Jogja, Kota Pelajar yang Tak Belajar dari Kesalahan Jakarta

Jogja, Kota Pelajar yang Tak Belajar dari Kesalahan Jakarta

Jogja adalah kota yang (katanya) selalu dirindukan bagi orang-orang yang pernah tinggal di sana. Misal aja kamu pernah kuliah di sana, kemudian lulus dan cabut untuk bekerja di kota lain. Maka pada suatu ketika kamu pasti akan berkeinginan sesekali bermain ke Jogja.

Bicara soal kuliah di Jogja, bagi kamu generasi 90-an yang kuliah di sana pada dekade pertama era 2000-an mungkin akan melihat ada perbedaan dari wajah kota yang kita rindukan itu pada masa saat ini. Di tulisan ini, saya hanya akan membahas soal keberadaan flyover ataupun underpass yang mulai banyak dibangun di sana.

Jika sekarang kita datang ke Jogja dari arah Magelang atau Semarang, maka kita akan disambut keberadaan flyover Jombor. Sebuah jalan layang yang kayaknya belum ada sampai sekitar tahun 2012. Kalau dari Jombor kita belok kiri (alias ngetan atau ke arah timur) dan jalan terus ke arah Condong Catur, maka kita akan menemukan ada underpass di Kentungan (daerah yang akan sangat berbau porno jika “ngan”-nya dihilangin).

Karena heran dengan adanya flyover dan underpass, saya pun mencari informasi dari berbagai sumber. Dari mulai obrolan orang-orang di angkringan sampai penjelasan pejabat setempat yang dimuat di media massa. Intinya sih, flyover dan underpass di Jogja dibangun untuk mengurai kemacetan.

Entah kenapa, sebagai orang yang tinggal di Jakarta dan merasakan betapa brengseknya kemacetan di Ibu Kota tercinta ini. Saya seperti risih kalau membaca ucapan pejabat di daerah yang berupaya mengatasi kemacetan dengan menambah jalan. Salah satunya membangun flyover dan underpass. Karena pola pikir seperti itulah yang bikin Jakarta macet kayak sekarang.

Sekarang ini udah nggak terhitung lagi deh berapa banyak flyover dan underpass yang ada di Jakarta. Apa macet Jakarta sudah berkurang? Tentu tidak! (masa bodo dengan semua klaim pejabat dan lembaga negara yang bilang macet Jakarta berkurang).

Mulai tahun 2019, Jakarta mulai punya MRT yang sebagian jalurnya ada di bawah tanah. Di tahun 2019, Jakarta akhirnya punya kereta bawah tanah (walaupun jaraknya nggak sampai 15 kilometer). Saat di sisi lain, kota-kota metropolitan di negara maju, seperti London dan Paris, sudah punya sejak sekitar awal abad 20.

Banyak pakar yang menilai kemacetan yang parah di Jakarta disebabkan pendekatan yang salah dalam mengatasi kemacetan. Dosa ini bukan terjadi dalam 1-2 tahun ini, atau 5-10 tahun lalu, tapi sudah beberapa puluh tahun yang lalu!

Coba cek aja, pas masa-masa awal kemerdekaan, di Jakarta masih ada trem. Tapi trem kemudian dibuang karena dianggap bikin macet (bagi pengguna kendaraan pribadi tentunya). Padahal di kota-kota negara maju, kita masih bisa lihat trem.

Jadi memang mungkin di masa lalu, orang-orang penting di Jakarta mikir membangun dan menambah jalan saat kota mulai macet adalah solusi terbaik. Padahal seandainya di masa lalu pola pikirnya adalah mengatasi macet dengan membangun transportasi umum yang handal, mungkin di masa sekarang jaringan kereta bawah tanah di Jakarta udah bejibun. Nggak seuprit kayak sekarang.

Nah, kesalahan Jakarta di masa lalu itulah yang sepertinya coba di-copy paste kota-kota besar lain di Indonesia, tak terkecuali Jogja. Jadi ketika jalanan kota mulai macet, yang dipikirkan adalah mulai menambah jalan, bukannya membangun transportasi umum.

Padahal ya, kondisi Jogja yang sekarang sebenarnya masih ideal untuk mulai dibangun jaringan kereta bawah tanah, mumpung macetnya belum parah-parah amat. Karena kalau kemacetan Jogja di masa depan sudah seperti Jakarta yang sekarang, maka sudah susah untuk mulai membangun kereta bawah tanah.

Sebab kalau melihat proses pembangunan MRT di Jakarta, kemacetan saat proses pembangunan jalur bawah tanah bisa bikin kemacetan parah selama bertahun-tahun. Kecuali jika kontraktornya Bandung Bondowoso, mungkin bisa jadi cuma sehari semalam.

Jadi sebagai salah satu orang yang mencintai Jogja, saya rasanya nggak rela kota pelajar kita itu tumbuh dan berkembang dengan mencontoh Jakarta. Mungkin sebaiknya Jogja mencontoh kota-kota di Eropa yang jalan-jalan raya-nya tetap kecil-kecil dan sempit-sempit, tapi trotoarnya lebar dan jaringan kereta bawah-nya tersebar ke hampir seluruh penjuru kota.

BACA JUGA 4 Alasan Orang Malas Naik Transportasi Umum di Jabodetabek atau tulisan Sadad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version