Jogja Itu Sebenarnya Jumawa atau Malah Tutup Mata Perkara Sampah?

Jogja Itu Sebenarnya Jumawa atau Malah Tutup Mata Perkara Sampah?

Jogja Itu Sebenarnya Jumawa atau Malah Tutup Mata Perkara Sampah? (Pixabay.com)

Hampir semua tetangga saya, libur tahun baru ke Jogja. Mereka ingin menghabiskan malam tahun baru di Yogyakarta, lebih tepatnya di Malioboro yang dikenal menjadi pusat romantisme kehidupan Yogyakarta. Tidak lama kemudian, muncul postingan dari akun @merapi_uncover yang memposting kondisi daerah sekitar Malioboro pasca malam tahun baru. Penuh sampah di sepanjang jalan dan berserakan.

Berbagai komentar pun dilontarkan. Ada yang menyalahkan para wisatawan luar kota yang tidak memiliki kesadaran, bertamu tapi malah nyampah. Hingga ada yang menemukan alasan mengapa UMR Jogja rendah. BTW, bisa jadi hipotesis penelitian, nih hubungan UMR Jogja rendah dengan tingkat kesadaran lingkungan sumber daya manusia Jogja. Nyambung nggak sih? Au ah wqwqwq.

Selain kesadaran pentingnya menjaga kebersihan dan membuang sampah yang rendah, ada faktor lain yang membuat masalah sampah di titik keramaian di Jogja ini semakin membuat runyam. Salah satunya adalah minimnya fasilitas tempat sampah.

Jogja jumawa atau tutup mata?

Sebagai daerah yang selalu didatangi banyak wisatawan luar daerah hingga luar negeri, harusnya Pemerintah Jogja mengantisipasi potensi ledakan sampah. Antisipasi bisa berupa peningkatan fasilitas, program, aturan atau sekadar pemberitahuan secara resmi agar pengunjung menjaga kebersihan. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya informasi seputar antisipasi timbulan sampah di malam tahun baru di media sosial DLH Kota Yogyakarta hingga akun Pemerintah Kota Yogyakarta. 

Sejauh ini, respons pemkot Jogja terkait sampah, dilansir laman Kompas.com, masih mengandalkan peran petugas kebersihan dan mengangkut sampah ke TPA Piyungan menggunakan kuota 100 ton per hari. Pemkot juga mendorong setiap destinasi wisata memiliki tempat pengolahan sampah mandiri. Tapi, itu untuk sampah harian, untuk saat tahun baru, hampir tak ada bedanya.

Pemerintah Jogja masih tetap mengandalkan petugas kebersihan untuk menyelesaikan masalah sampah yang berserakan dan diangkut ke TPST 3R Nitikan. Keberhasilan mengangkut sampah sebanyak 30 ton ke TPST dan bukan diangkut ke TPA Piyungan dianggap sebagai sebuah pencapaian. Seolah-olah para pengunjung dibebaskan untuk membuang sampah seenaknya dengan dalih “nanti juga ada yang membersihkan”. 

Itu NU bisa, yang lain kenapa nggak?

Sudah tau aktivitas akan melibatkan banyak massa berpotensi menimbulkan sampah, tapi tak ada respons atau antisipasi berarti. Yaaa meski ini nggak masalah Jogja doang sih. Kita tentu mengingat bagaimana aksi 212 di Jakarta mendapat kritik akibat menimbulkan banyak sampah. Hingga Konser Lalala Fest di hutan pinus Cikole, Bandung yang juga dikritik karena menimbulkan banyak sampah padahal diselenggarakan di tengah hutan dan pegunungan. 

Padahal bisa lho acara ramai tapi minim sampah. Sebagai contoh, acara 1 Abad NU tahun 2023 lalu panitia dan seluruh stakeholder mengingatkan bahkan secara sukarela membentuk gerakan relawan salah satunya dari kelompok Nahdliyin. Nah tuh bisa, kenapa yang lain nggak?

Mungkin saking sabar lan suburnya pemerintah Jogja, wilayahnya dikotorin aja legowo mereka. Atau, jangan-jangan, sebenarnya mereka bukan legowo, tapi tutup mata dan merasa jumawa bisa menyelesaikan masalah sampah yang akan menjadi bom waktu nantinya. Atau malah nggak peduli? Nggak tahu deh.

Penulis: Anisah Meidayanti
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA TPST Piyungan Ditutup Lagi, Kapan Jogja akan Benar-benar Menemukan Solusi untuk Sampah yang Makin Melimpah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version