Jembatan Biru UNS bukanlah jembatan biasa. Jalan penghubung ini bisa memberimu banyak pelajaran, asalkan kamu peka
Walaupun sulit, menurut saya merantau harus ada di bingo checklist semua orang. Selain menantang karena tinggal di daerah baru, merantau itu bisa memberikan ilmu baru untuk pendatang baru. Kita juga bisa menjelajah banyak tempat di kota perantauan yang pastinya bisa memberikan pengalaman menarik sekali seumur hidup.
Tidak hanya di tempat bersejarah atau lokasi wisata, semua sudut di kota perantauan sejatinya bisa memberikan pelajaran hidup, utamanya adalah nilai lokal. Pelajaran itu yang saya dapat ketika merantau di kota Asal Serabi Notosuman alias Solo. Lebih tepatnya, pelajaran itu saya dapatkan saat melintasi Jembatan Biru UNS.
Jembatan Biru adalah salah satu jembatan penghubung daerah kampus UNS. Membentang di atas Anak Sungai Bengawan Solo, jembatan ini banyak membantu warga sekitar dan mahasiswa UNS untuk menghemat waktu perjalanan. Tapi, bagi saya, jembatan ini bukan sekadar alat penghubung, melainkan tempat yang mengajarkan banyak pelajaran hidup. Terlebih, untuk para perantau.
Daftar Isi
Walaupun menantang, jangan takut mencoba hal baru
Pikiran pertama yang muncul dalam pikiran saya ketika melihat jembatan ini adalah ekstrem. Tentu saja siapa pun akan punya pemikiran yang sama. Sebab, jembatan ini mempunyai lebar yang enggak seberapa, mungkin sekitar 1,5 m. Siapa pun akan takut, atau setidaknya jadi lebih waspada.
Sampai pada akhirnya saya dipaksa melewati Jembatan Biru oleh rekan saya. Walaupun jantung hampir copot, syukurnya saya selamat melewati jembatan sempit tersebut. Dari pengalaman tersebut saya belajar untuk lebih berani mencoba hal baru karena kalau belum dicoba, kita nggak bakal tahu apakah kita bisa atau nggak.
Jembatan Biru ngajarin sabar dan pentingnya unggah-ungguh
Karena lebarnya yang seuprit, hanya pengendara motor yang bisa melalui Jembatan Biru UNS—selain pejalan kaki, tentunya. Selain itu, pengendara motor pun juga harus mengantre kalau mau lewat. Pengendara dari lawan arah harus berhenti di ujung kalau masih ada yang melewati jembatan dari arah sebaliknya. Pun kalau kadang-kadang tiba di ujung secara bersamaan, pengendara biasanya akan mempersilahkan satu sama lain untuk lewat terlebih dahulu.
Budaya mengantre tersebut sangat bijak dan mencerminkan orang Solo banget. Selain toleransi, dari sini kita juga bisa belajar untuk sabar dan saling menunjukkan unggah-ungguh di jalanan.
Alam bisa mencukupi kalau kita mengasihi
Hal yang dapat sering dijumpai ketika saya melintas di Jembatan Biru UNS adalah orang mancing. Biasanya, pemancing akan lebih ramai ketika air sungai sedikit naik setelah hujan. Selain untuk hobi doang, bapak-bapak pemancing ini saya lihat sering mendapatkan ikan (YA IYALAH). Mungkin ikan tersebut mereka bawa pulang untuk makan, dijual ke tetangga, atau bahkan dilepas kembali ke sungai karena cuma mencari sensasi strike-nya doang.
Terus apa pelajarannya?
Orang-orang luput satu hal, pemancing itu, apalagi jika komunitas daerahnya gede, biasanya menjaga sungai agar tetap lestari. Biasanya, mereka akan menebar ikan untuk menjaga populasi. Mereka tidak akan menggunakan potas dan setrum untuk mencari ikan, sebab hal itu bisa merusak reproduksi ikan yang jelas berdampak pada lingkungan.
Pelajaran moralnya ya, kalau alam dijaga, ia akan memberi. Ini saling menguntungkan kan, alam dijaga, pemancing dapat kegiatan yang berfaedah, meski mereka jadi tidak bisa maju.
Jembatan Biru UNS tak sekadar jalan penghubung biasa. Jika kamu cukup peka, banyak pelajaran hidup yang bisa kamu dapat. Jalan yang sempit, terkadang membawamu ke pucuk langit.
Sumber gambar: Adi Putra via Gmaps
Penulis: Julia Nita Sifa Prabarani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Ciri Orang yang Sebaiknya Nggak Usah Jadi Dosen. Pikir Ulang Sebelum Terjun ke Profesi Ini