puisi tentang Kota Gudeg yang lumayan terkenal. Salah satunya lagu berjudul “Yogyakarta”. Lagu lawas dari KLa Project tersebut sampai hari ini masih banyak didengar orang. Tak jarang, musisi jalanan turut menyanyikan lagu tersebut.

Selain “Yogyakarta”, ada satu lagu lagi yang belakangan sedang hits. Judul lagu yang saya maksud adalah “Sesuatu di Jogja” yang didendangkan oleh Adhitia Sofyan. Prediksi saya, kala musim liburan tiba, lagu ini kerap menghiasi setiap sudut Kota Gudeg.

Selain kedua lagu tadi, ada juga petikan puisi dari Joko Pinurbo yang begitu mengakar tentang Jogja. Petikan puisinya berbunyi demikian: Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Saking mengakarnya kutipan puisi ini, sampai diabadikan pada Teras Malioboro, kan.

Budaya menjadi daya tarik Jogja

“Kita itu ke Jogja bukan sekadar jalan-jalan, lho. Kita bisa belajar keragaman Indonesia dengan melihat langsung budaya Jawa di sana!” begitulah alasan rekan kerja saya yang mengupayakan agar Jogja menjadi destinasi utama outing kantor kami. Saya memang bosan sama Kota Gudeg, tapi saya harus mengakui kalau alasan ini nggak mengada-ada.

Selain Bali, Jogja memang salah satu kota yang paling lekat unsur budayanya. Ketika plesiran di Kota Gudeg, saya merasa setiap inci wilayahnya menyugugkan cita rasa lokal. Mulai dari bahasa, makanan, minuman, sampai bangunan banyak yang menggambarkan budaya Jogja, dan hal itu yang bikin orang sulit move on dari sana.

Maka nggak heran dengan segambreng faktor di atas, saya selalu kalah dari rekan-rekan kantor yang membela Jogja mati-matian untuk dijadikan destinasi utama outing kantor kami. Pada akhirnya, saya harus ikutan outing kantor ke Jogja. Bukan karena suka, tapi lebih karena terpaksa.

Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version