Ada satu jembatan paling berbahaya di Kabupaten Mojokerto, namanya Jembatan Deng-Deng. Berani lewat sini?
Kalau ngomongin infrastruktur peninggalan Belanda di Indonesia, kita mungkin bisa membahasnya sampai mulut berbusa. Tapi, kalau ngomongin infrastruktur peninggalan Belanda yang tak tahan lama, kita pasti kewalahan. Karena memang infrastruktur peninggalan Belanda terkenal kuat dan kokoh.
Seperti di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tempat tinggal saya. Meski daerahnya kecil banget, kabupaten ini juga punya banyak bangunan peninggalan Belanda yang masih bertahan lama. Hanya saja, setahu saya, ada satu infrastruktur yang tak tahan lama, yakni Jembatan Deng-Deng yang terletak di Desa Perning, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.
Jembatan itu memang masih berdiri sampai sekarang. Tapi, kondisinya betul-betul memprihatinkan. Dan sialnya, jembatan itu masih (terpaksa) digunakan warga sekitar hingga sekarang.
Daftar Isi
Kondisi Jembatan Deng-Deng Mojokerto seperti jembatan siratalmustakim
Kalau saya boleh membuat personifikasi, Jembatan Deng-Deng ini sudah kayak jembatan siratalmustakim yang digambarkan di beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Jika jembatan siratalmustakim lebarnya seperti rambut dibelah sampai tujuh kali, maka Jembatang Deng-Deng lebarnya hanya satu meteran. Betul-betul jembatan yang sempit dan menyeramkan.
Ya meski nggak sesempit jembatan siratalmustakim, tapi buat saya Jembatan Deng-Deng Mojokerto sudah bisa dikatakan siratalmustakimnya dunia fana. Sebab, selain lebarnya hanya satu meteran, jembatan yang panjangnya sekitar 25 meter itu juga nggak punya lampu penerangan dan pembatas di bagian sisi kanan dan kirinya. Serius, benar-benar los dol.
Sebagai intermezzo, dinamakan Jembatan Deng-Deng karena jembatan tersebut kalau dilewati memunculkan bunyi “deng-deng”. Bunyi itu hasil dari benturan papan beton dan tiang besi yang menjadi penopang jembatan. Konon, Jembatan Deng-Deng ini dulunya sebagai jembatan kereta lori pengangkut tebu saat zaman penjajahan Belanda.
Namun, seiring berjalannya waktu, Jembatan Deng-Deng berfungsi sebagai jalur penghubung antardesa di Mojokerto. Tapi kondisinya ya gitu, sempit dan tak ada pembatas. Melewatinya betul-betul harus penuh konsentrasi. Kalau nggak, besar kemungkinan akan terjatuh ke dalam Sungai Kalimas di bawahnya yang alirannya itu cukup deras.
Jalur alternatif penghubung antardesa yang masih sering dipakai warga
Persoalan masih digunakannya Jembatan Deng-Deng ini tentu bukan tanpa alasan. Warga sekitar, khususnya di Desa Perning dan Desa Jetis Mojokerto, menggunakan Jembatan Deng-Deng ini sebagai jalur alternatif penghubung antardesa. Dari Desa Jetis ke Desa Perning, ataupun sebaliknya.
Sebenarnya, warga sekitar terpaksa melewati Jembatan Deng-Deng ini, sebab tak ada jalur alternatif lain untuk dilewati. Kalau mau menghindari Jembatan Deng-Deng sebenarnya bisa. Tapi, warga harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk bisa menyeberangi Desa Jetis dan Desa Perning atau sebaliknya.
Karena Jembatan Deng-Deng dekat sumber kehidupan, maka kalangan warga yang melintasi jembatan ini pun bermacam-macam. Ada yang dari pelapak pasar, pekerja pabrik, petani, guru, hingga anak-anak sekolah. Mereka semua terpaksa berdamai dengan jembatan mengerikan itu demi akselerasi dalam menyambung hidup.
Pemda Mojokerto kurang serius memperhatikan Jembatang Deng-Deng
Sebenarnya, Jembatan Deng Deng ini pernah mendapat perhatian dari pemda Mojokerto. Dulu, Jembatan ini hanya beralaskan papan kayu, yang itu hasil dari inisiatif warga sekitar. Kemudian Pemda Mojokerto, entah pada tahun berapa, mengganti papan itu menjadi papan beton.
Tapi menurut saya, upaya itu masih belum cukup. Sebab, sekalipun diganti papan beton, nyatanya Jembatan Deng-Deng masih sering memakan korban hingga sekarang. Nggak ada lampu penerangan jalan, pembatas jembatan, dan sempitnya luas jembatan menjadi faktor pemicu orang-orang gagal melintasi Jembatan Deng-Deng.
Saya rasa, Jembatan Deng-Deng Mojokerto sudah seharusnya mendapat perhatian lebih oleh pemda. Atau lebih baik ditutup saja. Jangan malah seolah-olah membiarkan warga terpaksa melintasinya sekaligus mempertaruhkan nyawa. Kasihan mereka.
Tapi, kalau Pemda Mojokerto tak mau dinilai buruk, saran saya memperbaiki dan membangun jembatan tersebut adalah hal yang amat sangat baik. Jangan sampai jembatan yang awalnya berfungsi sebagai jalur untuk menyambung hidup, tapi nyatanya malah menjadi jembatan untuk mengakhiri hidup.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Alasan Utama Mojokerto Masih Asing di Telinga Orang.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.