Jogja Istimewa: Ketika Trotoar Lebih Penting dari Rumah Rakyat

3 Resep Rahasia yang Bikin Pariwisata Jogja Sukses trotoar

Tugu Jogja (Shutterstock.com)

Pada awalnya, Indonesia berdiri demi kesejahteraan rakyat. Pemerintah bekerja atas mandat rakyat. Pembangunan ditujukan demi kehidupan yang adil dan makmur. Tapi semua berubah saat doktrin pariwisata menyerang. Yap, begitulah kira-kira gambaran daerah saya yang (katanya) istimewa. Di mana proyek estetika lebih mahal daripada kebutuhan hidup rakyat. Trotoar di Jogja lebih mahal daripada kebutuhan tempat tinggal rakyat.

Jika Anda penasaran di mana trotoar mahal itu, tidak perlu risau. Toh proyek estetika di Jogja memang merajalela. Tapi yang saya maksud adalah pedestrian Jalan Senopati. Pedestrian sepanjang 850 meter ini menelan biaya pembangunan sebesar 15 miliar. Tidak hanya itu, revitalisasi pedestrian Jalan Jenderal Sudirman menelan biaya 19 miliar lebih. Belum lagi pedestrian Jalan KH Ahmad Dahlan dan Jalan Perwakilan yang totalnya sekitar 20 miliar lebih. Dan sumber pembangunan ini adalah Dana Keistimewaan.

Kalau ditotal, berarti seluruh pembangunan pedestrian ini sebesar 54 miliar. Angka yang tidak sedikit. Mungkin Anda juga belum pernah melihat uang 54 miliar. Nah, apakah biaya pembangunan hajat hidup rakyat sama besarnya dengan urusan estetika?

Harusnya sih lebih besar, kan pemerintah hadir untuk rakyat. Harusnya.

Trotoar jauh lebih berharga ketimbang rumah

Sayangnya, tidak. Pemda DIY (hanya) akan gelontorkan 7 miliar untuk bangun Rumah Tinggah Layak Huni (RTLH) bergaya khas Jawa. Proyek ini bertujuan untuk mengurangi jumlah rumah tidak layak huni di Jogja (Baca: Daerah Istimewa Yogyakarta). Masih ada 30 ribu lebih rumah tidak layak huni yang tersebar di seluruh pelosok DIY. Proyek ini akan menyasar 15 kecamatan. Tidak hanya rumah, juga jalan lingkungan, sanitasi, dan lampu penerangan.

Mari kita bandingkan. Pembangunan rumah di 15 kecamatan melawan trotoar 850 meter. 7 miliar melawan 15 miliar. Kecuali Anda sekolah di Suzuran, saya yakin kalau anggaran revitalisasi trotoar jauh lebih besar dari pembangunan RTLH. Bahkan untuk membangun rumah layak huni bagi rakyat Jogja, biaya yang digelontorkan tidak sampai separuh anggaran trotoar.

Bukan bermaksud iri (meskipun memang ada rasa iri). Membayangkan harga trotoar 850 meter lebih mahal daripada harga total rumah di kompleks saya, saya merasa ada yang salah. Dan pastinya Anda juga merasakan hal yang sama. Kok bisa urusan trotoar lebih banyak menelan biaya dari pemukiman?

Mungkin Anda berpikir,”Tapi kan sumber dananya dari Danais. Berarti wajar dong untuk membangun estetika.” Kalau Anda perhatikan lebih cermat, status keistimewaan Jogja tidak hanya demi menjaga budaya, tapi juga mensejahterakan rakyat. Danais sebagai bagian dari status keistimewaan ini juga punya peran sama. Tapi kenapa anggaran trotoar bisa lebih besar daripada bantuan untuk pemukiman warga?

Ya karena doktrin pembangunan bukan kesejahteraan, tapi pariwisata. Dan inilah masalahnya.

Baca halaman selanjutnya

Jaya di darat, jaya di laut, jaya di wisata

Wisata, wisata, wisata!

Inilah masalah yang lahir akibat doktrin pembangunan di Jogja: doktrin pariwisata. Yang jadi fokus utama hanyalah sektor pariwisata. Entah untuk menarik pengunjung, ataupun mendapat status Kota Warisan Budaya UNESCO.

Ketika sebuah daerah berfokus pada pariwisata, pembangunan estetika jadi keharusan. Bahkan pembangunan RTLH ini juga mengikuti doktrin yang sama. Nilai fungsional serta efisiensi serapan anggaran kalah dengan mimpi “rumah berarsitektur Jawa.” Padahal yang dibutuhkan warga Jogja adalah hidup yang layak. Bukan melulu estetika.

Masih ada 30 ribu rumah tidak layak huni. Minimal, ada 30 ribu keluarga yang tinggal di rumah tidak layak. Tapi mereka harus antre demi mengedepankan estetika daerah tujuan pariwisata. Mengalah pada kenyamanan turis dan pelancong yang katanya penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar. Padahal tidak semua orang terdampak secara positif oleh pariwisata. Dan saya yakin, mayoritas 30 ribu rumah itu tidak mendapat keuntungan langsung dari pariwisata.

Saya melihat sebuah ironi. Proyek estetika ini dibangun dengan Danais yang bersumber dari APBN. Lalu apa dampak dari sumbangan PAD terbesar ini? Kenapa selalu saja Danais yang dihibahkan untuk pembangunan fasilitas pariwisata? Bukankah lebih elok jika urusan pariwisata dibangun dengan APBD yang disumbang sektor tersebut? Yah, namanya juga istimewa.

Saya pikir Jogja bukan satu-satunya daerah yang menganut azas ini. Banyak daerah yang kini memakai doktrin pariwisata sebagai asas pembangunan. Misal di Bandung yang terobsesi menjadikan masjid megah sebagai ikon wisata religi. Pada akhirnya, semua jadi serba estetika. Dan rakyat dipaksa menyingkir demi keindahan destinasi wisata.

Kalau mau mendang-mending sih, setidaknya Danais mulai membangun rakyat. Dari total 1,2 triliun Danais, ada 7 miliar dana pembangunan rumah tidak layak huni. Tapi 1,2 triliun itu berarti 1200 miliar. Mau membuat perbandingan lagi. Tidak perlu, karena Jogja ora iso dibanding-bandingke. Istimewa og! Ra terimo? Majuo, aku meh turu!

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version