Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan di mana, kapan, dan oleh siapa. Selain perkara takdir, alam semesta kerap kali menjalankan fungsi kejutannya secara acak dan tidak terduga. Ke-random-an semesta ini berlaku bagi semua jenis makhluk di jagat raya. Tidak terkecuali dengan saya, seorang lelaki bujang lapuk hampir berkepala 3 yang terlahir dari kawin silang orang Matraman dan Pandhalungan di Jember.
Pertemuan kedua orang tua saya saja sudah cukup menjadikan contoh betapa acaknya alam semesta ini bekerja. Dua orang yang mungkin memiliki perbedaan budaya, bahasa, dan adat istiadat yang cukup kentara sekonyong-konyong dipertemukan dalam ikatan pernikahan hingga menjalani mahligai rumah tangga hingga 3 dekade lamanya.
Pertemuan kedua orang tua saya di kota Jember ini memberikan dampak yang cukup signifikan bagi saya dalam menjalani kehidupan. Dari “perkawinan silang” ini mereka kemudian melahirkan anak-anak yang hidup dalam percampuran budaya. Kalau boleh meminjam istilahnya Huntington sih kita menyebutnya sebagai Clash of Civilization dalam ruang lingkup yang paling sempit. Clash atau benturan yang dimaksud di sini bukan perkara permusuhan loh ya. Tapi lebih ke bagaimana jika dua kutub yang berbeda saling berinteraksi satu sama lain.
Mungkin ini yang menjadi alasan mengapa Jember kerap dianggap tidak jelas “kelamin” budayanya. Merujuk dalam sejarahnya saja kita masih bingung mendefinisikan bagaimana asal-usul kota Jember ini seperti apa. Namun dari ketidakjelasan ini saya bisa menilai sebuah keunikan tersendiri dari kota Jember. Kalau Habib Jafar mengatakan bahwa Jember adalah bagian dari Madura Swasta, maka saya akan meminjam istilah Half-blood Prince ala Harry Potter untuk mendefinisikan bagaimana gambaran warga Jember saat ini.
Jadi orang Jember artinya jadi polyglot
Menjadi orang Jember itu unik, setidaknya saya berani mendaku sebagai seorang polyglot versi lite. Dengan melihat Jember sebagai pusat daerah Tapal Kuda, maka dapat dimengerti bahwasanya minimal orang Jember itu setidaknya harus bisa berbicara dalam 3 bahasa; Indonesia, Jawa, dan Madura. Belum lagi jika kita bisa berbahasa Inggris, Mandarin, Arab atau menguasai dialek Osing. Lengkaplah sudah status kita sebagai penyandang gelar polyglot. Saya tidak akan menyematkan parselmouth sekalipun sudah meminjam istilah-istilah dari dunia Harry Potter. Sebab, seorang penutur parselmouth itu hanya Panji Sang Penakluk.
Keunikan orang Jember tidak hanya berhenti dalam hal berbahasa saja. Dalam ruang lingkup area Tapal Kuda (sebuah wilayah yang meliputi eks-Karesidenan Besuki dan Lumajang), Jember merupakan metropolitan. Hal ini terbukti dengan hadirnya beberapa perguruan tinggi, pusat perbelanjaan ternama, kompleks-kompleks pergudangan, kantor BI hingga pusat operasi DAOP IX KAI. Spot tersebut adalah bukti nyata bahwa kota ini dalam skalanya patut disebut sebagai “sesuatu”.
Baca halaman selanjutnya
Harus lebih optimis
Aspek-aspek yang telah disebutkan tadi mungkin bisa menjadi parameter untuk kita warga Jember agar lebih percaya diri dan optimis dalam memandang kota Jember seperti apa. Sekalipun orang lain kerap meremehkan dan memandang sebelah mata kota Jember. Setidaknya kita sebagai warga yang mendiami wilayah ini masih memiliki rasa bangga atas keunikan dan keunggulan yang sudah ada. Tinggal kita saja yang mau atau tidak untuk terus konsisten melakukan sounding dan branding hingga Jember bisa lebih jauh lagi untuk dikenal.
Kini saya hidup merantau. Kalau ditotal mungkin ada hampir 10 tahun saya meninggalkan kampung halaman. Tentu saya tidak akan melupakan bagaimana Jember memberikan banyak pelajaran untuk saya. Mungkin dahulu saya minder. Tapi seiring berjalannya waktu dan usia, saya dapat berpikir lebih jernih dan bijak sehingga dapat mensyukuri status saya sebagai putra daerah Jember. Terdengar sangat primordial mungkin, namun hanya itulah yang bisa saya pegang demi memelihara rasa cinta dan rindu saya terhadap kota ini.
Penulis: Ibrahim Rifat Adlan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Orang Jember Terlalu Madura untuk Disebut Jawa, dan Terlalu Jawa untuk Disebut Madura