Jogja Itu Nggak Istimewa dan Tidak Lagi Sama karena yang Istimewa Itu Orang-orangnya

Jogja Itu Nggak Istimewa dan Tidak Lagi Sama (Pexels)

Jogja Itu Nggak Istimewa dan Tidak Lagi Sama (Pexels)

Sebagai mantan mahasiswa yang sekarang sudah jadi budak korporat di Jakarta, setiap ada libur panjang, Jogja selalu menjadi top of mind. Bukan hanya saya, tapi hampir semua teman-teman saya semasa kuliah dulu, mengatakan hal yang sama. 

Empat hari libur? Jogja. Ada cuti kejepit? Jogja. Bonus tahunan cair? Mungkin Bali, tapi kalau duit pas-pasan, ya tetap Jogja. Pokoknya, setiap ada tanggal merah sedikit di kalender, langsung kepikiran jalan-jalan ke sana.

Hari pertama di Jogja? Wah senangnya bukan main. Baru turun dari kereta atau pesawat, langsung ngerasa kayak protagonis di film indie yang balik ke kampung halaman setelah sekian lama merantau. 

Tujuan pertama jelas: kuliner nostalgia. Misalnya, ayam geprek Bu Rum, sate klathak Pak Pong yang dulu cuma bisa dibeli kalau dapat kiriman uang dari orang tua, mie lethek se lethek rupamu, sampai burjo favorit yang penjualnya udah nggak perlu nanya lagi ke kita mau pesen makan apa, karena udah auto tahu.

Hari kedua masih semangat. Setelah perut full sama makanan yang udah lama didambakan itu, kini waktunya napak tilas tempat-tempat legendaris. 

Kampus dikunjungi dengan khidmat. Walaupun begitu masuk, langsung disadarkan bahwa usia tidak bisa bohong: sekarang naik tangga ke lantai 2 aja udah ngos-ngosan. Lanjut ke kos-kosan lama. Pintu kamar masih sama, tapi sekarang isinya anak baru yang lebih segar, lebih muda, dan lebih nggak punya beban hidup.

Jogja bisa menjadi tempat yang berbeda

Lanjut main ke tempat-tempat yang dulu sering dikunjungi. Warung kopi, jalanan kampus, semuanya masih sama, tapi kok rasanya beda? 

Ah, mungkin karena dulu ada temen-temen. Dulu tempat ini penuh tawa dan obrolan absurd soal apa saja. Sekarang cuma ada mahasiswa-mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya. Asem, mulai merasa tua dan nggak relate.

Lalu tibalah hari ketiga. Bangun tidur, merenung. “Hari ini ngapain, ya?” 

Baca halaman selanjutnya: Tempat makan nostalgia sudah didatangi semua…

Tempat makan nostalgia sudah didatangi semua. Kampus sudah dikunjungi, foto di depan gerbang dan plang fakultas sudah ada. Nggak ada agenda yang jelas. Mau jalan-jalan ke tempat wisata mainstream kok males, karena terakhir ke sana udah nggak bisa nikmatin suasana gara-gara rame banget. 

Mau main ke teman lama, eh ternyata kebanyakan dari mereka udah pindah kerja ke kota lain. Tinggal yang betah dan memang asli penduduk Jogja. Tapi masalahnya, mereka sibuk kerja. Ternyata, meskipun Jogja masih sama, tanpa orang-orang yang dulu berbagi kisah di sini, rasanya jadi beda.

Akhirnya, hari ketiga dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan random. Duduk di kafe sendirian sambil liatin orang lewat. Ngelamun di trotoar lesehan sambil dengerin pengamen. Beli kopi susu kekinian yang dulu nggak ada waktu masih kuliah. Sebenernya bisa aja main ke pantai atau naik ke Merapi, tapi males. Jauh. Capek. Akhirnya balik ke penginapan lebih awal, nge-scroll Instagram sambil bertanya-tanya, “Kenapa liburan yang awalnya penuh semangat bisa berubah jadi kayak ini?”

Kini semua sudah berubah

Hari keempat? Udah nggak sabar balik ke Jakarta. Bukan karena nggak cinta lagi, tapi karena Jogja adalah cerita yang kita bangun di dalamnya. 

Kota ini jadi ngangenin karena dulu ada teman-teman. Ada masa-masa penuh perjuangan. Tapi begitu waktu berlalu, semuanya berubah. Dan itulah bagian dari hidup.

Poinnya adalah, menurut saya, Jogja itu sama aja kayak kota lain. Ada jalan, ada warung, ada abang-abang jual cilok. 

Yang bikin Jogja istimewa itu kenangan, orang-orangnya, dan momen-momen absurd di sana. Begitu orang-orangnya udah nggak di situ, kita cuma bisa menatap nanar sambil mbatin ”Dulu kalau pulang malem masih ada yang ngajakin makan burjo. Sekarang? Mau ngajakin siapa? Mas burjo-nya aja udah pada pensiun.”

Makanya, jangan sedikit-sedikit impulsif mau liburan ke Jogja. Pikirkan baik-baik, kamu mau kemana dan ngapain aja, daripada kamu nanti bingung sendiri dan malah membuat Jogja terasa tidak istimewa.

Penulis: Ken Elsaning Savitri

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Malioboro Kini Tak Lagi Sama dan Kata “Istimewa” bagi Jogja Hanya Pencitraan Semata

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version