Saya lahir, besar, dan dididik di Jogja. Kota yang katanya istimewa dan saya setuju sepenuh hati. Soalnya, di Jogja, semua terasa pelan tapi pasti. Bahkan kalau kita jalan kaki di trotoar Malioboro, rasanya seperti hidup punya mode “slow motion” tapi nggak ngebosenin.
Ada kalanya, pindah kota bukan cuma pindah tempat tinggal. Pindah kota berarti pindah banyak hal. Mulai dari pindah suasana, nada bicara, dan kadang, frekuensi.
Tapi setelah lulus kuliah, takdir membawa saya ke Semarang untuk kerja. Saya pikir, “Ah, sama-sama Jawa Tengah, pasti nggak jauh beda.” Ternyata saya salah besar. Bedanya seperti antara teh panas dan es dawet: sama-sama enak, tapi efeknya ke tubuh beda jauh.
Sebagai buruh pabrik, saya sudah biasa berhadapan dengan panas dari mesin produksi sampai hasil kerja yang over spec. Tapi panas di Semarang ini beda, bukan panas biasa. Ini panas yang bisa membuat kamu sadar dosa hanya dengan berdiri lima menit di bawah terik matahari pukul tiga sore.
Kalau di Jogja, jam segitu masih bisa nongkrong di angkringan, menyeruput kopi jos, sambil ngerasain angin sore yang manis. Di Semarang? Baru niat keluar, keringat sudah meeting duluan di punggung.
Ritme hidup Jogja dan Semarang yang begitu berbeda
Hidup di Jogja itu kayak nonton film indie. Tenang, kadang absurd, tapi penuh makna. Sedangkan di Semarang, ritmenya kayak lagu dangdut remix di hajatan: cepat, padat, dan bikin jantung ikut berjoget.
Di kantor, misalnya, semuanya serba “cepat-cepat.” Data harus masuk sekarang, laporan harus kelar sore ini, revisi harus diserahkan kemarin. Di Jogja, saya bisa ngetik sambil nyeruput teh dan mikir “Hidup nggak usah buru-buru, toh rezeki nggak ke mana.”
Di Semarang, belum sempat mikir gitu, sudah ditegur atasan, “Laporan QC mana, Mbak?”
Saya jadi sadar, ternyata bukan cuma udara yang panas di Semarang. Suasana kerjanya juga.
Orang-orangnya juga punya ciri sendiri
Saya harus akui, orang Semarang itu to the point. Kalau mereka nggak suka, ya dibilang. Kalau salah, ya ditegur langsung. Efisien, tapi kadang bikin jantung olahraga mendadak.
Berbeda dengan orang Jogja yang terkenal halus. Kalau marah, nadanya tetap sopan, bahkan kadang nggak sadar kalau sebenarnya sedang dimarahi. Misalnya:
“Nggih, mungkin ke depannya bisa lebih hati-hati, nggih.”
Padahal maksudnya: “Kamu ngulang lagi, tak jitak!”
Biaya dan rasa hidup
Soal biaya hidup, Jogja jelas lebih murah. Di sana, sepiring nasi kucing tiga ribu bisa bikin bahagia. Di Semarang, harga segitu baru dapat senyum dari penjualnya.
Tapi lebih dari sekadar murah, Jogja punya rasa hidup yang hangat. Mungkin karena banyak mahasiswa, pedagang, dan warga yang terbiasa berbagi ruang dan waktu. Semua terasa dekat, akrab, dan manusiawi.
Sementara di Semarang, semua terasa fungsional. Orang-orangnya sibuk, waktunya mahal. Saya nggak menyalahkan siapa-siapa. Mungkin memang begitulah wajah kota industri. Tapi kadang saya kangen suasana di mana tukang parkir masih bisa bercanda dan ibu warung masih sempat nanyain, “Lho, kok kelihatan capek, Mbak?”
Jogja bikin betah, Semarang bikin tahan
Meski begitu, saya nggak menyesal kerja di Semarang. Kota ini mengajarkan saya hal-hal yang nggak akan saya dapat di Jogja. Di sini, saya dapat latihan disiplin, efisiensi, dan kemampuan menahan panas luar biasa tanpa meleleh.
Kalau Jogja bikin saya betah, Semarang bikin saya tahan. Dua-duanya penting. Karena hidup, ternyata, butuh kenyamanan sekaligus ketangguhan.
Tapi tetap saja, tiap kali cuti dan pulang, begitu bus masuk batas kota dan saya lihat tulisan “Selamat Datang di Kota Yogyakarta”, hati saya langsung bilang:
“Ah, pulang juga. Akhirnya bisa keringetan karena makan sambal, bukan karena cuaca.”
Penulis: Ida Rahayu
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Hal-hal yang Lumrah di Jogja, tapi Tidak Biasa di Semarang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
